FOTO: Nukilan surat kabar Haagsche Courant edisi 22 Juli 1938, yang berisi laporan perjalanan jurnalis surat kabar tersebut, dari Batavia menuju Poso.
Tidak banyak jurnalis dari surat kabar berbahasa Belanda, baik yang terbit di Belanda maupun di Hindia Belanda, yang merasakan langsung peristiwa bencana yang terjadi di wilayah Hindia Belanda. Selama ini, berita dari berbagai surat kabar tersebut, mengandalkan laporan dari Aneta, kantor berita di masa Hindia Belanda, atau laporan resmi dari pemerintah kolonial.
Jurnalis Haagsche Courant mungkin merupakan satu di antara jurnalis yang beruntung, bisa merasakan langsung peristiwa kebencanaan yang terjadi di wilayah Hindia Belanda. Pengalaman merasakan langsung peristiwa bencana ini, kemudian dituliskan dalam sebuah laporan jurnalistik, yang terbit di surat kabar tersebut, edisi 22 Juli 1938.
Dalam lapoan berjudul Indrukken van een Indischen “uithoek": Op weg naar N.W. Celebes (Tayangan dari "Sudut" Hindia: Perjalanan ke Barat Laut Sulawesi), jurnalis Haagsche Courant ini menceritakan tentang perjalanannya bersama istri dan anaknya, dari Batavia menuju Poso, pada akhir Maret 1938.
Dirinya meninggalkan Batavia menuju Poso, setelah tinggal di Batavia selama kurang lebih delapan bulan. Dari sana dirinya berangkat malam menggunakan kereta ke Surabaya, dengan perjalanan selama satu hari penuh.
Dari Surabaya, dirinya menaiki salah satu kapal uap KPM, yakni "Melchior Treub", menuju Makassar. Dalam perjalanan ini, kapal berhenti di Bali untuk membiarkan turis turun. Kesseokan harinya, dirinya tiba di Makassar, dan menginap di sana selama sehari, lalu berangkat dengan kapal KPM yakni S.S. Van der Overstraten ke Donggala.
Berlabuh di Donggala, dirinya tetap berada di atas kapal. Ia melihat, di antara penumpang yang turun, banyak haji. Dari Donggala, Van Der Overstraten bergerak ke sepanjang pantai Utara Sulawesi menuju Kwandang. Tiba di Kwandang, dirinya turun dengan perahu motor dengan sekoci, di mana para pelayan membawa mereka ke darat.
Dari pantai utara Kwandang, perjalanan dilanjutkan dengan menggunakan mobil menuju Gorontalo dengan biaya Æ’ 12,50. Perjalanan ini memakan waktu lebih dari 2 jam perjalanan di jalan basal, yang menyebabkan ban mobil kempes. Perjalanan ini disebut oleh jurnalis Haagsche Courant sebagai perjalanan yang indah, melalui pegunungan dengan banyak tikungan tajam dan banyak hutan, yang sangat sejuk.
Tiba di Gorontalo, dirinya menginap di hotel selama 3 hari. Dengan tarif Æ’ 12 per hari. Hotel ini disebut sangat bagus dan makanannya sangat enak. Pemilik hotel disebut memfasilitasi mobil menuju Poso melalui kota. Jika kita sampai di Poso tepat waktu, perjalanan Batavia-Poso kata dia, akan memakan waktu hampir 2 minggu.
Dari Gorontalo, dirinya menumpang kembali kapal Van Der Overstraten yang membawanya menuju Poso.
Poso yang terletak di Teluk Tomini disebutnya sangat bagus dan indah, seperti taman vila kecil dengan halaman rumput yang indah. Kota dibangun bulat dan memiliki kira-kira 300 jiwa penduduk, di mana terdapat 4 keluarga Eropa, sisanya adalah orang Cina, Minahasa, beberapa orang Arab dan sangat sedikit orang Jawa. Ada 3 lapangan tenis besar, yang dimanfaatkan oleh orang Cina. Selain itu ada pula kolam renang cantik yang airnya berwarna biru langit yang indah. Di kolam itu terdapat perahu kecil tanpa dayung.
Kata dia, dimungkinkan untuk mendayung dan berlayar di laut, tetapi dirinya tidak akan melakukannya, karena laut di sekitar Poso penuh dengan hiu. Di pantai disebut, ada dermaga kecil yang ujungnya mengarah ke laut, di mana warga disebut bisa menikmati memancing di dermaga itu pada malam hari.
Dirinya juga menyebut, meski Poso merupakan kota kecil, masih ada jalan pertokoan dengan toko yang lumayan besar, di mana kita bisa mendapatkan semua sayuran kaleng. Dirinya juga menyebut, daging berlimpah di sini, karena mereka bisa menyembelih dua kali dalam seminggu dan kemudian memesan dalam jumlah besar sekaligus, yang kemudian disimpan di lemari minyak.
Lokasi Poso juga disebut strategis untuk hubungan pos dengan Belanda. Dirinya menyebut, mereka dapat menerima surat dari Belanda setiap minggu dan sebaliknya. Penyeberangan memakan waktu 14 hari.
Tiba di Poso, dirinya juga menyebut mereka telah divaksinasi lagi untuk melawan kolera, tifus dan disentri.
Dalam kunjungan ke Poso itu, dirinya bersama beberapa orang lainnya mengunjungi Raja Poso. Dirinya menyebut, raja tidak bisa berbicara atau mengerti bahasa Belanda atau Melayu, namun putranya bisa berbahasa Belanda.
Rumah raja disebutnya memiliki tangga menuju rumah kayu yang indah. Raja disebut adalah seorang lelaki tua berperawakan kecil, mengenakan setelan piole berwarna biru dan memakai banyak cincin. Istrinya hanya mengenakan sarung dan kabaya. Dalam kunjungan ini, dirinya mendapat limun, bir, cerutu, dan rokok.
Merasakan Gempa 20
Mei 1938
Dalam laporan ini, jurnalis Haagsche Courant itu menyebut, dirinya merasakan gempa bumi untuk pertama kalinya di Poso. Dirinya menyebut, pada pukul 1:30 malam tanggal 20 Mei 1938, rumah yang ditempatinya bersama istri dan anaknya yang ikut dalam perjalanan, mulai berguncang hebat.
Saat rumah berguncang, dirinya segera mengeluarkan bayinya dari dalam rumah dan mereka semua keluar. Dirinya menyebut, untung gempa dahsyat itu tidak berlangsung lama. Keesokan paginya sebut dia, kantor berita Hindia Belanda, Aneta melaporkan, Paloe (Palu) dan Donggala dalam kondisi sangat buruk.
Rumah-rumah yang roboh di dua wilayah itu kata dia, adalah rumah kampung. Jarak Palu - Poso sendiri sebut dia, adalah dari Amsterdam - Dordrecht. Gempa kata dia, sangat terasa di sini.
Menurut warga lain di Poso kata dia, mereka belum pernah mengalami hal seperti itu. Tidak ada kerusakan berarti di rumah yang ditempatinya bersama keluarganya, namun di Palu, gempa menyebabkan lemari-lemari jatuh.
Dirinya menyebut, pasca gempa besar, tanah masih bergerak sedikit, sehingga mereka masih merasakan guncangan di tempat mereka mengamankan diri.
Pagi harinya, pada pukul 04.30, dirinya menyebut ada getaran lagi. Ia menyebut, jam tangannya dan jam di rumah sakit berhenti pada jam itu. Semua ini merupakan pengalaman yang aneh baginya, yang telah berada di Hindia Belanda kurang dari setahun.
Dirinya mengatakan, untungnya Poso, Palu dan Donggala tidak memiliki tanah vulkanik. Laporan gempa bumi ini kata dia, tentu saja telah sampai ke telegraf Belanda. Pada hari-hari selanjutnya, dirinya menyebut, kadang-kadang masih bergetar di bawah tanah. Di Parigi sebut dia, semua orang masih di pegunungan. Pada hari-hari selanjutnya, dirinya menyebut, mereka menerima daftar registrasi untuk mendukung para korban. ***
0 Comments