Memasuki bulan September, isu 65
kembali hangat diperbincangkan. Pemicunya satu, permintaan untuk kembali
memutar film Pengkhianatan G30S/PKI garapan sutradara Arifin C Noer oleh
kalangan TNI. Pro dan kontra pun menyeruak di masyarakat. Ada yang mendukung,
ada yang menolak, ada yang sama sekali tidak memberikan tanggapan.
Perdebatan yang terjadi antara
Bedjo Untung dan Kivlan Zen di sebuah acara diskusi di salah satu stasiun
televisi swasta tanah air beberapa waktu lalu, makin memperkeruh suasana. Upaya
rekonsiliasi kasus 1965/1966 yang sedang didengungkan di sejumlah daerah di
Indonesia, ikut terancam akibat eskalasi konflik ini.
Salah satu daerah yang upaya
rekonsiliasinya terusik oleh konflik tersebut adalah Palu. Ibukota Provinsi
Sulawesi Tengah ini, sejak tahun 2012, sudah memulai upaya rekonsiliasi kasus
1965/1966, ditandai dengan permintaan maaf Wali Kota Palu saat itu, Rusdy
Mastura, kepada korban pelanggaran HAM 1965/1966 di Kota Palu. Bung Cudi sapaan
akrabnya, dengan tulus meminta maaf, karena dirinya juga ikut menjadi bagian
dari pihak-pihak yang menangkapi orang-orang yang terlibat dan dilibatkan
dengan Partai Komunis Indonesia (PKI), pasca G30S.
“Saat itu, saya masih menjadi
anggota Pramuka. Saya ikut menjaga sebuah rumah yang menjadi tempat penahanan
para tahanan politik saat itu,” ujar Cudi.
Permintaan maaf Bung Cudi
tersebut, kemudian ditindaklanjuti dengan terbitnya Peraturan Wali Kota Palu
nomor 25 tahun 2013 tentang Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia (RANHAM),
di mana salah satu poin dalam Perwali tersebut, menyoal upaya pemenuhan hak-hak
korban, lewat pendekatan pemberdayaan masyarakat, yaitu para korban pelanggaran
HAM 1965/1966 di Kota Palu yang masih berada di bawah garis kemiskinan,
diprioritaskan untuk menerima program pemberdayaan dari pemerintah, seperti
Program Keluarga Harapan (PKH), beasiswa bagi siswa/mahasiswa kurang mampu,
bantuan bedah rumah, dan program-program pemberdayaan lainnya.
Pada tahun 2013, Kota Palu juga
dideklarasikan sebagai Kota Sadar Hak Asasi Manusia (HAM) oleh Menteri Hukum
dan HAM, Amir Syamsuddin, ditandai dengan penandatanganan Deklarasi Palu Kota
Sadar HAM.
Upaya rekonsiliasi yang mulai
terbangun di Palu tersebut, terancam harus dimulai dari awal lagi, akibat
konflik yang dihembuskan oleh kalangan TNI dan para korban pelanggaran HAM
1965/1966. Konflik ini juga makin diperparah dengan perang pernyataan di media,
baik cetak, televise, maupun media online.
Dalam suasana yang memanas akibat
konflik tersebut, Solidaritas Korban Pelanggaran HAM (SKP-HAM) Sulawesi Tengah
bersama sejumlah komunitas anak muda di Kota Palu, menggagas kegiatan bedah
buku Palu dan Godam Melawan Keangkuhan: Kisah di Balik Permintaan Maaf Kepada
Korban Pelanggaran HAM, yang ditulis oleh mantan Wali Kota Palu, Rusdy Mastura.
Bedah buku ini dilaksanakan pada Sabtu, 23 September 2017 di atrium Palu Grand
Mall, di tengah kekhawatiran akan adanya aksi penutupan kegiatan, seperti yang
menimpa LBH Jakarta, seminggu sebelumnya.
Namun, kekhawatiran tersebut
rupanya tidak menjadi kenyataan. Suasana rekonsiliasi justru sangat kental terbangun
dalam pelaksanaan bedah buku tersebut. Kegiatan yang menghadirkan berbagai
elemen masyarakat tersebut, menjadi ajang rekonsiliasi antara pihak Gerakan
Pemuda (GP) Anshor Sulawesi Tengah dengan korban pelanggaran HAM 1965/1966.
Ketua Pengurus Wilayah GP Anshor
Sulteng, Adha Nadjemuddin, dalam momen bedah buku tersebut, dengan tulus
meminta maaf kepada kepada korban pelanggaran HAM 1965/1966, atas keterlibatan GP
Ansor ikut menangkap para korban tersebut di Sulteng.
“Saya atas nama GP Anshor
Sulteng, meminta maaf kepada para korban pelanggaran HAM 1965/1966, jika di
masa lalu, GP Anshor telah melakukan hal-hal di luar batas kemanusiaan kepada
mereka. Jujur, saya terinspirasi dengan Bung Cudi yang sebelumnya telah berani
meminta maaf kepada korban, atas nama Pemerintah Kota Palu,” ujar Adha
Menurut Adha, permintaan maaf ini
tidak berarti GP Anshor meminta maaf terhadap PKI. Bagi Anshor, tidak ada
tempat bagi komunisme di Indonesia.
“Permintaan maaf ini adalah upaya
rekonsiliasi yang dibangun oleh GP Anshor Sulteng dengan para korban, sebagai
sesama umat muslim dan atas nama kemanusiaan. Andaikata, orang-orang tua kita
ini menuntut kerugian menjadi korban selama puluhan tahun, bagaimana Negara
akan membayarnya?,” lanjutnya.
Permintaan maaf GP Anshor itu,
disambut testimoni cucu korban bernama Madi. Ia juga meminta maaf jika di masa
lalu, kakek neneknya pernah berbuat salah atau berselisih paham dengan GP
Anshor.
“Saya terinspirasi dengan
permintaan maaf bung Cudi, kepada para korban. Saya sendiri sebagai cucu
korban, meminta maaf jika di masa lalu, kakek dan nenek saya pernah berbuat
salah atau berselisih paham dengan GP Anshor. Tidak ada keinginan dari kami
untuk membangkitkan kembali PKI di negeri ini,” ujarnya.
Kedua pihak ini kemudian
dirangkul oleh Bung Cudi. Cudi mengatakan, komunisme tidak memiliki tempat
untuk hidup di negeri ini. Apa yang terjadi di masa lalu, harus disikapi dengan
pendekatan kebudayaan dan kemanusiaan.
“Kita di Palu mengedepankan
budaya posampesuvu (bersaudara), yang membuat kita tidak akan tega melihat
saudara, kerabat, atau teman kita mengalami hal-hal yang buruk. Hal ini yang
harus kita wariskan pada generasi berikutnya,” ujar Cudi.
Salah satu korban pelanggaran HAM
1965/1966 di Kota Palu, Asman Yodjodolo mengatakan, korban pelanggaran HAM
1965/1966 di Palu, tidak menuntut apa-apa. Kami juga tidak dendam pada
siapapun, termasuk kepada pemerintah. Kami hanya ingin, peristiwa yang menimpa
kami, tidak lagi dialami oleh generasi mendatang,” ujarnya.
Dari kalangan anak muda, kegiatan
ini dilaksanakan, semata adalah keinginan anak muda agar mereka diwariskan
cinta, bukan dendam oleh generasi sebelumnya. Koordinator Komunitas Historia
Sulteng (KHST), Moh Herianto mengatakan, hakikat kegiatan ini sebenarnya adalah
mengangkat warisan sejarah kemanusiaan, yang didalamnya mewariskan cinta bukan
kebencian.
Upaya rekonsiliasi yang dibangun
di Palu, semestinya menjadi pembelajaran bagi bangsa ini, untuk mulai saling
memaafkan antara golongan yang saling bertikai di masa lalu. Apa yang dilakukan
oleh Kota Palu, seharusnya menjadi role model bagi daerah lain di Indonesia,
untuk melakukan hal serupa, dengan tujuan merekatkan kembali persaudaraan,
tanpa melihat perbedaan suku, agama, ras, hingga golongan. Budaya posampesuvu
(persaudaraan) yang dijadikan falsafah hidup masyarakat Kota Palu, harusnya
menjadi budaya yang diadopsi oleh Negara ini untuk memulai upaya rekonsiliasi
dalam skala nasional.
0 Comments