Hari ini, Rabu (27/9/2017) Kota
Palu memperingati hari jadinya yang ke 39 tahun. Banyak perubahan yang terjadi,
yang mengiringi perjalanan usia kota empat dimensi ini hingga memasuki usia 39
tahun, salah satunya dalam upaya pengembangan khasanah budayanya.
Jumat (22/9/2017), Kota Palu
melaksanakan sebuah hajatan besar berskala internasional bertajuk, Festival
Pesona Palu Nomoni (FPPN) ke II tahun 2017. Hajatan besar yang telah dua kali
dilaksanakan ini, terus berbenah dalam setiap pelaksanaannya. Kali ini, FPPN
benar-benar menjadikan budaya lokal sebagai tajuk utamanya.
Perhatian Pemerintah Kota Palu
terhadap budaya lokal, yang ditunjukkan dalam hajatan FPPN, mengundang
apresiasi dari berbagai pihak. Salah satu yang mengapresiasi adalah Direktur
Jenderal (Dirjen) Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, Hilmar
Farid. Hilmar, Sabtu (23/9/2017), bahkan menyebut Palu sebagai pusat kebudayaan
yang terus menggeliat untuk maju.
Pernyataan Dirjen Kebudayaan ini
bukan tanpa alasan. Dirinya melihat, ada peran besar komunitas-komunitas
kebudayaan, untuk menonjolkan khasanah budaya lokal dalam iven internasional
tersebut.
Sejak dilantik tahun 2015 lalu,
Wali Kota Palu, Hidayat bersama Wakil Wali Kota Palu, Sigit Purnomo Said,
memang fokus pada pengembangan khasanah budaya lokal, lewat visi Palu Kota
Jasa, Berbudaya dan Beradat, Dilandasi Iman dan Takwa. Visi ini diejahwantahkan
lewat pembinaan sanggar-sanggar seni, revitalisasi lembaga dan peradilan adat,
serta upaya pengkajian sejarah dan budaya lokal.
Setelah sukses menghadirkan visi
tersebut dalam pelaksanaan FPPN pertama di tahun 2016, Hidayat dan Sigit terus
berbenah mengawal visi tersebut, untuk mewujudkan misi Kota Palu sebagai kota
destinasi. Pembenahan infrastruktur penunjang pariwisata, promosi pariwisata,
serta penambahan spot-spot wisata yang baru, terus diupayakan Pemerintah Kota
Palu untuk mendukung visi tersebut, dengan balutan konsep kebudayaan lokal.
Pada pelaksanaan FPPN ke II kali
ini, konsep tersebut dihadirkan secara nyata lewat kehadiran Kampung Kaili,
yang di dalamnya diisi oleh ragam ritual adat di wilayah Kota Palu, seperti
Balia, Pompaura, Nosalonde, Poraa, dan ritual lainnya, kuliner tradisional,
kesenian tradisional, serta pameran foto Palu sepanjang masa.
Konsep ini secara harfiah lebih
spesifik dari pelaksanaan FPPN sebelumnya. Banyak khasanah-khasanah budaya yang
selama ini mulai hilang, kini mulai diangkat kembali. Banyak juga yang
mengapresiasi keberadaan Kampung Kaili ini sebagai representasi budaya lokal
masyarakat Suku Kaili di Kota Palu.
Wali Kota Palu, Hidayat, dalam
berbagai kesempatan mengatakan, bukan hanya budaya sebagai simbol yang ingin
dirinya tonjolkan lewat pelaksanaan FPPN, namun budaya sebagai suatu nilai.
Kata Hidayat, pengejahwantahan budaya lokal ini, adalah upaya Pemerintah Kota
Palu untuk mengangkat kembali nilai-nilai luhur budaya lokal kita, yaitu nilai
kekeluargaan, toleransi, serta gotong royong.
“Keberadaan Kampung Kaili ini
adalah bukti bagaimana masyarakat kita bergotong royong menginisiasinya, walaupun
tanpa sokongan dana dari pemerintah. Masyarakat secara sadar, bahu-membahu
mewujudkan konsep Kampung Kaili ini, sebagai konsep kampung tradisional, dengan
balutan nuansa modern, yang di dalamnya mengajarkan nilai-nilai luhur yang
muali hilang di masyarakat kita, yaitu gotong royong, toleransi, dan
kekeluargaan,” ujarnya.
Namun, di balik upaya yang masif
tersebut, masih ada aspek-aspek yang harus menjadi perhatian Pemerintah Kota
Palu kedepannya dalam visinya menjadikan budaya dan adat sebagai landasan menuju
kota destinasi. Di luar momen pelaksanaan FPPN, masyarakat maupun wisatawan
masih kesulitan mengakses wisata budaya di Kota Palu. Ritual-ritual yang
dilaksanakan di momen FPPN, tidak dipamerkan secara berkala, hanya dilaksanakan
oleh kelompok-kelompok keadatan di masing-masing wilayah di Kota Palu, pada
momen-momen tertentu.
Selain itu, konsep wisata Kota
Palu, masih terlalu menonjolkan wisata alam, misalnya pantai. Padahal, sesuai
visinya, Pemerintah Kota Palu menjadikan budaya dan adat sebagai “jualan” utama
bidang pariwisatanya. Sudah saatnya Kota palu membenahi sejumlah spot-spot
budaya yang memiliki potensi untuk dijadikan sebagai objek wisata budaya.
Saat ini, warga Kota palu atau
wisatawan yang datang, selalu mengenal Souraja atau makam Dato Karama, sebagai
objek wisata sejarah yang dapat dikunjungi, padahal di wilayah Kota Palu, ada
begitu banyak spot yang dapat dijadikan objek wisata budaya.
Komunitas Historia Sulawesi
Tengah (KHST) misalnya, merilis daftar situs-situs sejarah dan budaya yang dapat
dijadikan sebagai objek wisata budaya oleh Pemerintah Kota Palu. untuk situs
sejarah di masa kerajaan, ada makam raja pertama Palu, Pue Nggari di belakang
kantor Kelurahan Besusu Barat, kompleks makam Pogimba di Kelurahan Baru, tempat
raja Palu, Radja Maili dimakamkan. Kedua situs ini kini dalam kondisi
memprihatinkan. Ada juga makam Pue Njidi, salah satu raja yang pertama memeluk
Islam di Lembah Palu, atau makam Bulangisi, penyebar Islam di Tawaeli, di
belakang bangunan eks Bioskop Omega di Tawaeli.
Untuk wisata zaman kolonial dan
kemerdekaan, selain Gedung Juang, Kota Palu punya beberapa spot gedung
bersejarah di sepanjang Jalan Hasanuddin, seperti bangunan SDN 1 Palu yang
telah berdiri sejak 1920, bangunan bekas gedung dinas Donggala di Palu yang dibangun
pada masa kolonial, hingga bekas kantor Swapraja Palu di Jalan Pattimura,
Kelurahan Lolu Utara.
Spot-spot wisata sejarah dan
budaya ini sebagian kondisinya koni dalam taraf memprihatinkan, bahkan terancam
tergusur. Salah satu bangunan peninggalan kolonial, yaitu Kantor Kontroleur
Belanda di Jalan Hasanuddin, kini telah rata dengan tanah dan sebentar lagi
akan berganti hotel mewah. Jika tidak segera diselamatkan, bukan tidak mungkin
dalam 5-10 tahun kedepan, Palu tidak akan lagi memiliki bukti situs sejarah dan
budaya.
0 Comments