Karaeng di Lembah Palu: Sebuah Catatan Awal

Karaeng di Lembah Palu: Sebuah Catatan Awal

Membicarakan kelompok Karaeng di wilayah Lembah Palu, tidak dapat dipisahkan dari sejarah penyebaran Islam di wilayah Cikoang, Sulawesi Selatan, oleh Sayyid Jalaluddin Al Aidid. Sebelum kedatangan Sayyid Jalaluddin dan keluarganya, sistem sosial di Cikoang serupa dengan sistem masyarakat lainnya di Makassar. Ada tiga peringkat utama yaitu, Karaeng, para bangsawan atau kepala; Tumaradeka, rakyat jelata; dan Ata, atau budak.

Menurut tradisi Makassar, individu dianggap sebagai Karaeng yang terutama terbatas pada anak-anak Sombaya ri Gowa, penguasa kerajaan Gowa disebut Anakkaraeng. Mereka dibedakan oleh 'darah putih' yang mereka warisi melalui Tumanurung sehingga mereka disebut manusia yang diturunkan dari langit.


Sayyid Sirajuddin, cucu Sayyid Jalaluddin, adalah keturunan Sayyid yang pertama kali menikah dengan seorang bangsawan wanita bernama Ranjabila Daeng Tiknok, seorang bangsawan Laikang. Hal ini dikatakan sebagai awal rekonsiliasi antara Sayyid dan Karaeng di Cikoang.

Sebagai pelopor Islamisasi di Cikoang, keturunan Sayyid Jalaluddin dengan mudah disambut oleh masyarakat setempat, termasuk para bangsawan. Hubungan tersebut telah membentuk populasi Sayyid Karaeng dalam hirarki sosial Cikoang. Akibatnya, di Cikoang modern, hampir semua bangsawan memiliki darah Sayyid, karena seringnya praktek perkawinan antara Sayyid dan wanit bangsawan setempat yang memenuhi syarat untuk menyatukan keturunan Sayyid dan Karaeng.

Mengenai asal-usul sistem kekerabatan di Cikoang secara keseluruhan, ada kisah mitos menceritakan kontak pertama Sayyid Jalaluddin dengan I-Danda dan I-Bunrang, dua prajurit terkenal dari kerajaan Laikang. Menurut caritana turioloa, pola hubungan kekerabatan di Cikoang juga didasarkan pada mitos ini. H. Maluddin Daeng Sikki meriwayatkan sebagai berikut:

“…. I-Danda dan I-Bunrang lah yang memanggil Sayyid Jalaluddin untuk menyebarkan Islam di Cikoang. Kedua orang itulah yang pertama-tama menjadi murid-murid Sayyid Jalaluddin. Sebelum Sayyid Jalaluddin bersedia menjadi guru mereka, beliau ingin menguji sampai sejauh mana kesetiaan kedua orang tersebut kepada beliau. Cara beliau adalah dengan meminta istri-istri kedua orang tersebut untuk tinggal di rumah Sayyid Jalaluddin barang semalam.

Mendengar permintaan tersebut, I-Bunrang, orang pertama yang dimintai oleh Sayyid Jalaluddin, langsung marah. Sambil mengeluarkan parang dari sarungnya dia berkata, ‘saya lebih baik mati daripada menyerahkan istri saya kepada tuan’. Mendengar itu, Sayyid Jalaluddin mengurungkan niatnya. Beliau lalu menanyai I-Danda. Dengan berat hati I-Danda berkata, ‘kalau memang hal itu betul betul tuan inginkan, saya tidak berkeberatan atas permintaan tersebut’. Lalu pulanglah I-Danda menemui istrinya dan memberitahukan segalanya. Karena ingin juga menunjukkan kesetiaan kepada suaminya, istri I-Danda pun menyetujuinya dan berdandanlah dia secantik-cantiknya kemudian berangkat ke rumah Sayyid Jalaluddin, untuk tinggal bersamanya selama satu malam.

Keesokan harinya, Sayyid Jalaluddin mengizinkan istri I-Danda untuk kembali menemui suaminya dan menceritakan seluruh kejadian yang terjadi malam itu. I-Danda yang sedih dan sudah tidak sabar menanti istrinya kembali, kaget bercampur gembira setelah mendengar cerita istrinya bahwa selama semalam itu dia cuma diajarkan cara berwudhu’ dan bersembayang oleh Sayyid Jalaluddin. Kemudian I-Danda bertanya, apakah wudhu’ dan sembayang itu? Istrinya menjawab, ‘itulah Dienul Islam (Agama Islam)’. 

Setelah mendengar cerita tersebut, bersegeralah I-Bunrang dan I-Danda menemui Sayyid Jalaluddin. Sesampai di sana, berpesanlah Sayyid Jalaluddin berpesan kepada kedua orang tersebut: ‘saya menganggap kamu I-Bunrang sebagai sampopinruang (sepupu dua kali) saya, karena kamu adalah seorang pemberani. Anak cucumu boleh menikah dengan anak cucu saya. Sedangkan kamu I-Danda saya anggap sebagai saudara kandung. Anak cucumu haram hukumnya kawin dengan anak cucuku sampai akhir zaman."

Dengan demikian, keturunan I-Danda dan Sayyid Jalaluddin secara tradisional dilarang menikah satu sama lain, sedangkan keturunan I-Bunrang bisa menikah dengan keturunan Sayyid Jalaluddin dan garis keturunan I-Danda.

Jika di Makassar dan sekitarnya, yang disebut Karaeng itu adalah untuk menunjukkan gelar kebangsawanannya, rumpun keluarga yang dikenal masyarakat di Lembah Palu sebagai Karaeng hanyalah keturunan dari Sayyid Bahrullah bin Atiqullah yang merupakan cucu keturunan dari Karaenta Ribura'ne Sultan Abdul Kadir anak dari Sultan Alaudin dari jalur ibu.

Oleh karena itu di lembah Palu, tepatnya di Besusu (Pandapa), memiliki keunikan tersendiri yaitu para Sayyid keturunan Alhabib Bahrullah Bafagih Maula Aidid ini dikenal sebagai "Karaeng", meskipun di Makassar tidak semuanya gelar Karaeng itu memiliki darah keturunan Sayyid/dzuriyah Rasulullah SAW.

Perlu diketahui, awal pembangunan Masjid Jami yang terletak di Kampung Baru, adalah prakarsa dari Sayyid Bahrullah Bafagih Maula Aidid. Beliau juga menggelar khitanan masal secara berkala, di mana pada masa itu, masyarakat di Lembah Palu masih banyak yang belum dikhitan/sunat. Sayyid Bahrulllah Bafagih Maula Aidid juga berusaha merubah tradisi "Palaka" menjadi Maulid/Maulo Nabi Muhammad SAW, yang hingga sekarang selalu diperingati setiap tahun oleh keturunan beliau di Besusu dan sekitarnya. 

Karaeng sendiri dalam bahasa arab diartikan dengan istilah Maula, yang dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai pemimpin. Sayyid Jalaluddin masuk ke Sulawesi karena pernikahannya dengan cucu kandung dari Sultan Alauddin dan menjadi hakim agama (qadi). Tidak semua Karaeng itu sayyid (keturunan Rasulullah) tapi semua Karaeng Sayyid/Sayye (Sayye adalah sebutan untuk Sayyid dalam istilah Kaili) itu Sayyid. 

Empat orang keturunannya yaitu Habib Sayyid Bahrullah bin Atiqullah, Habib Sayyid Ibrahim, Habib Sayyid Umar, dan Habib Sayyid Mohammad Tafsir, diperkirakan masuk ke Lembah Palu pada tahun 1840, lalu menyebar di berbagai pelosok untuk berdakwah dan mendirikan majelis dzikir dan memulai tradisi maulid, misalnya Sayyid Baharullah bin Atiqullah yang mendirikan majelis ilmu dan memulai tradisi maulid di wilayah Kampung Baru tepatnya di Masjid Jami.

Perayaan tradisi maulid pertama kali dilaksanakan di wilayah Kampung Baru yaitu tepatnya di Boyantongo dan Bungi, kemudian menyebar sampai ke Besusu, Pogego, Vunta, Talise, Sidondo, Dolo, Biromaru, Tawaeli, Pantoloan dan wilayah-wilayah lainnya yang berada di Lembah Palu.

Sumber:  

·   1. Maudu’: A Way of Union With The God (Muhammad Adlin Sila) Australian National University
·        2. Narasi dari Randy Ibrahim Bafagih, Zulfakar Rasyid Al Aidid, dan Ephy Jagger

·  3. https://muhammadghozaly.wordpress.com/2010/08/19/sayyid-aidid-dan-maulid-rasulullah-saw-di-kota-palu/ 

Post a Comment

3 Comments

  1. Assalamualaikum saudara, boleh kasi saya nomor WS nya.. jadi bisa tanya langsung

    ReplyDelete
  2. Assalamualaikum saudara, boleh kasi saya nomor WS nya.. jadi bisa tanya langsung

    ReplyDelete