Masuknya Islam di Indonesia dipandang dalam berbagai sudut. Oleh karena itu, banyak sekali timbul pendapat mengenai kedatangan Islam di Indonesia. Dalam mengkaji proses masuknya Islam dan perkembangannya di Lembah Palu, digunakan teori Perdagangan dan Pelayaran. H. J. de Graaf menyatakan bahwa Islamisasi Indonesia juga tidak terlepas dari pengaruh Cina. Pandangan ini didukung oleh Slamet Muljana dalam bukunya, Runtuhnya Kerajaan Hindu Jawa dan Timbulnya Negara-negara Islam di Indonesia. Begitu juga dengan Nor Huda juga menyatakan orang Cina telah memberikan warisan besar yang sangat dominan dalam sejarah Islam di Indonesia. Pandangan mereka ini kemudian dikenal dengan Teori Cina, yang oleh sebagian sejarawan Indonesia disebut Teori Pelayaran dan Perdagangan.
Selain teori Perdagangan dan Pelayaran tersebut, digunakan teori arab untuk melihat bagaimana islam masuk dan berkembang di Lembah Palu. Teori Arab semula dikemukakan oleh Crawfurd yang menyatakan bahwa Islam dikenalkan pada masyarakat Indonesia langsung dari Tanah Arab, meskipun hubungan bangsa Melayu-Indonesia dengan umat Islam di pesisir Timur India juga menjadi faktor penting dalam penyebarannya. Asal Islam pun memiliki perbedaan dari beberapa ahli, Keyzer, Islam berasal dari Mesir karena terdapat persamaan mazhab (Syafi’i) yang dianut oleh masyarakat Indonesia dan Mesir. Islam berasal dari Hadramaut (Nienmann dan de Hollander). Sementara P. J. Veth menyatakan bahwa hanya orang-orang Arab yang melakukan kawin campur dengan penduduk pribumi yang berperan dalam penyebaran Islam di pemukiman baru mereka di Indonesia.
Proses Islamisasi di kepulauan Indonesia tidak berjalan dalam pola yang seragam. Jika Sumatera dan Jawa menggunakan pola yang hampir sama, tetapi di luar kedua pulau tersebut terjadi perbedaan yang mencolok. Sebaiknya pemahaman terhadap masuknya Islam di suatu daerah, merujuk pada tiga pendapat tentang masuknya Islam pada suatu daerah yang dilihat dari (1) Adanya seorang yang beragama Islam dari luar, masuk ke daerah tersebut. (2) Adanya orang (penduduk asli) di daerah tersebut yang memeluk Agama Islam. (3) Setelah ajaran agama Islam di terima sebagai agama kerajaan, sehingga agama Islam melembaga, kemudian di ikuti dengan proses Islamisasi. Dari ketiga hal diatas adalah sebuah rangkaiaan proses Islamisasi, menurut M. C. Ricklefs bahwa Proses Islamisasi kemungkinan berlangsung dalam dalam dua proses: Pertama, Penduduk pribumi berhubungan dengan agama Islam dan Menganutnya. Kedua: orang-orang asing asia (Arab, India, Cina, Dll). yang telah memeluk agama Islam bertempat tinggal secara permanen di suatu wilayah Indonesia, melakukan perkawinan campuran, dan mengikuti gaya hidup lokal sampai sedemikian rupa, sehingga suburnya mereka itu menjadi orang Jawa atau melayu atau anggota suku lainnya.
Sementara, Hery Nurdi menekankan bahwa penyebaran Agama Islam atau yang lebih dikenal dengan sebutan Islamisasi melalui pelayaran. Sebagaimana pendapatnya yang berbunyi, ribuan pulau di Indonesia, sejak lama telah menjalin hubungan dari pulau ke-pulau. Baik atas motivasi ekonomi maupun politik dan kepentingan kerajaan. Hubungan ini pula yang mengantar dakwa menembus dan merambah Celebes atau Sulawesi, Kalimantan atau Borneo, Moluccas (Pulau Ambon, Seram, Ternate, Tidore, dan sekitarnya) atau dalam bahasa Portugis disebut Ilhas de Carfo (Kepulauan Rempah-Rempah), dan Irian, serta gugusan kepulauan Nusa Tenggara.
Di daerah Lembah Palu, proses Islamisasi mendapat pengaruh dari Minangkabau yang kemudian dilanjutkan oleh orang-orang Bugis/Makassar dan Mandar lewat perdagangan dan pelayaran. Sementara berdasarkan teori sufi, Islam masuk ke Lembah Palu melalui para mubaligh yang berasal dari Minangkabau dari Hadramaut di Arab Selatan (Yaman) antara lain Syekh Abdullah Raqie (Dato Karama) dan Sayed Idrus bin Salim Al-Jufri.
Menurut Haliadi dalam makalah yang disampaikan untuk HMI tentang Islam di Lembah Palu, Islam masuk ke Lembah Palu melalui tiga periode yaitu periode mitos (rasionalisasi Islam) pada abad ke-17, periode ideologi (periode Bugis/Makassar) pada abad ke-18, dan periode ilmu pengetahuan (Al-Khairaat) pada abad ke 19. Islam masuk ke Lembah Palu sekitar abad ke-17 dibawa oleh seorang mubaligh yang berasal dari Minangkabau bernama Abdullah Raqie atau yang lebih dikenal dengan Dato Karama. Azis Muhammad mengatakan bahwa Dato Karama datang ke Lembah Palu dengan menggunakan perahu layar, melaju deras di tengah ganasnya ombak besar menggunung dan kencangnya angin. Tak mampu bertahan di tengah laut, akhirnya perahu yang ditumpangi oleh Dato Karama terdampar di tepi pantai Talise atau di sekitar Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Undata, Jl. Suharso. Tempat terdamparnya kapal disebut karampe, sedangkan layarnya terpental jauh dan jatuh di daerah yang disebut Masomba sekarang.
Dapat kita lihat dari penuturan diatas bahwa kedatangan Dato Karama dilingkupi oleh mitos karena ketidakmampuan masyarakat menjelaskan keadaan tersebut secara ilmiah. Hal ini bisa dipahami dalam sejarah. Sebagaimana pendapat Haliadi bahwa mitos bukanlah berarti suatu yang tidak baik tetapi merupakan pikiran yang belum mampu menjelaskan sesuatu secara transparan dan sistematis. Tanpa “pemitosan” kedatangan Dato Karama ke Lembah Palu sulit dijelaskan karena sampai sekarang belum ditemukan bukti tertulis dari abad ke-17 yang membicarakan kedatangan Dato Karama tersebut. Mitos ini dikembangkan secara turun-temurun, karena dimaksudkan untuk mengabadikan kekeramatan dan keagungan seorang tokoh ulama besar di Tanah Kaili.
Salah satu contoh masyarakat Kaili mengabadikan suatu peristiwa sejarah dalam memorinya secara kolektif adalah dari mitos kedatangan Dato Karama ke Lembah Palu ada beberapa hal yang mampu dijelaskan yaitu; 1) Dato Karama datang ke Lembah Palu dengan menggunakan kapal layar. Sarana transportasi ini merupakan satu-satunya yang ada pada masa itu (abad ke-17) di Nusantara. Perahu dan kapal sangat mendapat tempat dalam budaya masyarakat di Nusantara ini, 2) Betapa agungnya pribadi seorang ulama dimata masyarakat Islam, bahkan sang Wali (sebutan untuk mereka yang memiliki Karamah) mempunyai status sosial yang tinggi diatas masyarakat kebanyakan. Penyebabnya adalah sang ulama atau wali menjadi bagian dari kerajaan atau menjadi guru para raja yang selama ini dikatakan sebagai tokoh yang selalu berkata benar. Hal ini dapat dilihat dari gelarnya yaitu “Dato Karama”, 3) Mitos tersebut juga menjelaskan tentang asal-usul sebuah daerah yang akhirnya dipandang mempunyai keunggulan dan keistimewaan sendiri. Kedua daerah tersebut adalah Tanah Minang dan Tanah Kaili di Palu, dan 4) Bahwa pada abad ke-17 tersebut, pemukiman masyarakat di Lembah Palu berada di pesisir sehingga mereka disebut sebagai masyarakat pesisir yang sering mendapat pengaruh dan berhubungan dengan dunia luar (Wilman dkk, 2004: 129-130).
Kedatangan Dato Karama di Lembah Palu disambut dengan baik oleh masyarakat Lembah Palu bahkan kedatangannya disambut oleh dua bangsawan Lembah Palu saat Itu yaitu Parasila atau Pue Njidi dan I Moili atau Pue Bongo. Parasila atau Pue Njidi merupakan raja Kabonena. Pue Njidi dan Pue Bongo kemudian memeluk Islam diikuti oleh masyarakat Lembah Palu. Metode syiar Dato Karama menurut penelusuran beberapa literatur diketahui menggunakan pola yang sama dengan yang digunakan di Kesultanan Aceh. Hal ini dilihat dari kenyataan bahwa Dato Karama merupakan utusan Sultan Iskandar Muda dari Kesultanan Aceh untuk mengislamkan masyarakat di Pulau Sulawesi bersama dengan Datuk Ri Tiro dan Datuk Ri Bandang. Proses Islamisasi yang dilakukan oleh Dato Karama berpusat pada sebuah mesjid yang didirikan atas dukungan masyarakat (penduduk) di sekitar masjid tersebut. Masjid ini diberi nama masjid Jami dan berada di wilayah kelurahan Kampung Baru sekarang.
Pada periode selanjutnya tepatnya abad ke-18, Islam di Lembah Palu mengalami transformasi dari periode mitos ke periode ideologi. Di dalam periode ideologi ini, peran orang-orang Bugis/Makassar dan Mandar sangat signifikan terutama dalam proses Islamisasi di Lembah Palu. Hal ini ditandai dengan munculnya sistem mengaji yang mengikuti model mengaji Bugis Makassar. Islamisasi yang dilakukan oleh orang-orang Bugis Makassar yang bermigrasi ke Sulawesi Tengah dimulai dengan penanaman Ideologi sebagai akibat dari ditandatanganinya Perjanjian Bongaya oleh Raja Gowa yang menyebabkan bangsawan-bangsawan Bugis Makassar kehilangan status kebangsawananya dan berupaya mencari hegemoni di tempat lain. Mereka membentuk mitos-mitos agar dapat diterima di masyarakat lokal dan mencari legitimasi agar mereka leluasa berdagang sekaligus menyiarkan Islam.
Hal ini dibuktikan dengan munculnya model mengaji huruf ugi yang mengikuti pola mengaji Bugis Makkasar serta munculnya mitos-mitos seperti mitos Tana Sanggamu (Tanah Segenggam) yang diambil dari proses penciptaan manusia menurut Islam. Selain itu, tradisi yang berasal dari periode ini yang dapat kita lihat dalam kehidupan masyarakat Lembah Palu sampai sekarang yaitu Barasanji.
Pada periode selanjutnya, sekitar abad ke-19 sampai pertengahan abad ke-20, Islam di Lembah Palu masuk ke dalam periode ilmu pengetahuan yang ditandai dengan didirikannya Perguruan Islam Al-Khairaat oleh Sayed Idrus bin Salim Al-Jufri. Sayed Idrus bin Salim Al-Jufri merupakan seorang mubaligh yang berasal dari Taris, Hadramaut di Arab Selatan. Beliau bekerja sama dengan Magau Tjatjo Idjazah beserta masyarakat Lembah Palu untuk mendirikan Al-Khairaaat yang bisa kita lihat sampai sekarang. Dalam perkembangannya, Al-Khairaat menjadi perguruan Islam yang memiliki banyak murid bukan hanya dari Palu tetapi dari beberapa daerah di kawasan Timur Indonesia dan daerah di sekitar Palu.
Berdasarkan periode-periode masuk dan berkembangnya Islam di Lembah Palu seperti yang telah diuraikan diatas, dapat kita simpulkan bahwa Islam masuk dan berkembang di Lembah Palu dipengaruhi oleh budaya Minangkabau, Bugis, Mandar, dan Makassar serta pengaruh langsung dari Arab (Hadramaut). Tentunya pengaruh dari kebudayaan-kebudayaan tersebut memperkaya khazanah budaya di Lembah Palu khususnya dan Sulawesi Tengah pada umumnya.
0 Comments