FOTO: BPPT |
Penyebab tsunami di Teluk Palu
pada 28 September 2018 lalu, hingga kini masih menjadi misteri bagi kalangan
peneliti. Hipotesis yang berkembang saat ini, tsunami di Teluk Palu disebabkan
oleh longsoran di bawah laut dan penurunan muka tanah (longsor) di kawasan
pesisir pantai, khususnya di kawasan muara sungai.
Pengamat kebencanaan yang juga
dosen di Fakultas Teknik Universitas Tadulako (Untad), Alamsyah Palenga, ST,
M.Eng, juga memiliki hipotesis sendiri mengenai penyebab tsunami di Teluk Palu.
Alamsyah, sapaan akrabnya, menduga tsunami yang terjadi di Teluk Palu pada 28
September 2018 lalu, disebabkan oleh pergeseran blok-blok batuan di dasar laut
teluk tersebut.
Hipotesis yang dirumuskan oleh
Alamsyah ini, didasarkan pada pendapat bahwa sesar terdiri dari batuan yang
relatif lebih padat. Namun, karena adanya proses pengendapan aluvial atau
sedimen pasir halus yang terbawa oleh aliran sungai, sehingga menutupi blok
blok batuan tersebut, baik yang berada di darat maupun di laut.
Dirinya juga menjelaskan, saat
dilakukan survey hidro oseanografi dan pemetaan batimetri yang dilaksanakan oleh
Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), beberapa waktu lalu, dirinya
menduga, salah satu kendala sensor echosounder tidak mampu memetakan lapisan
sesar di bawah laut, karena tertutup sedimen tersebut.
“Jadi akan beda ketika datanya
muncul, karena sensor ini mengukur kedalaman, di mana dari pengukuran kedalaman
ini, jadi peta batimetri yang kita lihat sekarang. Pertanyaannya, yang kita
lihat sekarang di peta ini, apakah blok batuannya, atau malah lapisan
sedimennya?,” ujarnya.
Alamsyah menjelaskan, blok-blok
batuan yang dimaksudnya tersebut, jika diibaratkan seperti bangunan dan
blok-blok inilah yang menurutnya bergerak, ketika gempa terjadi.
“Setelah melihat peta batimetri
tersebut, saya membayangkan, ketika kita punya bukit besar di bawah laut, lalu
di tengahnya ada jejak sungai purba yang modelnya seperti ngarai. Jadi, seperti
ada tebing-tebing di sisi kanan dan kirinya. Saya menduga, bentukannya jadi
terlihat halus di peta, karena tertutupi sedimen, padahal di bawahnya terdiri
dari batuan keras,” jelasnya.
Lanjut Alamsyah, ketika terjadi
gempa, dirinya menduga blok-blok ini yang bergerak, sehingga endapan sedimen di
atasnya tidak terlalu berperan dalam menimbulkan gelombang tsunami, karena
hanya bersifat endapan.
“Bayangkan jika blok-blok ini
bergerak dari utara ke selatan dan arah sebaliknya dengan kecepatan, yang
berdasarkan hitung-hitungan kita saat gempa terjadi, sekitar 1700 km/jam,”
ujarnya.
Hipotesis yang dilontarkan oleh
Alamsyah ini, didukung oleh sejumlah temuan yang ditemukan oleh ahli geologi
Belanda, E.C. Abendanon, saat melakukan ekspedisi di Sulawesi Tengah, antara
tahun 1909-1910. Abendanon, lewat buku Geologische en Geographische
Doorkruisingen van Midden Celebes (1909-1910) yang diterbitkan tahun 1915
menjelaskan, di Sulawesi Tengah, terdapat dua depresi yang saling menembus dan
tanah pegunungan di sekitarnya, menyajikan bagian dari kerak bumi, yang terdiri
dari blok berbentuk berlian dan segitiga, yang sebagian dibawa ke tingkat yang
berbeda secara independen satu sama lain. Blok-blok terpisah ini bergabung satu
sama lain di sepanjang seismotektonik atau garis patahan.
Abendanon juga menjelaskan, kerak
bumi di bagian atas Sulawesi, terdiri dari blok dan pecahan yang terus
bergerak. Di kawasan utara Mamboro misalnya, Abendanon mencatat, pada daerah
pesisir, sebagian besar kontur tanahnya berpori dan terdiri dari blok-blok
besar granit dan gneiss hingga ½ meter kubik, dengan keadaan kering. Kondisi
serupa juga ditemui di sepanjang pesisir Teluk Palu dan sungai-sungai di lembah
Palu dan sekitarnya.
Granit sendiri merupakan jenis
batuan yang umum dan banyak ditemukan. Sebagian besar granit
bertekstur keras dan kuat, serta bersifat kedap air. Adapun Gneiss merupakan tipikal
dari jenis batuan metamorf, di mana batuan ini terbentuk pada saat batuan
sedimen atau batuan beku yang terpendam pada tempat yang dalam, mengalami
tekanan dan temperatur yang tinggi. Gneiss sendiri tergolong jenis batuan yang
keras.
Temuan-temuan yang didapat oleh
Abendanon ini, seakan mengisyaratkan bahwa ada indikasi di dasar laut Teluk
Palu, terdapat blok-blok granit yang pergerakannya dapat memicu tsunami, jika
dipicu oleh gempa berkekuatan besar. Terkait hal ini, Alamsyah menjelaskan,
indikasi ini harus diuji dengan penelitian yang komprehensif, sama seperti
hipotesis tsunami akibat longsoran permukaan pesisir dan bawah laut.
“Secara teori, dislokasi dasar perairan
oleh faktor apapun, akan membuat air bergerak. Sumbernya bisa dari gempa, aktivitas
vulkanik, atau longsor. Pertanyaannya, sebesar apa gelombang yang dihasilkan
dari dislokasi tersebut? Berdasarkan perhitungan kami, dislokasi yang terjadi
akibat gempa bumi 28 september 2018 lalu, pasti mengakibatkan gelombang, tetapi
tidak sebesar gelombang tsunami yang terjadi saat itu. Salah satu pertimbangan
saya adalah hasil diskusi dengan Dr Widjo Kongko, ahli tsunami BPPT, yang
melihat dugaan longsoran bawah laut yang didapat dari hasil pengamatan KRI SPICA
milik TNI AL. dalam hitungan beliau, volume massa tanah yang bergeser itu,
tidak akan cukup untuk memicu tsunami sebesar seperti yang terjadi saat itu,”
jelasnya.
Dengan asumsi seperti itu kata
dia, kita bisa mengarah pada hipotesa yang lain. Namun menurutnya, hipotesa
harus didukung oleh penyelidikan lanjutan.
Untuk itu kata dia, pemerintah,
baik pusat maupun daerah, harus berani melakukan investasi di bidang teknologi
sains, terkait penyelidikan potensi bencana di Sulawesi Tengah, khsusunya
kawasan Teluk Palu. Dirinya mencontohkan, misalnya untuk penyelidikan di laut,
harus ada alat sensor yang lebih baik, sementara untuk di darat, banyak
peralatan modern sekarang, seperti alat GPR (Ground Penetratic Radar), yang
merupakan alat gelombang radio untuk pemetaan permukaan tanah bawah laut, dan
alat-alat lainnya, yang menurutnya harus dimiliki oleh pemerintah, sehingga
kita tidak hanya jadi konsumen informasi, seperti yang terjadi saat ini.
“Sehingga ketika ada informasi
yang dipertanyakan, seperti terkait kejelasan indikator pada peta Zona Rawan
Bencana (ZRB) saat ini, kita mampu mengindentifikasi. Jika kita punya alatnya,
kita bahkan bisa memetakan potensinya, sehingga tidak terkesan hanya
mengira-ngira potensi kebencanaan yang ada dan pola mitigasi yang diterapkan,
juga akan lebih terarah, jika potensi bencananya jelas, tidak meraba-raba,”
tegasnya. JEF
0 Comments