Sumpah Pemuda kini mulai kehilangan perannya sebagai simbol
kebangsaan Indonesia. Keabsahan ikrar yang dinyatakan pada kongres pemuda ke
dua tersebut sebagai simbol kebangsaan Indonesia kini mulai dipertanyakan.
Banyak pihak menganggap bahwa Sumpah Pemuda yang kita kenal sekarang tidak lain
adalah upaya ideologisasi dari pemerintah.[1] Ikrar
untuk berbangsa, bertanah air, dan berbahasa satu tersebut seakan kehilangan
daya magisnya dalam menumbuhkan rasa nasionalisme rakyat Indonesia. Mengapa demikian? Tulisan ini
akan memaparkan mengapa makna Sumpah Pemuda yang kita peringati setiap tanggal
28 Oktober ini perlu di telaah kembali.
Sumpah Pemuda merupakan hasil dari
Kongres Pemuda ke dua pada akhir Oktober 1928. Sebenarnya, kongres pemuda II
pada tanggal 28 Oktober memperoleh tempatnya sebagai salah satu hari nasional
di Indonesia bukan karena pengasosiasiannya terhadap sumpah untuk persatuan,
tetapi karena kongres pemuda itu adalah saat pertama kali diperdengarkannya
lagu Indonesia Raya yang dikarang oleh Wage Rudolf Supratman di depan
publik.[2]
Pada masa awal kemerdekaan, peristiwa
tersebut sering ditandai dengan acara-acara spesial yang diselenggarakan di
istana kepresidenan. Misalnya saja pada 28 Oktober 1949, Presiden Soekarno
memimpin sebuah perayaan di istana kepresidenan di Yogyakarta untuk
memperingati kelahiran suatu lagu yang telah menjadi hymne nasional negara
Indonesia. Kemudian, pada tahun 1952 dan 1953 untuk merayakan triwindu dan
terutama 25 tahun perayaan lahirnya Indonesia Raya. Pada tahun 1953, koran PKI, Harian
Rakjat, mempersembahkan sebuah refleksi mengenai Indonesia Raya dalam
editorialnya. Koran ini juga mengikutsertakan sebuah artikel yang dibuat oleh
pemimpin partainya, Njoto, berjudul “Sumber Inspirasi yang Tak Kundjung Kering
(Menjambut Seperempat Abad Indonesia Raya)”. Di dalamnya juga terdapat liputan
mengenai sebuah perayaan yang dilakukan oleh 13 organisasi pemuda di Jakarta
dalam rangka memperingati 25 tahun Indonesia Raya dan Sumpah Pemuda.[3]
Berdasarkan fakta di atas, kita dapat
melihat bahwa pada awalnya, tanggal 28 Oktober diperingati bukan sebagai hari
Sumpah Pemuda tetapi memperingati hari lahirnya Indonesia Raya yang didapuk sebagai hymne nasional
Indonesia. Baru pada tahun 1956, Soekarno menggunakan Sumpah Pemuda sebagai
senjata ideologi. Dalam pidatonya di bulan Oktober tahun itu, ia membicarakan
mengenai “penjimpangan dari Sumpah 1928” sebagai cara untuk memberi peringatan
kepada dalang gerakan separatis yang mulai muncul menentang keutuhan bangsa
Indonesia. Harian Rakjat melaporkan bahwa pidato Presiden pada 28 Oktober
1956 merupakan sebuah hal baru dan memberi petunjuk mengenai apa yang akan
terjadi.[4]
Kejatuhan Presiden Soekarno pada tahun
1967 yang membuka jalan bagi Orde Baru untuk berkuasa, membuat Sumpah Pemuda
makin menegaskan supremasinya sebagai simbol kebangsaan dan persatuan
Indonesia. Apalagi Presiden Soeharto sebagai pemimpin Orde Baru berkali-kali
menegaskan dalam setiap peringatan Sumpah Pemuda akan pentingnya ikrar tersebut
diejahwantahkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sesuai dengan
nilai-nilai luhur Pancasila.
Hal tersebut tentu saja berkaitan dengan
upaya pengideologisasian Pancasila sebagai ideologi tunggal negara. Tentu saja
Sumpah Pemuda didapuk sebagai simbol kebangsaan Indonesia karena keterkaitannya
dengan nilai-nilai luhur dari Pancasila tersebut. Pancasila sebagai ideologi
tunggal negara mengedepankan persatuan dan kesatuan dan Sumpah Pemuda dianggap
sebagai simbol yang tepat untuk merefleksikan nilai-nilai luhur tersebut.
Berkaca dari kenyataan diatas, dapat
kita lihat bahwa Sumpah Pemuda pada masa orde baru lebih menekankan pada upaya
pembumian Ideologi Pancasila sebagai ideologi tunggal negara kepada rakyat
Indonesia. Berarti peringatan Sumpah Pemuda tidak lebih dari sekedar upaya
ideologisasi Pemerintah terhadap masyarakat.
Upaya ideologisasi tersebut melahirkan
sejumlah keganjilan yang pada saat Orde Baru berkuasa, tidak terendus ke
permukaan. Pada saat orde baru runtuh dan melahirkan orde reformasi, gelombang
kritik atas kesahihan sumpah pemuda pun marak bermunculan, baik dari peneliti
luar negeri maupun peneliti dalam negeri. Salah satu keganjilan yang muncul
terletak pada isi Sumpah Pemuda yang ketiga. Selama ini kita mengetahui bahwa
isi Sumpah Pemuda yang ketiga adalah “Kami Putra dan Putri Indonesia Mengaku
Berbahasa Satu, Bahasa Indonesia”.
Keith Foulcher dalam kajiannya mengenai
Sumpah Pemuda menyangsikan validitas dari kalimat tersebut. Temuannya
mengindikasikan adanya perubahan secara sengaja pada kalimat yang merupakan isi
ketiga dari Sumpah Pemuda tersebut. Dalam kajiannya, Keith Foulcher menemukan
bahwa kalimat asli dari isi Sumpah pemuda yang ketiga adalah “KAMI PUTRA DAN
PUTRI INDONESIA MENJUNJUNG BAHASA
PERSATUAN”. Hal tersebut tentu saja menimbulkan pertanyaan besar, manakah versi
Sumpah Pemuda yang benar-benar valid? Di dalam kajiannya, Keith Foulcher
mengaitkan antara perubahan kalimat tersebut dengan upaya pemerintah
mengideologisasikan Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional[5].
Jika Sumpah Pemuda temuan Keith Foulcher
adalah Sumpah Pemuda yang benar-benar sahih, maka pemerintah sebagai pihak yang
berwenang, wajib “meluruskan” pemahaman masyarakat selama ini tentang Sumpah
Pemuda. Hal ini juga menjadi tanggung jawab para peneliti dan sejarawan untuk
menguji kesahihan temuan Keith Foulcher tersebut. Jangan sampai terjadi
disorientasi pemahaman sejarah di masyarakat tentang Sumpah Pemuda.
Menelusuri peringatan Sumpah Pemuda dari
masa ke masa, seakan menghadirkan kembali realitas masa lalu dengan konteks
kekinian. Kehadiran Sumpah Pemuda sebagai simbol kebangsaan Indonesia saat ini hampir
mencapai titik nadirnya. Kesahihan isi Sumpah Pemuda kini mulai dipertanyakan
dan dijadikan bahan perbincangan. Hal ini tentu saja mengundang keprihatinan di
tengah kebutuhan generasi muda Indonesia akan patronase dari simbol-simbol
kebangsaan tersebut. Apalagi menghadapi era globalisasi saat ini, dibutuhkan
simbol penggerak kebangsaan pemuda Indonesia agar rasa kebangsaan tersebut tidak
hanya menjadi sebuah “pembayangan terbatas”[6]. Jangan sampai Sumpah Pemuda kehilangan
supremasinya sebagai simbol kebangsaan dan pemersatu Indonesia.
.
[1] Baca Foulcher, Keith. 2008. Sumpah Pemuda: Makna & Proses
Penciptaan Simbol Kebangsaan Indonesia. Jakarta. Komunitas Bambu.
[2] Ibid, Hal. 43.
[3] Ibid, Hal, 44
[4] Ibid, Hal, 46
[5] Untuk mengkaji hal tersebut, perlu penelaahan lebih lanjut mengenai
keterlibatan Moh. Yamin dalam perumusan dan pengetikan draft Sumpah Pemuda
tersebut.
[6] Baca Anderson, Bennedict. 2011. Imagined Communities.
Yogyakarta. Insist & Pustaka Pelajar.
0 Comments