69 Tahun Soe Hok-gie: Refleksi Idealisme Mahasiswa Indonesia

69 Tahun Soe Hok-gie: Refleksi Idealisme Mahasiswa Indonesia


 
Karakter seseorang menandakan jiwa zamannya, tetapi terkadang pemikiran seseorang melampaui zamannya. Badan boleh binasa, tetapi pemikiran seseorang tetap mengabadi sepanjang masa. Salah satu golongan yang memiliki peran vital dalam masyarakat adalah mahasiswa. Golongan kelas menengah ini dituntut untuk selalu melahirkan pemikiran yang baru dan segar. Selain itu mahasiswa juga dituntut untuk menjadi aktor perubahan baik evolusioner maupun revolusioner.

Periode tahun 1960-an, gerakan mahasiswa Indonesia terpolarisasi oleh berbagai kepentingan pribadi, kelompok, golongan, agama, bahkan kepentingan politik; politik aliran, politik kelompok atau golongan, dan politik partai. Situasi pada saat itu tidak jauh berbeda dengan kondisi saat ini. Hal tersebut membuat saya teringat pada satu sosok yang turut andil dalam gerakan perubahan pada periode akhir orde lama tersebut. Sosok tersebut saya kenali dari berbagai literatur dengan nama Soe Hok-gie.

Soe Hok-gie lahir pada tanggal 17 Desember 1942. Ia lahir ketika perang tengah berkecamuk di Pasifik. Perjalanan hidupnya sangat singkat. Ia meninggal pada tanggal 16 Desember 1969 dalam usia 27 tahun. Kematiannya yang mengejutkan membuat banyak orang menangis dan meratap dengan perasaan tak menentu. Semasa hidupnya, banyak orang yang tidak dapat tidur nyenyak karena komentar pedasnya. Keberanian yang luar biasa dari seorang intelektual yang independen dan idealis. Pemikirannya kritis, rasional, dan terkadang melampaui zamannya.

Pada tahun 1961, gie menuntut ilmu di Jurusan Sejarah, Fakultas Sastra, Universitas Indonesia. Inilah awal dari kehidupan baru yang kemudian menghantarkan namanya melambung tinggi melampaui ketinggian Semeru, gunung tempatnya menghembuskan nafas terakhir bahkan melebihi tinggi pesawat Hercules yang mengudara menghantarkan jenazahnya kembali ke Jakarta. Ketajaman penanya mengisyaratkan bahwa ia seorang sejarawan yang menulis apa adanya bukan ada apanya.

Sikap idealis yang dipertahankannya membuatnya berseberangan dan kemudian ditinggalkan dan dikucilkan oleh teman-temannya. Tetapi hal tersebut bukanlah persoalan yang berarti untuknya. Baginya, ketika kita mempertahankan kebenaran, artinya kita telah siap kesepian. Idealis sejati hanya berkata, berbuat, dan bertindak atas nama kebenaran. Itulah Soe Hok-gie, intelektual yang selalu menjadi inspirasi mahasiswa Indonesia di segala zaman.

Ketika kawan-kawannya seperjuangannya telah duduk menjadi birokrat dan perlahan-lahan mulai kehilangan idealismenya. Gie tetap saja pada pendiriannya. Baginya, politik adalah lumpur yang kotor. Namun ketika kita tidak dapat lagi menghindar, maka terjunlah ke dalamnya.

Bagi gie, lebih baik diasingkan daripada menyerah kepada kemunafikan. Dalam entri catatan hariannya, ia mengutip seorang filsuf Yunani yang mengatakan bahwa nasib terbaik adalah tidak dilahirkan, yang kedua dilahirkan tapi mati muda, dan yang tersial adalah umur tua. Bagi gie, orang yang mati muda tidak kehilangan idealismenya.

Dewasa ini, pergerakan mahasiswa kembali menuju jalur yang menanjak. Kesadaran akan statusnya sebagai agen of social change mendapat tantangan berat. Pilihan antara meneruskan perjuangan atau kuliah menjadi tanda tanya besar yang menyesakkan dada. Seorang intelektual atau menurutnya intelegensia harus memiliki kemampuan berpikir yang baik dan mencipta sesuatu yang baru. Itu memang tugas utamanya, tetapi kondisi politik negara dan kehidupan sosial yang biasanya memberikan ketidakadilan juga menuntut seseorang untuk bergerak sesuai fungsi sosialnya, alat kontrol sosial. Guna menjalankan fungsi sosialnya dengan baik, maka seorang mahasiswa wajib memiliki kepekaan, kepedulian, dan keberpihakan sosial kepada mereka yang tertindas oleh kekuasaan negara.

Soe selalu tampil ke depan untuk melawan dan menyuarakan ketidakadilan. Namun ia tak pernah menganjurkan anarkis saat mereka melakukan aktivitas politik ala mahasiswa. Saat ini, anarkisme cenderung menjadi simbol dari pergerakan mahasiswa. Jarang kita dengar aksi mahasiswa berakhir dengan damai. Bahkan yang terbaru, muncul aksi bakar diri yang dilakukan oleh Sondang Hutagalung sebagai bentuk perlawanan dan kekecewaan atas carut-marutnya keadaan bangsa ini.

Menengok sebentar kepada aksi yang dilakukan oleh Sondang, kita masih perlu mempertanyakan apa motif dibalik aksi bakar dirinya, apa latar belakang yang mempengaruhi, Sondang melakukan aksinya, apakah ideologi, psikologi, lingkungan, atau keluarga? Ini hal yang harus dijawab agar kita tidak terjebak pada spekulasi-spekulasi yang “menyesatkan”. Apakah tindakan Sondang termasuk kedalam gerakan utopis? Saya rasa ini perlu telaah lebih lanjut.

Sebuah pertanyaan muncul, masih adakah seorang mahasiswa Indonesia yang seperti gie? Yang sama persis sulit ditemukan, tetapi saya yakin suatu saat pasti ada; jika ketidakadilan, korupsi, kolusi, kemiskinan, dan hal-hal sejenisnya masih ada. Hukum belum ditegakkan sebagaimana harapan masyarakat bangsa. Apalagi demokrasi ala Indonesia masih menjadi masalah oleh negara. Dan negara hanya mementingkan citranya sebagai bangsa yang besar, tapi melupakan masa lalunya.
Di tengah persoalan bangsa yang semakin pelik, bangsa ini membutuhkan generasi muda yang sadar akan nasib bangsanya. Generasi muda yang tidak hanya kritis tapi juga rasional. Generasi muda khususnya mahasiswa hendaknya bertindak sesuai dengan statusnya sebagai agen perubahan sosial. Tetapi saat ini, mahasiswa tidak cukup hanya menjadi agen tetapi juga dituntut menjadi aktor dari perubahan itu sendiri. Ingat bahwa setiap generasi berhak menulis sejarahnya sendiri. Jangan sampai mahasiswa malah berubah menjadi leviathan, meminjam istilah Thomas Hobbes, yang malah menjadi aktor di balik carut-marutnya kondisi negara ini.
    
Bercermin pada masa lalu menjadikan kita lebih arif. Manusia dengan potensi jiwa yang selalu menyuarakan kebenaran dan berbuat benar, pasti beroleh ketenangan. Jika ia telah sampai di halte terakhir kehidupan, dirinya akan dikenang dan dikagumi sebagai generasi emas yang tak pernah lekang dalam ingatan kolektif masyarakat bangsanya. Itulah Soe Hok-gie empat puluh satu tahun yang lalu. Semoga masih ada lagi yang lain.

*Penulis adalah Mahasiswa Pendidikan Sejarah Universitas Tadulako
Aktif di Kelompok Diskusi Komunitas Batu Karang (KBK)     

Post a Comment

1 Comments