“Bilang
sama Rian, jangan ganggu-ganggu Mhey lagi. Dia masih sekolah. Tidak ada waktu
untuk pacaran. Kehadiran Rian hanya akan berdampak buruk bagi hidup Mhey. Kalau
dia keras kepala, saya yang akan kesana untuk bicara langsung tentang
kelakuannya kepada orang tuanya”
Untaian
kata-kata pahit yang terlontar dari bibir ibunda Mhey tersebut ibarat guntur
yang menggelegar di tengah teriknya matahari di kota Palu. Kata-kata tersebut
adalah pesan ibunya Mhey kepada Rian yang disampaikan oleh Ibe, sahabat Rian dan
Mhey.
“Itu
pesannya mamanya Mhey untuk kau. Tadi malam Mhey kena marah sama mamanya
gara-gara ketahuan keluar dengan kau. Sampai ditampar mamanya dia. Ewi yang cerita
dengan saya tadi pas ketemu di depan kiosnya Iman.” jelas Ibe.
Mendengar
penuturan Ibe, Rian teringat peristiwa yang terjadi malam tadi, saat ia dan
Mhey diam-diam pergi bersama. Larangan dari orang tua Mhey kepada anaknya untuk
berpacaran membuat Rian dan Mhey harus menyiasati waktu untuk bertemu. Waktu
yang mereka pilih adalah saat malam mulai larut, di mana orang tua mereka telah
terlelap tidur. Menjelang tengah malam, mereka baru kembali. Waktu yang mereka
pilih memang tidak lazim untuk remaja seusia mereka. Resiko yang mengancam juga
lebih besar, terlebih jika mereka ketahuan. Anggapan buruk dari orang tua dan
lingkungan sekitar adalah konsekuensi yang harus mau tidak mau harus mereka
terima.
***
Malam
mulai beranjak larut. Jarum pendek pada jam dinding di rumah Mhey tepat berada
di angka sebelas. Pintu kamar orang tuanya telah terkunci. Ayah dan ibunya
nampanya telah tertidur pulas. Di ruang tengah, Rais, adiknya, tertidur pulas
di depan televisi yang menampilkan sebuah film barat.
Lingkungan
sekitar rumah juga sudah terlihat sepi. Para tetangga telah menutup pintu
kos-kosannya. Rumah Mhey terletak di antara kos-kosan yang dihuni oleh
mayoritas orang bersuku Jawa. Profesi mereka beragam mulai dari penjual sayur
keliling, pengepul rongsokan (besi tua, plastik, aluminium, tembaga, dll), dan
penjual siomay. Rutinitas pekerjaan yang melelahkan membuat mereka beristirahat
lebih awal di malam hari untuk mengumpulkan tenaga demi bekerja esok hari.
Mhey
menutup pintu depan rumahnya dan menguncinya. Ia kemudian beranjak ke kamar
untuk berganti pakaian. Malam itu ia punya janji dengan Rian untuk pergi
bersama. Ia mengganti daster yang biasanya ia kenakan dengan baju kaos dan
celana panjang jeans. Tak lupa pula ia mengenakan jaket sebagai penangkal
dinginnya angin malam.
Setelah
selesai berganti pakaian, ia kemudian merapikan bantal di tempat tidurnya.
Bantal guling diletakkan di tengah tempat tidur dan ditutupi selimut agar
kelihatan seperti orang yang tengah tertidur. Ia nampak menyiapkan segala
sesuatunya dengan baik.
Segera
setelah memastikan semuanya sesuai rencana, Mhey kemudian membuka jendela
kamarnya. Ia membukanya dengan perlahan agar tidak membangunkan orang-orang.
Setelah jendela terbuka, ia kemudian memanjat keluar melalui jendela tersebut.
setelah berhasil keluar, ia menutup kembali jendela sambil menyelipkan lapisan
kertas agar jendela tertutup rapat.
Mhey
kemudian bergegas menuju ke pelataran bangunan sekolah yang terletak di sekitar
100 meter di samping kanan rumahnya. Bangunan sekolah tersebut adalah milik SD
Muhammadiyah yang belum lama selesai dibangun dan baru beberapa minggu
digunakan.
Di
depan gedung sekolah, Rian tengah duduk menunggu. Keadaan di sekelilingnya
gelap gulita. Tak ada lampu penerangan yang di pasang di lingkungan sekolah
tersebut. suasana seram semakin bertambah karena persis di depan gedung sekolah
terdapat kompleks pekuburan umum.
“Seperti
peserta uji nyali saya ba tunggu di
sini. Sudah gelap, dingin, di depan ada kuburan lagi. Hmm, lengkap
penderitaan.” gerutu Rian sambil menggosok-gosokkan kedua telapak tangannya
agar terasa hangat.
Cinta
memang terkadang membuat seseorang kehilangan rasa takut. Bagi mereka yang
tidak sedang jatuh cinta, berada di posisi seperti Rian mungkin adalah ide yang
buruk. Suara sekecil apapun pasti menjadi masalah, apalagi bagi mereka yang
memang penakut. Namun itulah cinta, kadang di luar nalar manusia.
Setelah
hampir setengah jam menunggu, Mhey akhirnya muncul.
“Lama
betul kau. Hampir saya dimakan setan di sini.” gerutu Rian.
“Iya
maaf. Tadi tunggu orang di rumah tidur semua baru saya bisa keluar. Rais tadi
menonton di ruang tengah. Untung dia ta
tidur di depan tv.” ujar Mhey.
“Oowh.
Tapi dia sudah tidur betul toh? Jangan sampai cuma pura-pura tidur?” Rian
memastikan.
“Iya
sudah tidur betulan dia. Saya sentuh tadi tidak bergerak. ” jawab Mhey.
“Mau
kemana kita?” tanya Mhey.
“Jalan-jalan
di pinggir kuala saja. Tidak usah
lama. Satu atau dua jam begitu baru kita pulang.” jawab Rian.
“Okelah.
Jalan sekarang saja.” ujar Mhey.
“Oke. Ayo.”
jawab Rian sambil meraih tangan Mhey dan beranjak dari gedung sekolah tersebut.
Mereka
menyusuri jalan, setapak demi setapak menuju kuala. Tangan mereka saling genggam. Senyum dan tawa menghiasi
wajah mereka berdua. Ah beginilah rupanya kalau sedang dimabuk cinta, dunia
serasa milik berdua.
“Eh
ngomong-ngomong tumben kau cantik malam ini. Hehehehe.” canda Rian sambil
memandang wajah Mhey.
Mendengar
ucapan Rian, wajah Mhey mulai memerah seperti kepiting yang direbus.
“Kau
ini ba gombal lagi.” jawab Mhey
seraya mencubit lengan Rian.
“Aduh.
Jangan ba cubit le, sakit. Betulan yang saya bilang ini.” ujar Rian sambil
melepaskan cubitan Mhey dan memegang lengannya.
“Makanya
jangan ba gombal. Tidak suka saya.”
ujar Mhey dengan raut wajah cemberut.
“Hehehe
Betulan tidak suka?” tanya Rian sambil mendekatkan wajahnya ke wajah Mhey.
“Iya
betulan tidak suka.” jawab Mhey dan cubitan pun kembali mendarat di lengan
Rian.
“Aduuuh.”
Rian setengah berteriak menahan sakit.
Hampir
10 menit menyusuri jalan setapak, mereka akhirnya sampai di pinggir kuala. Suasana di sekitar kuala terlihat sepi. Di seberang,
beberapa motor masih lalu lalang.
Dua
sejoli ini kemudian berjalan menyusuri pinggir kuala sambil berpegangan tangan. Suasana malam itu sedikit romantis
dengan kilauan lampu dari rumah penduduk yang memantul di kuala bersama sinar bulan yang sesekali tertutup awan. Suara
jangkrik seakan menjadi lagu pengiring perjalanan mereka.
“Ian,
tidak jenuh juga kau kita sembunyi-sembunyi begini terus?” pertanyaan keluar
dari bibir Mhey, memecah kebisuan malam.
Ian
merupakan panggilan “sayang” Mhey untuk Rian.
“Jujur
rasa jenuh itu ada Mhey. Tapi, kalau sudah cinta, mau diapakan? Sekarang kita
hanya bisa menjalani sambil menunggu orang tuamu berubah pikiran. Saya paham
keinginan mereka. Mereka ingin anak gadisnya fokus untuk menyelesaikan
sekolahnya dulu. Saya juga sadar kalau saya juga masih anak sekolah yang segala
sesuatunya masih minta ke orang tua. Hmmm. Rumit.” tutur Rian.
“Kita
berada di posisi serba salah sekarang. Antara mengikuti kemauan orang tua dan
mengorbankan perasaan. Ini pertama kalinya saya berani melawan kemauan orang
tuaku, walau dengan sembunyi-sembunyi.” ujar Mhey.
“Jalani
saja dulu apa yang ada sekarang. Kita tidak tahu ke depannya seperti apa kelak.
Jika memang jodoh, pasti tidak akan kemana.” Rian mencoba menguatkan dirinya.
“Iya.
Semoga”. Mhey menggenggam erat tangan Rian sambil menyandarkan kepalanya di
bahu lelakinya itu.
Rasa cemas
yang menyelimuti hatinya seketika berubah menjadi rasa nyaman. Lelakinya
tersebut selalu bisa membuat dirinya merasa dicintai dan merasa dibutuhkan.
“Eh
ngomong-ngomong sudah jam berapa ini?.” Rian membuyarkan lamunan Mhey.
“Sudah
hampir jam 1 pagi.” jawab Mhey seraya melihat arlojinya.
“So boleh kita pulang. Sudah tengah
malam.” ajak Rian.
“Iya.
Tapi capek saya ba jalan.” keluh
Mhey.
“Hmm.
Bilang saja kalau minta digendong. Pake alasan capek lagi.” gerutu Rian.
“Hehehehe
ketahuan.” ujar Mhey diselingi tawa.
Rian
pun menggendong Mhey di belakangnya sambil berjalan menyusuri pinggir kuala. Tangan Mhey memegang erat pundak
lelakinya itu. Senyum bahagia merekah di bibirnya. Malam itu pasti akan selalu
dikenangnya.
Ketika
sampai di pelataran gedung sekolah, Rian melepaskan gendongannya. Mhey pun
turun dan bersiap pulang.
“Pulang
sudah. Nanti minggu depan lagi baru kita keluar. Kalau rindu, tulis surat saja,
suruh Ibe atau Ucup ba antar.” ujar
Rian.
“Iya.
Terima kasih buat malam ini. Saya senang sekali.” ucap Mhey sambil mendaratkan
kecupan hangat di pipi lelakinya itu dan segera berjalan pulang kerumahnya.
Rian
terpana, antara kaget dan senang dengan kecupan dari Mhey tadi. Senyum merekah
di bibirnya.
“Tidak
tidur nyenyak lagi malam ini saya dibuatnya.” gumam Rian dalam hati sambil
berlalu dari gedung sekolah menuju rumahnya.
Dengan
rona wajah bahagia Mhey menuju jendela kamarnya. Ia menarik lapisan kertas yang
digunakannya untuk mengganjal jendela tadi. Jendela pun terbuka dan Mhey segera
memanjat masuk ke dalam kamar.
Ketika
satu kakinya turun menyentuh lantai kamar, Mhey terperanjat. Ia melihat ibunya
dan Rais telah berada di kamarnya. Nampak raut marah terpancar di wajah sang
ibunda.
“Darimana
kau?” tanya sang ibu dengan nada tinggi.
“Ehmm.
Anu ma, dari...”
“Plak!”
Belum
sempat Mhey melanjutkan kata-katanya, tamparan dari ibunya mendarat di pipinya.
“Siapa
yang ajar kau keluar lewat jendela dan ba
bohong dengan orang tua? Kau keluar dengan Rian toh? Tanya sang ibu.
Mhey
tidak menjawab. Bibirnya serasa kaku untuk menjawab ya. Ia hanya memegangi
bekas tamparan di pipinya. Bulir air terasa hangat mengalir dari pelupuk
matanya.
“Kenapa
tidak dijawab? Bisu kau?” bentak sang ibu.
Mhey
hanya membisu kaku seperti patung.
“Mama
sudah bilang jangan pacaran. Kau itu masih sekolah. Mau jadi apa kau nanti?
Sekarang saja kau sudah berani bohongi mama dan keluar tengah malam dengan
laki-laki. Kau kira bagus nanti kalau didengar tetangga? Mau di taruh di mana
mukanya mama, Mhey?”
Mendengar
ucapan ibunya, Mhey hanya bisa terdiam. Bulir air semakin deras mengalir dari
matanya.
“Apa
bagusnya Rian itu sampai kau mau dia ajak pacaran dan keluar sampai tengah
malam? Kalau kau kenapa-kenapa, kalau kau hamil, apa dia mau tanggung jawab?
Uang saja dia masih minta sama orang tuanya. Mampukah dia hidupi kau nanti? Laki-laki
macam begitu yang kau kejar-kejar?” bentak sang ibu.
Keributan
di kamar Mhey membangunkan para tetangga di sekitarnya. Namun, mereka tidak
berani keluar untuk melihat. Mereka hanya memasang telinga mendengarkan.
“Rais,
ambil paku dengan palu. Kau paku jendela kamarnya kakakmu ini. Kau Mhey, mulai
sekarang kau tidak boleh keluar rumah. Rais, kau awasi kakakmu ini. Jangan
sampai dia keluar untuk ketemu Rian.” perintah sang ibu.
Rais
dengan segera mengambil paku dan palu untuk memaku jendela kamar kakaknya
tersebut. Setelah selesai, ia dan ibunya meninggalkan Mhey sendirian di
kamarnya sambil mengunci pintu kamar dari luar.
“Tuhan,
berat betul cobaan yang kau beri. Baru sekejap saya rasakan kebahagiaan, kini
kau rebut kembali kebahagiaan itu dan kau ganti dengan duka” ujar Mhey sambil
terisak.
Ia
kini hanya bisa memandangi surat-surat pemberian Rian seraya membayangkan wajah
Rian di langit-langit kamarnya. Bulir hangat terus membasahi pipinya malam itu
hingga pangi menjelang.
Pada
pagi harinya, Ibunda Mhey menyuruh Rais untuk memanggil Ibe.
“Rais,
panggil dulu Ibe kemari. Cepat!” suruh sang ibu.
“Iya
ma. Tunggu sebentar.” jawab Rais.
Tak
berapa lama, Ibe pun muncul di hadapan ibunya Mhey.
“Ada
apa Mama Is ba panggil saya?” tanya
Ibe.
“Kau
toh yang kasi sampai salamnya Rian
untuk Mhey, yang selalu antarkan surat-suratnya Rian untuk Mhey?” tanya ibunya
Mhey.
“Ah
tidak Mama Is. Bukan saya.” Wajah Ibe mendadak pucat mendengar pertanyaan
ibunya Mhey.
“Tidak
usah ba bohong. Rais yang kasitahu
saya. Dia sering lihat kau ke rumahnya Rian dan setelah dari sana pasti ketemu
Mhey. Sudahlah mengaku saja.” desak Ibunya Mhey.
“Hmmm.
Ember juga ternyata Rais ini. Padahal sering dikasi uang sama Rian dia” gumam Ibe dalam hati.
“Sebagai
gantinya, supaya saya tidak marah-marah dengan kau, kau ke rumahnya Rian
sekarang, sampaikan saya punya pesan ke dia. Kasitahu dia jangan ganggu-ganggu
Mhey lagi. Dia masih sekolah. Tidak ada waktu untuk pacaran. Kehadiran Rian
hanya akan berdampak buruk bagi hidup Mhey. Kalau dia keras kepala, saya yang
akan kesana untuk bicara langsung tentang kelakuannya kepada orang tuanya.”
pesan ibunya Mhey.
“Iya
Mama Is nanti saya sampaikan ke Rian pesannya.” ujar Ibe.
Ibe
pun bergegas menuju ke rumah Riah untuk menyampaikan pesan dari ibunya Mhey
tersebut. Namun, sesampainya di depan kiosnya Iman, ia berpapasan dengan Ewi,
tetangga sebelah rumah sekaligus teman dekat Mhey. Ibe yang tidak mengetahui
keributan semalam pun bertanya kepada Ewi.
“Eh
Wi, kenapa Mama Is marah-marah? Sejak kapan dia tahu Rian dan Mhey pacaran?”
tanya Ibe kepada Ewi.
“Tadi
malam Mhey kedapatan ba panjat
jendela pas pulang dari jalan-jalan dengan Rian. Habis dia dimarahi sama
mamanya. Kayaknya kena tampar juga apa saya lihat tadi pagi ada bekas merah di
pipinya Mhey yang sebelah kiri. Kasihan Mhey. Semalaman dia tidak tidur ba pikir. Saya lihat matanya tadi
bengkak. Mungkin pengaruh menangis. Dilarang mamamnya sudah dia untuk keluar
rumah.” terang Ewi menceritakan kronologi keributan semalam.
“Owwwh
begitu toh. Wah gawat ini, harus segera saya kasitahu Rian. Pas juga saya mau
kerumahnya, ba kasi sampai pesannya Mama Is.” ujar Ibe.
“Pesan
apa Ibe?” tanya Ewi penasaran.
“Pesan
supaya Rian tidak ba ganggu-ganggu
Mhey lagi. Kalau dia masih keras kepala, Mama Is sendiri nanti yang ke rumahnya
untuk bicara dengan orang tuanya. Ih... serem kalau dibayangkan.” jawab Ibe.
“Waduh.
Tambah runyam masalah ini. Kita ba dengar-dengar
saja. Jangan terlibat. Jadi masalah lagi nanti. Kasihan dorang itu le.” ujar Ewi.
“Iya
kasihan sekali nasibnya dorang dua
itu.” Ibe menimpali.
“Eh.
Saya pulang dulu. Sudah ditunggu mamaku belanjaannya. Kasi kabar saya nanti apa
yang dibilang Rian.” pesan Ewi seraya berlalu meninggalkan Ibe.
“Oke.
Nanti ketemu di sini ulang jo
sebentar.” ujar Ibe.
***
“Rian,
saya pulang dulu. Dicari mamaku saya nanti.” Ibe membuyarkan lamunan Rian.
“Eh
iyo. Terima kasih le. Salam saja sama
Mama Is.” canda Rian.
“Gila
kau ini. Bisa-bisanya kau bercanda di saat-saat genting begini. Pesanku
hati-hati saja kawan. Ingat juga Mhey. Kasihan dia.” ujar Ibe.
“Iya
kawan. Kayaknya saya harus menjauh beberapa hari ini sampai keadaan kembali
normal.” ujar Rian.
“Terserah
kau lau bagaimana baiknya. Orang jatuh cinta memang keras kepala. Saya pulang
dulu.” ujar Ibe seraya pamit pulang.
“Oke
kawan. Sekali lagi terima kasih.” ujar Rian.
Setelah
hari itu, pengawasan terhadap Mhey semakin ketat. Ia jarang terlihat keluar
rumah. Rian pun sudah seminggu ini tidak muncul di sana.
Hari-hari
mendebarkan itu mereka lalui dengan penuh kegundahan. Rindu tak usah ditanya
lagi. Kebiasaan surat-menyurat yang rutin bahkan sampai setiap hari, menurun
drastis. Sekali seminggu saja sudah syukur.
Sebulan
dari kejadian itu, keadaan kembali normal. Mhey kembali beraktivitas di luar
rumah seperti biasa. Rian pun demikian. Seolah tidak pernah terjadi apa-apa
sebulan yang lalu. Bulan ini, hubungan mereka genap berusia lima bulan. Sebuah
perjalanan panjang yang cukup melelahkan untuk cinta yang “terlarang”. Yah
kadang memang cinta butuh perjuangan dan pengorbanan dari mereka yang dimabuk
cinta.
2 Comments
keren kak. Tapi kalau membayangkan kisah cinta Rian sama Mhey, ini kisah cinta paling familiar :v dan sepertinya melelahkan punya hubungan seperti itu. hahahaha
ReplyDeleteHehehehe. Realitas sosial yang ada di sekitar kita. Melelahkan namun mau tidak mau harus dijalani.
ReplyDelete