Teror Krisis Pangan dan Pelajaran Dari Masa Lalu

Teror Krisis Pangan dan Pelajaran Dari Masa Lalu


Saat Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah (Sulteng) mengumumkan pasien positif Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) perdana, 26 Maret 2020 lalu, masyarakat tetiba kalut. Buntut dari pengumuman itu, linimasa media sosial ramai dengan kekalutan, kekhawatiran terkait wabah yang bermula di Wuhan, China tersebut.

Tidak lama setelah pengumuman tersebut dirilis, sejumlah pusat perbelanjaan di Kota Palu mendadak ramai, sesak pembeli. Rak-rak berisi bahan makanan, menjadi sasaran rebutan warga yang kalap, akibat pengumuman tersebut. Beberapa hari setelahnya, sejumlah bahan kebutuhan pokok mengalami kenaikan harga, hingga yang paling naas, susah ditemukan di pasaran.


Situasi ini, tidak jauh beda dengan situasi di hari-hari awal pasca gempabumi, tsunami, dan likuefaksi melanda tiga kabupaten di provinsi tersebut, 28 September 2018 lalu. Bedanya, kekalutan pasca pengumuman pasien positif Covid-19 pertama di Sulteng tersebut, tidak langsung menimbulkan efek destruktif, seperti penjarahan pusat-pusat perbelanjaan, yang terjadi di hari-hari awal pascabencana 28 September 2018.

Per 19 April 2020 kemarin, Pusat Data dan Informasi Bencana (Pusdatina) Covid-19 Provinsi Sulteng merilis data, di provinsi ini sudah 27 orang yang dinyatakan positif Covid-19, di mana tiga di antaranya meninggal dunia dan dua orang lainnya telah sembuh dan diperbolehkan pulang. Jumlah ini bertambah tiga orang, dari jumlah hari sebelumnya yang menyentuh angka 24.

Pemerintah Provinsi Sulteng dan pemerintah kabupaten/kota di wilayahnya, sejak pengumuman pasien positif Covid-19 pertama di Sulteng, 26 Maret lalu, telah berulangkali mengeluarkan imbauan kepada masyarakat, untuk tinggal di rumah saja, membiasakan perilaku hidup bersih dan sehat dengan mencuci tangan dan makan makanan bergizi, menggunakan masker saat sakt dan keluar rumah, serta menjaga jarak saat berada di tempat umum. Pemerintah provinsi dan kabupaten/kota juga telah mendirikan pos-pos di perbatasan wilayah masing-masing, untuk memutus mata rantai penyebaran pandemi ini.

Situasi kehidupan berubah 180 bahkan 360 derajat dengan hadirnya pandemi ini. Ribuan tenaga kerja mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK), karena tempat kerja mereka terpaksa tutup akibat guncangan ekonomi yang menjadi dampak ikutan dari pandemi ini. Efek selanjutnya bisa ditebak, penurunan daya beli terjadi, yang mempengaruhi para pelaku usaha di bidang pangan. Penurunan daya beli ini memicu kerugian dengan skala besar bagi para pelaku usaha pangan, yang memicu kelangkaan stok bahan pangan. Kelangkaan ini, lama-kelamaan akan meicu krisis pangan.
    
Ancaman Krisis Pangan di Depan Mata
Ya, kelaparan dan krisis pangan adalah soal lain yang hadir sebagai dampak dari pandemi ini. Badan Pangan dan Pertanian PBB (FAO) telah memperingatkan mengenai potensi terjadinya krisis pangan, sebagai dampak dari pandemi Covid-19. Kepala Ekonomi dan Asisten Direktur Departemen Ekonomi dan Asisten Direktur Departemen Ekonomi dan pembangunan Sosial FAO, maximo Torero Cullen, dalam laporan di situs resmi FAO, sebagaimana dikutip Katadata, Selasa (14/4/2020), meminta setiap negara yang sedang mengatasi penyebaran virus tersebut, untuk menjaga kelancaran rantai pasokan makanan. Rantai pasokan makanan ini melibatkan interaksi yang kompleks, seperti di sektor pertanian, yang melibatkan petani, benih, pupuk, anti-hama, pabrik pengolahan, pengiriman, pengecer, dan lainnya. Jaringan yang kompleks juga terdapat di sektor peternakan dan perikanan.

Cullen mengatakan, rantai pasokan tersebut mulai mengalami kendala yang terlihat pada April dan Mei, akibat persoalan logistik. Sejak pandemi, pasokan komoditas pangan terhambat pada logistik atau distribusi. Selain itu, pembatasan sosial dan lockdown sangat memengaruhi sector pertanian, khususnya yang membutuhkan banyak tenaga kerja dalam produksinya, seperti buah dan sayur, juga sektor peternakan, seperti pakan ternak dan pengolahan daging.      

Hal ini juga diperparah oleh kebijakan-kebijakan Negara pengirim pangan untuk menghentikan ekspor. Cullen menyebut, potensi krisis pangan ini akan sangat berdampak kepada Negara dengan ketahanan pangan domestik yang paling lemah, seperti negara-negara yang telah memiliki masalah kelaparan dan tak bisa memproduksi pangan di dalam negeri. FAO menyarankan, selain melindungi pasokan dalam negeri, kerjasama lintas negara untuk mengamankan pasokan pangan juga penting.

Menyahuti peringatan FAO, Presiden Joko Widodo meminta para menteri menjaga ketersediaan bahan pokok di dalam negeri, di tengah pandemi. Dirinya secara khusus meminta Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian, untuk mengingatkan para kepala daerah, untuk menjaga ketersediaan bahan pangan. Pihaknya tidak ingin terjadi kelangkaan, sehingga harga pangan melonjak.

Kekhawatiran ini bukan tanpa sebab. Katadata menulis, Indonesia termasuk di dalam mata rantai pasokan pangan global, di mana Indonesia menjadi importir pangan untuk sejumlah komoditi, seperti beras, gula dan daging. Ketiganya kini sedang terancam kelangkaan, karena produksi di dalam negeri tidak memadai dan impor terganggu kebijakan penekanan pandemi di negara lain. Panic buying juga menjadi salah satu penyebab kelangkaan dan ketidakseimbangan antara pasokan dan permintaan bahan pokok.

Untuk Sulteng sendiri, sebagaimana dilansir dari Metro Sulawesi, Kepala Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura Sulteng, Trie Iriany Lamakampali mengatakan, ketersediaan berbagai jenis bahan pangan di Sulteng kini masih aman, bahkan surplus. Misalnya untuk beras, masih surplus kurang lebih 90 ribu ton, dengan asumsi konsumsi 118 kg per kapita.  
Trie memastikan, tidak ada penurunan produksi padi di Sulteng. Apalagi pada Juni mendatang, Sulteng akan memasuki puncak panen. Jadi kata dia, masyarakat tidak perlu khawatir dengan ketersediaan pangan di Sulteng, di masa pandemi ini.

Lumbung dan Memori Ketersediaan Pangan di Masa Lalu   
Teror krisis pangan yang menghantui di tengah pandemi ini, membuat metode tradisional dalam menjaga ketersediaan pangan, baik di lingkup keluarga maupun masyarakat, kembali diingat. Dahulu, masyarakat tidak menggantungkan nasib ketersediaan pangannya kepada pemerintah, tetapi menjaga ketersediaan pangannya sendiri dengan mendirikan lumbung. Kehadiran lumbung atau dalam bahasa Kaili disebut Gampiri, bertujuan untuk mempersiapkan persediaan makanan menghadapi musim tanam, musim paceklik, dan bencana alam atau wabah penyakit. 
   
Kehadiran lumbung sebagai tempat menyimpan persediaan bahan makanan, dewasa ini sudah jarang terlihat. Tinggal beberapa desa adat yang masih mempertahankannya. Sejumlah desa penghasil beras di Sulteng, cenderung berproduksi untuk memenuhi kebutuhan pangan di wilayah perkotaan dan daerah lainnya.     

Lonto dan Sinjango: Cerita Tentang Lumbung di Rano
Cerita tentang lumbung sebagai tempat penyimpanan persediaan pangan, juga lekat dalam ingatan masyarakat Desa Rano, Kecamatan Balaesang Tanjung, Kabupaten Donggala. Kepala Desa Rano, Samin, akhir Februari 2020 lalu, di sela pelaksanaan Festival Danau Rano mengatakan, lumbung sebagai tempat penympanan persediaan padi, hingga tahun 1970 dan 1980-an masih dapat dilihat di desa tersebut. Bahkan kata dia, di masa itu, setiap kepala keluarga memiliki lumbung.

“Kalau lumbung penympanan di dekat danau kita sebut Lonto, sedangkan lumbung untuk persediaan hasil panen di darat, kita sebut Sinjango, sebagai tempat menampung hasil padi ladang,” ujarnya.

Menurut Samin, pembatasan  pembersihan ladang menggunakan metode pembakaran lah, yang menimbulkan penurunan semangat masyarakat setempat, untuk menanam padi ladang. Hal lain juga yang menjadi persoalan adalah jumlah lahan sawah yang sedikit, yakni sekitar 15 hektar.

“Sebelumnya, penanaman padi ladang dilakukan secara menyeluruh, saat Pasobo (pemangku adat di bidang pertanian), memerintahkan untuk menanam padi ladang. Dulu, padi ditanam sedikit sudah banyak hasilnya. Oleh karena itu, tidak ada warga yang luas lahannya lebih dari dua hektar. Sudah paling banyak setengah atau tiga perempat hektar. Hanya Pasobo, yang biasanya membuka lahan lebih dari dua hektar, lewat sistem gotong royong dengan masyarakat,” jelasnya.

Hamparan sawah yang ada kata dia, juga terkendala di status kepemilikan. Menurutnya, ada sekitar 60 orang yang memiliki lahan sawah belasan hektar tersebut. Akhirnya jika dibagi, satu orang hanya dapat mengolah lahan yang kecil. Kepemilikan lahan yang sedikit, membuat hasil yang didapat juga cuma sedikit, biasanya 1-2 petak sawah bias menghasilkan 100 hingga 200-an kg.

Dengan berbagai persoalan tersebut, masyarakat akhirnya memutuskan meninggalkan kebiasaan menanam padi ladang, dan beralih dengan melakukan penanaman cengkeh, pada tahun 1980-an. Itupun tidak menyeluruh, karena tidak semua lokasi cocok ditanami cengkeh.

“Pembukaan lahan secara besar-besaran untuk penanaman cengkeh, terjadi pada tahun 1990-an. Biasanya untuk menanam 100 pohon, dibutuhkan lahan 1 hektar. Untuk kepemilikan masyarakat, rata-rata memiliki 100 pohon, ada yang 200 sampai 300 pohon. Jarang yang punya sampai 500 pohon.

Pasobo: Mengatur Menanam Dengan Cara Lokal
Oma, Pasobo yang telah mengurusi masalah pertanian di wilayah Rano selama 40 tahun terakhir mengatakan, untuk penentuan musim tanam, ada cara tersendiri yang dilakukan untuk penentuannya. Kata dia, dalam penentuan tersebut, melihat penanggalan, seperti bulan, tanggal, dan hari.

“Cuaca yang mengatur, misalnya bulan ini panas, bulan ini dingin. Ini (penghitungan red.) dari dulu, bukan nanti sekarang. Padi ladang misalnya, kalau terlanjur panas tidak baik, terlanjur hujan juga tidak baik. Itu yang diatur dan bulannya ditentukan,” jelasnya.

Pria yang lahir pada tahun 1928 tersebut menjelaskan, musim angin utara dari Januari sampai Maret, tidak cocok untuk menanam. Tahapan penanaman, mulai dari pemarasan, menebang, membakar dan membersihkan lahan yang akan ditanami, dilakukan di musim panas tersebut. Proses menanam dilakukan musim tanam, yakni sekitar bulan 10 dan 11.

Untuk metode perhitungan sendiri, Pasobo menggunakan perhitungan falakiyah atau dalam bahasa lokal disebut kutika. Kutika menggunakan perhitungan berdasarkan ilmu falaq atau ilmu perbintangan.

Proses pembukaan lahan sendiri kata Pasobo sampai padi siap dikonsumsi, semuanya ada tahapannya. Dirinya menjelaskan, jika sudah selesai panen, dan akan kembali melakukan pembukaan lahan, maka dilaksanakan musyawarah untuk membahas perencanaannya. Dalam proses pembukaan lahan, Pasobo yang memulai, baru kemudian diikuti oelh masyarakat. Dalam kesepakatan setempat, masyarakat tidak bias mendahului Pasobo dalam setiap tahapan. Hal ini, karena banyak yang dijaga, baik manusia, maupun tanamannya.

“Masing-masing ada syariatnya, ada hakikatnya. Hal ini untuk menjaga tanaman dari hama. Ada pantangan yang diberlakukan. Itu yang harus lebih dulu dibicarakan. Siapa yang melanggar dikenai denda atau Sala. Dendanya dalam bentuk satu talam/dulang besar. Dicukupkan semua dulu syaratnya, baru dilaksanakan,” jelasnya.

Pelanggaran adat dalam pelaksanaan penanaman tersebut kata dia, biasanya ditandai dengan muculnya musibah, baik itu wabah penyakit atau wabah hama tanaman.

Hal terakhir yang juga diatur adalah lahan bekas olahan atau yang dalam bahasa local disebut Tarobo. Lahan bekas olahan tersebut harus dibiarkan beberapa lama, lalu kemudian bisa ditanami lagi. Adapun lahan bekas olahan yang sudah puluhan tahun ditinggalkan, dinamakan Tarobo Laung. Tarobo Laung ini kata Pasobo ada status kepemilikiannya, dan harus pamit ke siapa yang mengolah atau keturunan dari pihak yang mengolah, untuk mengolahnya kembali.             

Cerita di masa lalu, tentang bagaimana masyarakat lokal menyimpan persediaan makanan, seharusnya dapat menjadi pengingat kepada kita yang hidup di tengah pandemi saat ini, bahwa kita tidak perlu khawatir dengan ancaman krisis pangan, jika sumber-sumber pangan yang menjadi kebutuhan, telah kita siapkan. Permasalahan utamanya, cerita masa lalu tersebut tidak pernah lagi kita aplikasikan di dalam keseharian kita, karena budaya kita tidak lagi agraris yang produktif, tapi cenderung konsumtif. Jadi, mulai saat ini, selain menggantungkan nasib ketersediaan pangan di tangan pemerintah, sudah saatnya kita memikirkan untuk menyiapkan persedian pangan kita sendiri, dengan memanfaatkan lahan di sekeliling rumah. Hal ini penting kita lakukan, agar kita benar-benar belajar dari sejarah, bukan hanya sekedar belajar sejarah.          

    


Post a Comment

0 Comments