Lebaran Mandura: Perekat Silaturahmi di Kampung Baru

Lebaran Mandura: Perekat Silaturahmi di Kampung Baru

Matahari mulai terbenam di ufuk barat, Rona jingga senja mulai memudar seiring munculnya bulan dan bintang di langit malam. Malam itu, Masjid Jami yang terletak di Jalan Wahid Hasyim, Kelurahan Baru, Kecamatan Palu Barat, dipadati ratusan jamaah, baik laki-laki maupun perempuan, tua, muda, hingga anak-anak.

Adzan maghrib pun berkumandang dari menara yang terletak di samping masjid. Segenap jamaah melaksanakan buka puasa sekaligus menandai genapnya Puasa Syawal yang mereka jalani sejak lima hari sebelumnya. Hari itu, Kamis (21/6/2018) atau 7 Syawal 1439 H, merupakan hari terakhir pelaksanaan Puasa Syawal bagi sebagian umat Islam yang telah memulai puasa Syawal sejak 2 Syawal.

Momen genapnya puasa syawal tersebut, seringkali diperingati dengan beragam tradisi di nusantara. Di beberapa daerah dikenal dengan istilah Lebaran Ketupat. Wilayah Kelurahan Baru sendiri, merayakan momen ini dengan tradisi yang dinamakan Lebaran Mandura.


Lebaran Mandura sendiri pada hakikat pelaksanaannya, tidak berbeda jauh dengan pelaksanaan Lebaran ketupat, di sejumlah daerah lain di nusantara, yaitu dilaksanakan setelah menggenapi pelaksanaan puasa Syawal, selama enam hari pasca Hari Raya Idul Fitri. Hal yang membedakan adalah jika di daerah lain di nusantara menggunakan ketupat sebagai ikon kuliner pada momen tersebut, maka di wilayah Kampung Baru, Mandura yang menjadi ikon pada momen tersebut.

Mandura sendiri merupakan makanan khas di wilayah Lembah Palu dan sekitarnya, yang biasa disajikan pada saat hari-hari besar Islam, seperti Hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha. Mandura terbuat dari beras ketan (pulut) dengan tiga varian warna yakni putih, merah dan hitam, yang dimasak dengan santan kelapa, kemudian setelah setengah masak, dibentuk menjadi lingkaran pipih, dengan menggunakan cetakan dari bambu atau pipa plastik. Pulut yang telah berbentuk lingkaran tersebut, disusun dengan dilapisi daun pisang di antara lapisan agar tidak lengket, lalu kemudian dibungkus dengan beberapa lapisan daun pisang, agar tidak kemasukan air saat direbus.

Setelah dibungkus daun pisang, Mandura kemudian direbus dalam panci berukuran besar dengan api dari kayu bakar. Proses perebusan biasanya memakan waktu hingga 3-4 jam, hingga Mandura matang dan siap disajikan. Di wilayah Lembah Palu dan sekitarnya, Mandura biasanya disantap dengan kuliner khas Kaili lainnya seperti Uta Dada (sayur santan dengan daging ayam), Gore-gore (sambal goreng daging), Duo Sole (ikan kecil yang digoreng saos), Uta Kelo (sayur daun kelor bersantan), serta aneka kuliner lainnya.

Mandura ini, selain menjadi makanan khas lebaran di sekitaran Lembah Palu, juga menjadi makanan khas lebaran di daerah Sulawesi Selatan. diperkirakan, Mandura ini merupakan hasil akulturasi budaya dengan para pendatang dari Sulawesi bagian selatan, yang berdiaspora ke Lembah Palu dan sekitarnya, sejak abad ke 17.

Kembali pada pelaksanaan Lebaran Mandura, ada beberapa esensi maknawi dari pelaksanaan tradisi yang telah berumur ratusan tahun tersebut. Tokoh masyarakat Kelurahan Baru, KH Qasim Saleh menjelaskan, secara maknawi, Mandura yang terbuat dari ketan yang memiliki sifat perekat, yang memiliki makna, manusia boleh berbeda status sosial, tapi dipersatukan oleh satu kekuatan yakni silaturahmi, layaknya Mandura yang dibungkus berlapis-lapis dan sedemikian rupa. Hal ini kata dia yang menjadikan Mandura sebagai simbol perekat silaturahmi, persatuan dan persaudaraan.

Adapun tiga warna ketan yang digunakan dalam proses pembuatan mandura, yakni ketan warna putih, hitam dan merah, memiliki filosofi maknanya sendiri-sendiri. Tokoh agama sekaligus tokoh adat Kelurahan Baru, Ust Husein H Muh Saleh, pada pelaksanaan Lebaran Mandura tahun 2016 lalu mengatakan, warna putih melambangkan kesucian, merah melambangkan keberanian, dan hitam melambangkan kebijaksanaan.

Esensi maknawi inilah yang agaknya membedakan pelaksanaan Lebaran Mandura dan Lebaran Ketupat di daerah lainnya di nusantara. Mandura bagi masyarakat Kelurahan baru, tidak hanya dipandang sebagai makanan khas yang selalu disajikan pada momen hari raya, tetapi nyatanya memliki makna esensial yang jika dikaji, memiliki nilai – nilai luhur yang terkandung di dalamnya.

Nilai-nilai luhur ini sendiri, merupakan nilai-nilai kearifan lokal, yang semakin dikedepankan pasca masuknya Islam di Lembah Palu, sekitar awal abad 17. Tradisi Lebaran Mandura juga menandai periode ideologis dalam penyebaran Islam di lembah Palu, yang menurut budayawan Amin Abdullah, dalam bukunya, Masjid Jami Kampung baru: Sejarah dan Perkembangannya, adalah periode penerapan syariat Islam.

Dalam buku setebal 61 halaman tersebut, Amin menghadirkan sebuah realitas bahwa, periode ideologis penyebaran Islam di lembah Palu di pertengahan abad 19 dan awal abad ke 20, didominasi oleh para mubaligh-pedagang Bugis, Makassar, dan Mandar, yang terlebih dahulu berdiaspora ke tanah Melayu (Malaysia, Singapura, Riau).

Realitas ini sejalan dengan apa yang dikatakan Christian Pelras, etnolog Prancis, dalam bukunya, Manusia Bugis, yang mengindikasikan adanya perubahan yang signifikan dari orang-orang “selatan” pasca penandatanganan Perjanjian Bongaya pada tanggal 18 November 1667. Dampak dari perisitiwa tersebut yakni berubahnya pola perantauan dan pelayaran pelaut-pelaut “selatan” mencari kekayaan dan kejayaan, ke wilayah barat nusantara (tanah melayu).

Dengan melihat kenyataan bahwa Mandura juga merupakan makanan khas lebaran di wilayah Sulawesi Selatan, khususnya Bugis dan Makassar, maka dapat disimpulkan bahwa Mandura ini adalah bukti akulturasi budaya Bugis Makassar yang dibawa dari selatan dengan kebudayaan di Lembah Palu. Penerimaan tersebut menunjukkan bahwa masyarakat Lembah Palu, khususnya Kampung Baru, terbuka menerima kehadiran pendatang seperti masyarakat Bugis Makassar. 

Berbicara tentang perayaan Lebaran Mandura di Kampung Baru, tidak terlepas dari kehadiran Masjid Jami Kampung Baru. Masjid yang diyakini sebagai masjid tertua di Kota Palu tersebut, menjadi saksi bisu cikal bakal tradisi Lebaran Mandura tersebut. Ketua Pengurus Masjid Jami Kampung Baru, Ust. Husein H. Muhammad Saleh mengatakan, tradisi perayaan Lebaran Mandura ini sudah ada sejak abad ke-18 atau sebelum Masjid Jami Kampung Baru didirikan.

Dalam perkembangannya, awalnya masjid bukan hanya dijadikan sebagai sarana tempat ibadah. Fungsi masjid juga merupakan tempat syiar agama Islam dengan berbagai kegiatan seperti membaca kitab suci Al-Qur’an (mengaji) dan pusat kajian-kajian Islam. Meski telah memiliki banyak fungsi, belum banyak masyarakat yang datang berkunjung. Hal ini dikarenakan masyarakat di Lembah Palu pada saat itu, dikenal sebagai masyarakat yang ‘malas’ beribadah. Kejadian tersebut dicatat oleh N. Adriani dan Alb. C. Kruijt dalam buku Van Poso Naar Parigi Sigi En Lindoe door, saat berkunjung di Lembah Palu tanggal 25 September 1898.

Keduanya menuliskan, ‘Dari orang-orang Bugis di Palu kami mendengar bahwa orang-orang Kayeli amat lalai melakukan agamanya. Tamajuda, orang yang telah disebut terdahulu di sini, turut tidak senang/ marah kepada orang-orang Kayeli yang malas beragama itu, sungguhpun dia sendiri bukanlah seorang muslim yang baik, sebab dia biasa mengisap candu dan minum saguer (tuak)’.

Berdasarkan kenyataan di atas, maka tidak jarang pula, karena sepinya masjid, rumah pun dijadikan sebagai tempat belajar mengaji. N. Adriani dan Alb. C. Kruijt menuliskan, ‘Di waktu pagi-pagi sekali, ternyata bagi kami tuan rumah yang memberi penginapan kepada kami, bukanlah seorang pedagang, tetapi seorang guru dalam mengajar membaca Al Quran. Pagi-pagi sekali di rumah itu, kedengaran suara ribut luar biasa. Orang-orang dewasa sedang membaca dengan nyaring, suaranya dibarengi dengan suara nyaring anak-anak yang masih belajar mengeja ayat-ayat dalam Al Quran’.

Orang yang mengajarkan mengaji atau dikenal “Guru Mengaji” ini, kebanyakan berasal dari orang-orang Bugis dan Makassar. Hal ini dapat dilihat dari cara mengeja ayat-ayat suci dengan menggunakan bahasa Bugis dan Makassar. Ini dapat menjelaskan pula bahwa penyiar Islam di Lembah Palu juga dilakukan oleh orang-orang dari wilayah Bugis dan Makassar, di mana awalnya mereka datang untuk berdagang.

Keadaan masyarakat yang masih mencampuradukkan kepercayaan lokal dan ajaran Islam inilah pula, yang mendorong salah seorang mubalig dari Cikoang, Sayyid Bahrullah Bafaqih Al Aidid, yang berdakwah di wilayah Kampung baru sejak 1840, secara perlahan mengubah kebiasaan masyarakat setempat, yang saat itu sebagian besar masih menganut animisme dan dinamisme, dengan pendekatan kebudayaan. Tradisi Palaka yaitu sebuah tradisi berupa persembahan sesajian bersifat animisme dan politeisme yang sering dilakukan oleh masyarakat setempat di masa itu, perlahan dirubah dengan peringatan Maulid (Maulu), yang secara turun temurun dilakukan oleh Komunitas Cikoang. Jika di Cikoang, peringatan Maulid (Maudu) identik dengan bentuk perahu atau kapal, yang menujukkan akulturasi dengan budaya setempat yaitu budaya maritim, peringatan Maulid di wilayah Boyantongo (Kampung Baru), menggunakan media berbentuk segi empat, yang dinamakan Paha’ atau Paham, di mana filosofinya, dengan peringatan Maulid tersebut, masyarakat setempat mulai memahami bahwa tradisi yang mereka lakukan sebelumnya, bertentangan dengan ajaran Islam.

Lebaran Mandura pun, jika merujuk pada keterangan Ust Husein H Muh Saleh, bahwa tradisi perayaan Lebaran Mandura ini sudah ada sejak abad ke-18 atau sebelum Masjid Jami Kampung Baru didirikan, dapat disinyalir merupakan upaya yang sama seperti yang dilakukan mubaligh asal Bugis dan Makassar di wilayah Lembah Palu, untuk menyiarkan ajaran Islam, melalui pendekatan ideologis, dengan pemahaman hakikat nilai-nilai ajaran Islam. Syiar Islam  dengan pendekatan akulturasi budaya, memang dirasa lebih mampu diterima oleh masyarakat di Lembah Palu pada saat itu. Pelaksanaan Lebaran Mandura sendiri menurut saya, dahulu diperkenalkan untuk mempopulerkan ibadah puasa Syawal yang dilaksanakan pada bulan Syawal, pasca pelaksanaan Hari Raya Idul Fitri.

Kini, seiring perkembangan zaman, esensi pelaksanaan Lebaran Mandura, tidak lagi hanya sekedar akulturasi budaya saja, tetapi hakikatnya lebih kepada momen perekat silaturahmi dan persatuan antara masyarakat di Kelurahan Baru dan sekitarnya. Lebaran Mandura wajib dilestarikan sebagai bagian dari warisan budaya, dengan nilai-nilai luhur yang mengajarkan kearifan bagi kita semua. ***   

Post a Comment

0 Comments