Sekolah di Lanskap Banawa

Sekolah di Lanskap Banawa

FOTO: Pemandangan Kota Donggala dari ketinggian tahun 1937. FOTO: KITLV

Politik etis menjadi titik balik bagi perkembangan pendidikan di Hindia Belanda. Politik balas budi yang secara resmi dicanangkan oleh Ratu Belanda, Wilhemina, saat berpidato di Staten General pada 1901 ini, menjadikan pendidikan sebagai salah satu elemen utama kebijakan ini, selain irigasi dan transmigrasi.

Takashi Shiraishi, sebagaimana dikutip oleh Muhammad Fakhriansyah dan Intan Ranti Permatasari Patoni, dalam Akses Pendidikan bagi Pribumi pada Periode Etis, yang terbit di Jurnal Pendidikan Sejarah Vol. 8 No. 2, Juli 2019 menyebut, perluasan pendidikan gaya barat adalah tanda resmi dari Politik Etis. Keduanya menulis, kebijakan Politik Etis ini juga menyebabkan semakin banyaknya pendirian sekolah di Hinda Belanda.  

Wilayah Landschap (lanskap) Banawa yang berada di bawah wilayah Residen Menado, juga menerima dampak dari perkembangan sektor pendidikan, sebagai bagian dari kebijakan Politik Etis. B.J. Van den Berg, dalam Nota Inzake de Bestuursopvolging in het Landschap Banawa tahun 1936 menyebut, di lanskap Banawa, setelah konversi terakhir pendidikan pribumi, tidak ada lagi sekolah standar atau Standaard School yang dapat ditemukan.

Adapun sekolah menengah atau Vervolg School sebut B.J. Van den Berg, berada di Kota Donggala, sebagai pusat lanskap. Gusti Muh. Prayudi dan Dewi Salindri dalam Pendidikan Pada Masa Pemerintahan Kolonial Belanda di Surabaya tahun 1901-1942 menyebut, Vervolg School merupakan sekolah lanjutan dari sekolah desa (Volksschool), yang dibuka pada tahun 1916.

Keduanya menyebut, lama belajar di sekolah ini dua tahun, dan disediakan untuk murid-murid yang berprestasi baik, dari sekolah desa. Sekolah lanjutan ini setara dengan kelas 4 dan kelas 5 di Sekolah Rendah Kelas Dua, sehingga sekolah ini didirikan di tengah-tengah lingkungan sekolah desa. Sekolah ini disebut sangat jarang peminatnya, di mana sebagian dari sekolah ini, khusus disediakan bagi perempuan yang mendapat tambahan pelajaran membuat kerajinan rumah tangga.

Van den Berg juga mencatat, di lanskap Banawa, ada sekolah rakyat sederhana atau sekolah desa  (Volkscholen/Volksschool). Gusti Muh. Prayudi dan Dewi Salindri menyebut, Sekolah Desa (Volkschool), dibentuk sebuah lembaga yang bernama Inlandsch Volksonderwijs, yang berdiri pada 1907, di mana lembaga ini bertujuan untuk mengusahakan pendidikan yang sederhana bagi penduduk desa.

Lama belajar sekolah desa yaitu 3 tahun, dengan menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa pengantar. Pengetahuan yang diajarkan, yaitu kepandaian membaca, menulis, bahasa Melayu, menggambar dan berhitung.

Adapun menurut Van den Berg, di tiga distrik di lanskap Banawa, terdapat sejumlah Sekolah Desa. Di Distrik Banawa Selatan, terdapat 5 sekolah desa, masing-masing di Bente, Kabonga Besar, Donggala, Loli, dan Lumbumamara. Kemudian di Distrik Banawa Tengah, terdapat 3 sekolah, masing-masing di Lero, Toaya, dan Alindau. Terakhir, di Distrik Banawa Utara, terdapat 4 sekolah, masing-masing di Malei, Tambu, Sibayu, dan Sabang.

Menurut Van den Berg, biaya kontrak guru, pembelian bahan ajar, dan keperluan lainnya dari sekolah,  ditanggung oleh Onderafdeelingschoolfonds Donggala. Penghasilan tersebut diperoleh dari retribusi 10 persen atas pajak penghasilan Zelfbestuur dan dari atau School-Gelden atau uang sekolah, yang tarifnya ditetapkan berdasarkan keputusan Residen Menado. Adapun untuk pendirian dan pemeliharaan gedung sekolah rakyat (volkschool), serta rumah guru, diambil dari Gemeentedients atau layanan kota.

Selain akses pendidikan yang disiapkan oleh pemerintah, Van den Berg juga mencatat sejumlah sekolah swasta, yang terdapat di Kota Donggala. Sekolah swasta ini antara lain, Chineesche School atau sekolah Cina, sekolah yang didirikan oleh Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII), sekolah Muhammadiyah, sekolah swasta di luar konteks PSII, tetapi di bawah arahan mantan guru PSII dari "Comitte Islam", serta sekolah swasta yang dikelola oleh orang Minahasa, di mana di sekolah ini bahasa Belanda diajarkan dan oleh karena itu, biasanya disebut sebagai "H.I.S swasta".

Van den Berg juga menyebut, di Donggala terdapat seorang pengawas sekolah negeri, yang wilayah kerjanyanya juga mencakup wilayah Palu dan Tolitoli.

 


Post a Comment

0 Comments