Masyarakat di Sulawesi Tengah
(Sulteng), khususnya lembah Palu, ternyata memiliki metode penyembuhan trauma
(trauma healing) pasca bencana tersendiri, yang telah dilakukan sejak dahulu.
Catatan-catatan tentang bencana di masa lalu yang terjadi di lembah Palu
menyebutkan, masyarakat cenderung cepat bangkit dari keterpurukan basca
bencana, terutama dari aspek pemulihan diri dari trauma.
Geolog berkebangsaan Belanda, E.C.
Abendanon, dalam bukunya, Midden-Celebes-Expeditie: Geologische en
Geographische Doorkruisingen van Midden-Celebes (1909-1910), yang memuat
hasil perjalanan dan penelitiannya di wilayah Sulteng, menyebutkan, dua hari pasca
gempa bumi yang terjadi pada 30 Juli 1907 di Lemo, Kulawi, masyarakat setempat
dan di beberapa desa lainnya di sekitarnya yang juga terdampak, sudah tidak
lagi memperdulikan gempa susulan yang masih sering terjadi.
E.C. Abendanon menuliskan, pada
tanggal 30 Juli, masyarakat masih marah dan ratapan masih terdengar dengan
setiap gempa susulan terjadi, tetapi sejak tanggal 31 Juli, masyarakat tidak
lagi khawatir dan para wanita kembali melakukan aktivitasnya menumbuk kain
kulit kayu, yang disebut dalam buku tersebut dengan nama Foeja (Vuya).
Hal yang paling menarik yang
dituliskan oleh Abendanon, adalah bagaimana tarian menjadi sarana trauma
healing bagi masyarakat setempat. Dirinya menuliskan, tiga hari pasca gempa,
orang-orang kembali Moraego atau menari Raego. Dalam tulisan tersebut,
Abendanon menuliskan, Raego merupakan tarian favorit masyarakat setempat.
Joshua Marunduh, dalam tulisannya
berjudul Raego, Paduan Suara Tertua dari Sulawesi Tengah menjelaskan, Raego
merupakan tarian masyarakat adat Suku Uma, Tobako, Ompa, Moma, dan Tado yang
mendiami sebagian besar wilayah dataran tinggi Kulawi dan Pipikoro. Secara
administrasi, wilayah tersebut masuk dalam wilayah Kabupaten Sigi, Propinsi
Sulawesi Tengah.
Dalam tulisan tersebut dijelaskan,
Raego dibawakan secara berkelompok. Kelompok ini terdiri dari beberapa pasang
laki-laki dan perempuan. Konon pada zaman dahulu, apabila penari Raego bukanlah
sepasang suami istri, maka laki-laki yang menjadi pasangannya dalam tarian,
wajib menyediakan seserahan adat kepada suami atau keluarganya, berupa dulang,
kain sarung, ataupun parang, sebagai wujud permohonan ijin untuk menari
bersama.
Dalam gerakan tariannya, tangan
kiri dari penari laki-laki akan merangkul bahu penari perempuan yang menjadi
pasangannya. Sedangkan tangan kanannya memegang parang yang dililitkan di
bagian pinggang sebelah kiri. Para penari ini akan membentuk setengah lingkaran.
Tangan yang saling merangkul, membentuk sebuah simpul, di mana ini merupakan
simbol kebersamaan dalam menghadapi situasi apapun. Hal inilah yang menjadi
makna tersirat dalam Raego. Gerakan yang statis dan dinamis menggambarkan
kekompakan antar penari Raego. Sesekali para penari Raego akan menghentakan
kakinya ke tanah sembari memekik.
Joshua juga menuliskan, di samping
gerakan yang statis dan dinamis, tarian ini diiringi dengan lagu yang berisi
syair-syair. Bait demi bait syair itu dilantunkan dengan suara lantang secara
bersamaan dari setiap penari Raego. Raego sendiri biasanya ditampilkan dalam
upacara penyambutan tamu, peresmian rumah adat Lobo, syukuran panen, bahkan
peristiwa duka.
Menurut salah satu pemerhati
sekaligus budayawan asal Kulawi, Andreas Lagimpu, sebagaimana dituliskan oleh
Joshua, Raego merupakan warisan budaya
turun temurun dari nenek moyang mereka dan diyakini sudah ada jauh sebelum
nenek moyang mereka mengenal peradaban.
Sementara itu, tokoh adat Desa
Pombewe, Kabupaten Sigi, yang juga pimpinan Sanggar Seni Lando Bulili, Atman
menjelaskan, Raego memang sejak dahulu digunakan sebagai sarana trauma healing
pasca bencana. Hal ini menurutnya, karena di dalam syair raego, tersimpan
nasehat dan petuah untuk masyarakat.
“Kalau Raego itu, ada beragam jenis
syairnya, ada mengenai duka, tolak bala, serta untuk menambah semangat
pejuangan dalam kehidupan. Raego sendiri dapat dilakukan dalam beberapa suasana,
seperti senang, duka, syukuran, perkawinan, selamatan rumah baru, serta
merayakan kemenangan usai perang,” urainya.
Menurut Atman, saat ini,
pelaksanaan Raego pasca bencana, hanya dilaksanakan oleh komunitas tertentu, seperti
yang dilaksanakan oleh Sanggar Seni Lando Bulili, 100 hari pasca gempa 28
September 2018 lalu. Dirinya menjelaskan, pesan yang tersirat dari pelaksanaan
Raego pasca bencana, seperti tolak bala, memupus kesedihan, serta memberikan
semangat, semuanya dapat terangkum dalam satu tarian, tergantung syair yang
dinyanyikan oleh Topotipu Raego, diikuti oleh Toposimba.
Tarian Raego sendiri, telah
ditetapkan sebagai warisan budaya tak benda Indonesia, pada 16 Desember 2013,
oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Ri saat itu, Moh Nuh. JEF
0 Comments