Belajar Dari Catatan Malapetaka 20 Mei 1938

Belajar Dari Catatan Malapetaka 20 Mei 1938

FOTO: Bredasche courant, terbitan 16 Juni 1938, tentang bantuan Ratu Belanda untuk bencana 1938

 

Jumat dini hari, 20 Mei 1938, gempa bumi membuyarkan mimpi dan membangunkan masyarakat di wilayah Teluk Palu dan Teluk Tomini dari tidur lelapnya. Mereka berhamburan keluar rumah menyelamatkan diri, menyaksikan rumah panggung yang mereka tempati roboh. Sebagian bisa dikatakan lebih beruntung, karena meskipun rumah mereka miring akibat guncangan gempa, namun tidak sampai roboh.

Belum hilang kebingungan masyarakat dengan apa yang terjadi di situasi yang gelap gulita itu, tsunami kemudian menyapu wilayah kawasan pesisir Teluk Palu dan Teluk Tomini. Pohon kelapa, rumah dan warga yang tinggal di kawasan pesisir yang tidak sempat menyelamatkan diri, hanyut terbawa tsunami.

Peristiwa memilukan ini kemudian menjadi berita utama di sejumlah surat kabar berbahasa Belanda, baik yang diterbitkan di Belanda, maupun di wilayah nusantara, yang pada saat itu masih dikuasai Pemerintah Kolonial, dengan nama Hindia Belanda. Salah satu surat kabar berbahasa Belanda saat itu, Java Bode, memberikan laporan panjang tentang bencana ini. Laporan Java Bode ini sendiri, dikutip oleh berbagai surat kabar lainnya saat itu, termasuk Haagsche courant.

Pada edisi 17 Juni 1938, atau hampir sebulan setelah bencana gempabumi dan tsunami tersebut, Haagsche courant merilis laporan panjang Java Bode, dengan judul De aardschokken op Celebes (Gempa bumi di Celebes) dan sub judul Een overzicht van de aangerichte verwoestingen (Gambaran dari kehancuran tersebut).

Laporan panjang ini terdiri dari tiga bagian, bagian pertama menjelaskan tentang tindakan bantuan (de hulp-acties), bagian kedua menjelaskan mengenai gelombang pasang/tsunami (de vloedgolf). Sedangkan bagian ketiga menjelaskan mengenai banyaknya ternak yang tenggelam atau hanyut (veel vee verdronken).

Pada bagian pertama laporan ini, tim Java Bode menjelaskan, mereka tiba di Donggala pukul 01.20 malam, pada 20 Mei 1938. Mereka melaporkan, gempa bumi yang hebat terasa. Di distrik Tawaeli Selatan dilaporkan, 24 rumah roboh dan dua belas lainnya dalam kondisi miring.

Mereka juga melaporkan, gelombang pasang (tsunami) yang mencapai seratus meter ke darat, menyeret empat belas rumah di Mamboro. Seorang wanita Cina yang sudah menikah, yang kemudian diketahui bernama Ban Ho, dilaporkan tewas akibat tsunami tersebut.

Selanjutnya, antara kilometer 45 dan 46 di jalur Palu – Tawaeli, dua buah jembatan hancur. Pada saat itu dilaporkan, belum ada pesan yang diterima dari Sirendja (Sirenja) dan N. Banawa (Banawa Utara, wilayah Balaesang, Dampelas dan Sojol), maupun dari Onderafdeeling Parigi dan Toli-Toli.

Gezaghebber Paloe (Palu) melaporkan, gempa bumi yang hebat juga dirasakan di sana. Sebanyak enam puluh rumah roboh di Palu dan sekitarnya, namun tidak ada laporan korban jiwa. Saluran air rusak parah, dan hubungan dengan Kulawi terputus. Dilaporkan, guncangan ringan masih terasa di Donggala pada 20 Mei.

Kemudian laporan ini juga menjelaskan, pada Jumat (20/5/1938) dini hari, gempa juga melanda Onderafdeeling Parigi. Dilaporkan, menjelang pukul 01.00, getaran pertama terasa, diikuti guncangan hebat, yang berlangsung sekitar lima menit. Guncangan masih terpantau hingga sore hari berikutnya.

Pada bagian kedua laporan ini menjelaskan, gempa dahsyat di Onderafdeeling Parigi itu, diikuti gelombang pasang, yang menurut saksi mata, tingginya 2 sampai 3 meter, di mana air mengalir ke daratan hingga seratus meter.

Dari Toriboeloe (Toribulu) hingga Parigi dilaporkan, sekitar 450 rumah roboh dan seratus lainnya miring. Akibat robohnya rumah, satu orang terluka parah, sementara belasan lainnya menderita luka ringan.

Java Bode juga melaporkan, delapan orang hilang karena gelombang pasang, di mana kemudian tiga jenazah ditemukan. Kemudian di antara Ampibabo dan Parigi, gelombang pasang disebut telah mendatangkan malapetaka, di mana gempa itu juga yang terparah berdampak di sana. Jalan dari Toribulu rusak parah dan terdapat ratusan retakan yang tegak lurus dan sejajar dengan garis pantai.

Pantai di lokasi ini sendiri juga dilaporkan telah surut di banyak tempat. Hampir semua jembatan hancur, karena abutment (kepala jembatan) nya retak atau roboh. Di banyak tempat, lumpur berwarna abu-abu atau kuning keluar dari dalam tanah.

Mereka juga melaporkan, di Parigi, selain banyak rumah warga, sekolah negeri dan rumah lanskap juga roboh. Gudang Koninklijke Paketvaart Maatschappij (KPM) perusahaan pelayaran kerajaan dan dermaga rusak berat, rumah Gezaghebber, kantor lanskap, dan banyak bangunan lanskap juga mengalami kerusakan.

Selanjutnya, jalan pegunungan dari Toboli ke Goenoeng (Gunung) Toboli, yang berada pada kilometer 87, rusak parah oleh penurunan permukaan tanah dan endapan batuan berat (longsor). Ruas jalan yang dimaksud, dilaporkan hanya bisa dilalui dengan susah payah, yaitu dengan merangkak.

Pada bagian terakhir, laporan ini menjelaskan mengenai banyaknya ternak yang tenggelam. Mereka menyebut, pada saat mengirimkan laporan yang bersangkutan, kerusakannya masih dinilai, tetapi sudah bisa dikatakan sangat besar. Cukup banyak ternak yang tenggelam dan puluhan ribu batang kelapa telah hanyut.

Setelah mengatur bantuan di Parigi, Gezaghebber ke Tinombo, namun belum ada laporan yang diterima dari sana. Komunikasi telegraf dengan Donggala juga dilaporkan terputus.

Penanganan Pascabencana 20 Mei 1938

Java Bode melaporkan, pascabencana tersebut, tindakan penanganan cepat segera dilakukan di kampung-kampung yang terdampak bencana. Para kepala kampung yang terdampak bencana, mengambil tindakan segera, untuk menyediakan tempat tinggal dan makanan bagi mereka yang kehilangan rumahnya. Selain itu dilaporkan, karena di Parigi semua lemari obat tumbang dan hancur, obat-obatan dan perban untuk korban luka, harus diminta dari Palu.

Sementara itu, De waarnemend - resident (penjabat residen), Reuvers, mengambil langkah untuk mempelajari situasi di tempat dan memberikan bantuan. Senin, 23 Mei 1938 pukul 18.00, ia dilaporkan berangkat dengan kapal pemerintah Reiger, ke daerah-daerah yang dilanda gempa dan gelombang pasang, didampingi oleh kepala polisi, dokter pemerintah, kepala pelabuhan, dua mantri perawat, dua kepala kampung. petugas polisi, 15 petugas polisi lapangan dan seorang fotografer.

Kemudian Smeroefonds (Semeru Fund), sebuah lembaga donor yang berbasis di Surabaya, yang dibentuk pada 1911, setelah letusan gunung berapi Semeru (Jawa) pada tahun 1909, juga turut ambil bagian dalam penanganan pascabencana tersebut. Surat kabar Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië edisi 22 Agustus 1939 melaporkan, Smeroefonds menyediakan 3.000 gulden untuk bantuan bencana alam tersebut.

Bencana tersebut juga menarik perhatian Ratu Kerajaan Belanda saat itu, Wihelmina. Wilhelmina bahkan memberikan bantuan pribadi sebesar 1000 gulden untuk korban bencana tersebut. Hal ini terekam dalam catatan surat kabar Bredasche courant, terbitan 16 Juni 1938, yang melaporkan, pascabencana gempa bumi dan tsunami yang melanda kawasan Teluk Palu dan Teluk Tomini, Ratu Kerajaan Belanda, Wilhemina, menyerahkan bantuan sebesar 1000 gulden kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda, untuk kepentingan korban bencana.

Berita serupa juga tercatat diterbitkan oleh sejumlah surat kabar lainnya, seperti De Telegraaf, Algemeen Handelsblad, De Gooi-en Eemlander, Nieuwe Tilburgsche Courant, Leeuwarder Courant, De Banier, Het Vaderland, De Tijd, Utrecht Volksblad, Zaan Volksblad, De Maasbode, Delftsche Courant, serta Provinciale Overijsselsche en Zwolsche Courant.

Selain pihak Kerajaan Belanda, sejumlah pihak lainnya saat itu juga berupaya menyalurkan bantuan ke wilayah yang terdampak bencana. Salah satu yang tercatat adalah Bala Keselamatan (Salvation Army).

Hal ini tercatat dalam sejumlah laporan surat kabar, baik terbitan Belanda maupun lokal, yang menceritakan perihal tersebut. Salah satunya surat kabar Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië edisi 25 Mei 1938, yang melaporkan, Komandan De Groot dari Bala Keselamatan, menerima laporan dari Sulawesi Tengah, bahwa sebagai akibat gempa bumi di wilayah tersebut, mengakibatkan kerugian sekitar 10.000 gulden dari basis koloni pertanian di Kalawari/Kalawara. Selain itu, terdapat kerugian sekitar 4.000 gulden, diakibatkan kerusakan disebabkan oleh bangunan dan sekolah lain.

Di wilayah basis mereka di Kapiroi, hampir semuanya telah hancur. Adapun total kerugian yang disebabkan oleh gempa bumi berjumlah 14.000 hingga 15.000 gulden. Untuk itu, Bala Keselamatan meminta bantuan dari publik.

De Groot sendiri yang memiliki nama lengkap JW De Groot, merupakan salah seorang Komandan Teritorial Bala Keselamatan yang memimpin teritori Indonesia. Dilansir dari laman resmi Bala Keselamatan, De Groot menjabat antara 1931-1938.

Beberapa bulan kemudian, tepatnya Oktober 1938, Komandan Teritorial Bala Keselamatan pasca JW De Groot, Kolonel AC Beekhuis bersama istrinya, berkunjung ke Sulawesi Tengah. Kunjungan ini dalam rangka perayaan 25 tahun pekerjaan misionaris di wilayah tersebut.

AC Beekhuis sendiri, sebagaimana dilansir laman resmi Bala Keselamatan, merupakan Komandan Teritorial yang memimpin antara tahun 1938 hingga 1946.

Sebagaimana diberitakan surat kabar Soerabaijasch Handelsblad edisi 18 Oktober 1938, Kolonel Beekhuis mengatakan, banyak yang telah hancur akibat bencana, namun bencana itu tidak memiliki pengaruh pada Bala Keselamatan.

Pada kesempatan kunjungannya, Kolonel Beekhuis memeriksa dan memutuskan apa yang akan dipulihkan dan diperbarui. Sekolah yang terdampak bencana telah dan sedang diperbaiki. Secara khusus kata dia, bantuan keuangan besar telah disediakan untuk pekerjaan perbaikan ini dari lingkaran mereka sendiri. ***

Post a Comment

0 Comments