Kota Palu
merupakan kota yang sangat unik. Keunikan tersebut terletak pada keadaan
alamnya. Keadaan alam Kota Palu yang terdiri dari lembah, pegunungan, dan laut
membuat kota ini dijuluki sebagai kota tiga dimensi.
Salah satu
pesona kota Palu yang sangat indah terletak pada keindahan teluknya. Teluk Palu
terbentang dari Donggala di ujung sebelah barat laut, melingkar membentuk huruf
U menuju kawasan Pantai Barat Sulawesi Tengah di sebelah utara, melintasi Kota
Palu. Sepanjang teluk ini, anda akan disuguhkan pada pemandangan menarik berupa
birunya laut yang nampak menyatu dengan warna biru langit, desir angin, pantai
berpasir putih (di wilayah Kota Palu agak berbatu), dan rindang pepohonan
(kelapa, ketapang, johar, bakau, dan lain-lain).
Kawasan teluk Palu
dengan segera menjadi salah satu ikon wisata di kota Palu. Di sepanjang pantai
mulai dari daerah Taman Ria hingga Talise, kafe-kafe, rumah makan, restoran,
hotel, dan pusat perbelanjaan meramaikan suasana. Spot-spot rekreasi keluarga
juga tersedia mulai dari anjungan, jembatan merah, mesjid “terapung” hingga
ikon kota palu yaitu Jembatan IV atau yang lebih dikenal dengan jembatan
kuning.
Kawasan teluk Palu
tampak serius dikembangkan oleh pemerintah kota Palu menjadi spot wisata yang
menjanjikan investasi dan penyerapan tenaga kerja. Perlu diketahui bahwa
mayoritas penduduk yang bermukim di sekitar wilayah teluk Palu berprofesi
sebagai nelayan, petani garam, dan pelaku usaha kecil menengah (kafe-kafe di sepanjang
pantai).
Petani Garam di Teluk Palu: Catatan Sejarah
Salah satu
profesi yang digeluti oleh mayoritas masyarakat yang bermukim di kawasan teluk Palu
adalah petani (baca:petambak) garam. Mereka mengais hidup dari tambak-tambak
garam yang mereka buat di sekitar wilayah teluk Palu. Lahan tambak garam seluas
kurang lebih 18 hektar[1] terbentang
di sebelah utara teluk Palu. Lokasi ini dikelola oleh kurang lebih 160 orang
petani garam yang terbagi dalam 16 kelompok.[2]
Aktivitas pengolahan
garam di kawasan teluk Palu tersebut
telah berlangsung cukup lama. Idrus A. Rore menjelaskan bahwa pengolahan garam
di kawasan teluk Palu telah dimulai pada masa pemerintah kolonial Hindia
Belanda. Pada masa itu, salah satu komoditi perdagangan yang
paling menonjol adalah garam. Ada dua tempat produksi garam pada onderafdeeling Palu yaitu di Limbou (Talise)
dan Tonggo (Silae)[3].
Di antara kedua tempat meproduksi garam tersebut Limbou merupakan yang paling
produktif sedangkan tambak garam yang ada di Tongo sejak tahun 1924 sudah mulai
terabaikan oleh para pembuat garam karena adanya tanaman kelapa di sekitar
pantai Tongo sehingga pemilik kelapa keberatan atas usaha pembuatan garam
tersebut.[4]
Pemerintah kolonial tampaknya
lebih memberikan perhatian terhadap Limbuo dari hasil pembuatan garam onderafdeeling
Palu dapat meraup keuntungan sebagai kas pemerintah. Selama periode 1921-1925, Limbou berhasil memproduksi
garam masing-masing; 7.229 pikul, 14.007 pikul, 14.941 pikul 5.825 dan 10.572
pikul.[5] Terlihat
jelas bahwa terjadi penurunan produksi garam Limbuo pada tahun 1924. Penurunan
yang sangat tajam ini dipengaruhi oleh cuaca yang lembab selama periode 1924.[6] Di samping itu sebelum
tahun 1924 para pembuat garam Limbou masih mencapai 100 orang namun turun
hingga 50% pada tahun 1924.[7]
Harga garam dari para
pembuat ditetapkan f.1,25 per pikul. Sementara itu dari
gudang garam Palu ke perusahaan dagang Borneo-Sumatera ditetapkan dengan harga f.3,60 perpikul.[8] Adanya
perusahaan yang melakukan ekspor garam ke berbagai daerah di Indonesia
menunjukkan garam merupakan salah satu komoditi andalan dalam perdagangan di
Palu. Oleh sebab itu tidak mengherankan Belanda memberikan perhatian yang besar
terhadap tambak garam Limbou
termasuk menentukan secara monopoli perusahaan yang diberikan kontrak untuk
mengekspor garam.
Pengusaha Cina di Palu
maupun Donggala sebenarnya juga tertarik melakukan kontrak penjualan garam ke
daerah lain tapi sampai tahun 1925 Belanda tidak memberikan ijin kepada
pengusaha Cina.[9]
Namun dalam perkembangan selanjutnya pada tanggal 15 Pebruari 1933 usaha garam
Talise diambil-alih
oleh pemerintah dan kemudian dihentikan. Para pembuat garam menerima ganti rugi
dengan hasil bruto selam lima tahun.[10]
Setelah kemerdekaan, usaha garam mengalami perkembangan
sehingga dapat mencukupi kebutuhan lokal dan sekitar lembah Palu.[11]
Usaha garam ini sampai
sekarang masih tetap bertahan dalam kepungan perkembangan pariwisata (pantai)
dan pembangunan pertokoan serta perumahan. Tambak garam Limbou sudah terjepit
di bagian
barat dan selatan oleh pariwisata, di bagian timur oleh menjamurnya pertokoan
dan di bagian
utara telah dijepit oleh pembangunan perumahan.[12]
Petani Garam dan Ancaman Reklamasi: Mencoba Bertahan
Setahun belakangan,
isu reklamasi kawasan teluk Palu kian santer terdengar. Pemerintah Kota Palu
ingin “menyulap” kawasan tersebut menjadi kawasan wisata terpadu dengan mengundang
investor untuk membangun perhotelan, pusat-pusat perbelanjaan, dan lain-lain. Pembangunan
kawasan teluk Palu ini diharapkan dapat menjadikan teluk palu sebagai ikon
wisata di kota Palu dan Sulawesi Tengah. Selain itu, diharapkan dengan adanya rencana
tersebut akan menyerap tenaga kerja dari masyarakat lokal.
Niatan baik tidak selalu baik. Mungkin
ini ungkapan yang menggambarkan kebijakan pemerintah kota Palu tersebut.
rencana reklamasi teluk Palu ditanggapi keras oleh para petani garam, nelayan
dan para pemerhati lingkungan. Ahmad Pelor, Direktur WALHI Sulawesi Tengah menjelaskan,
bahwa rencana reklamasi tersebut mengancam kehidupan para petani garam di
kawasan tersebut. Ia menjelaskan bahwa para petani
tambak garam di Kelurahan Talise yang bergantung pada Teluk Palu
juga merupakan satu-satunya identitas kota.[13]
Dalam rencana tata ruang, ujarnya, tambak garam itu juga diatur. Namun jika
proses reklamasi seluas 38 hektar terjadi, maka bisa dipastikan tidak akan ada
lagi tambak garam di tempat tersebut.[14]
Amar Akbar Ali, pakar tata ruang
dari Universitas Tadulako (UNTAD) juga menuturkan beberapa dampak yang akan
terjadi apabila reklamasi dilakukan. Dampak terhadap lingkungan, misalnya
mengenai perubahan arus laut, hilangnya ekosistem, hingga naiknya permukaan air
sungai.[15]
“Kondisi lingkungan di wilayah
tempat bahan timbunan, seperti sedimentasi, perubahan hidro dinamika, semuanya
harus tertuang dalam analisis mengenai dampak lingkungan,” katanya.[16]
Selain itu, reklamasi juga akan
berdampak pada sosial budaya. Di antaranya adalah kemungkinan terjadinya
pelanggaran HAM karena terkait dalam pembebasan tanah, perubahan kebudayaan,
konflik masyarakat, dan isolasi masyarakat.[17]
Dampak ekonomimya adalah
kerugian masyarakat, nelayan, hingga petambak yang kehilangan mata
pencahariannya akibat reklamasi pantai.[18]
“Akibat peninggian muka air laut
maka daerah pantai lainya rawan tenggelam, atau setidaknya air asin laut naik
ke daratan sehingga tanaman banyak yang mati. Area persawahan sudah tidak bisa
digunakan untuk bercocok tanam, hal ini banyak terjadi di wilayah pedesaan
pinggir pantai,” terangnya.[19]
Pemerintah kota
Palu pada akhirnya tetap melaksanakan rencana reklamasi teluk Palu tersebut. Pada
tanggal 9 Januari 2014, Pemerintah Kota
Palu bersama beberapa pihak swasta secara resmi mulai menimbun sebagian wilayah
di kawasan teluk Palu. Belasan truk beroda sepuluh memuntahkan muatannya ke
pinggiran pantai. Muatan tanah bercampur batu ini secara perlahan menutupi
bebatuan di pinggiran pantai yang selama ini dihunakan sebagai pemecah ombak.[20]
Menurut penuturan
Taufik Kamase, Direktur Operasional Perusahaan Daerah Kota Palu, proses
reklamasi itu akan berlangsung selama 4 tahun dan dibagi ke dalam beberapa
tahap pengerjaan. Tahap pertama berlangsung selama satu tahun dengan menimbun
kawasan teluk Palu seluas 10 hektar. Proses penimbunan itu dilakukan oleh
gabungan sejumlah perusahaan daerah serta beberapa investor. Total biaya pengerjaan
proyek reklamasi tersebut diperkirakan mencapai Rp. 200 Miliar.[21]
Belajar dari Sejarah: Catatan Akhir
Kebijakan pemerintah
kota Palu untuk mereklamasi kawasan teluk Palu adalah sebuah niatan baik untuk
meningkatkan pembangunan, pariwisata, dan ekonomi masyarakat. Namun, niatan
baik tidak selalu dieksekusi dengan baik dan niatan baik tidak selalu mendapat
tanggapan yang baik. Ada kesan bahwa pemerintah kota Palu kurang kreatif dalam
hal pengembangan kota dan lebih mementingkan kepentingan pemodal.
Kebijakan ini
jelas berdampak buruk bagi kelangsungan usaha pengolahan garam yang sudah
berlangsung sejak lama di kawasan teluk Palu. Ada baiknya kawasan ini
dilestarikan sebagai salah satu identitas sejarah kota Palu. Konsep wisata
sejarah yang edukatif nampaknya dapat menjadi alternatif yang baik untuk keberlangsungan
usaha pengolahan garam tersebut.
Pemerintah kota
Palu nampaknya belum memperhatikan aspek sejarah sebagai salah satu acuan dalam
rencana pengembangan kotanya. Hal ini mungkin saja diakibatkan oleh minimnya
pengetahuan akan sejarah, terutama sejarah lokal. Hasil-hasil penelitian sejarah
lokal hanya menjadi penghias lemari di dinas-dinas.
Kota Palu
rasa-rasanya perlu belajar dengan kota-kota besar di Eropa seperti Roma,
Berlin, Paris, Madrid, yang peninggalan sejarahnya berdampingan dengan pesatnya
pembangunan kota. Peninggalan sejarahnya bahkan menjadi ikon dari kota-kota
tersebut.
Atau tak perlu
jauh-jauh keluar negeri untuk mengambil contoh. Yogyakarta, Padang, Solo,
adalah sebagian kecil dari kota yang tetap mempertahankan kelokalannya di
tengah derasnya arus pembangunan. Kota-kota ini memiliki ciri khas yang menjadi
pengingat bagi wisatawan untuk selalu berkunjung kesana.
Identitas kelokalan
penting bagi sebuah kota agar masyarakatnya tidak ahistoris. Sudah saatnya Kota
Palu berkembang dengan memperhatikan aspek-aspek kelokalannya. Karena lupa
sejarah sama dengan lupa identitas.
[1] Jeritan
Kegalauan Petani Garam: Di Balik Rencana Reklamasi Pantai, dalam http://hmj-uda.iainpalu.ac.id/?p=147,
diakses pada tanggal 28-12-2014.
[2] Ibid
[3] Idrus A.
Rore, Sistem Sosial dan Peranan Ekonomi Kota Palu, kertas kerja, tidak
diterbitkan, hal. 26.
[4] Ibid
[5] Ibid
[6] Ibid
[7] Ibid
[8] Ibid
[9] Ibid, hal.
27.
[10] Ibid
[11] Ibid
[12] Ibid
[13] Ada Pelanggaran
Administrasi Pada Reklamasi Teluk Palu. Apakah Itu?, dalam http://www.mongabay.co.id/2014/11/15/ada-pelanggaran-administrasi-pada-reklamasi-teluk-palu-apakah-itu/.
diakses pada tanggal 28-12-2014.
[14] Ibid
[15] Ibid
[16] Ibid
[17] Ibid
[18] Ibid
[19] Ibid
[20] Riski
Maruto, Mencari Manfaat Reklamasi Teluk Palu, dalam http://www.antarasulteng.com/berita/12974/mencari-manfaat-reklamasi-teluk-palu.
diakses pada tanggal 28-12-2014.
[21] Ibid.
7 Comments
hay ka.... nama saya try.. salam kenal,
ReplyDeletesaya mahasiswa matematika untad angk 2012..
artikelnya sangat bermanfaat....
saya numpang copas buat tugas teman saya di sejarah..,
oh iya,kalau ada waktu jangan lupa mampir di Tugas dan Materi Kuliah atau baca juga Sejarah Perkembangan Bahasa Indonesia
Wassalam. Oh iya silahkan, asal tetap mencantumkan sumbernya. Nama temanmu di sejarah siapa? Sy juga kuliah di sejarah. angkatan 08
ReplyDeleteKak permisi boleh numpang tanya dag.soal sumber2 data yang kaka dapatkan.soalx saya mau minta izin untuk copas tulisan kakak buat penyelesaian study dan saya ttp akan masukkan nama kakak. hanya saja Sumber terdahulunya harus jels.saya kurang mengerti dengan sumber yg hanya bertuliskan "ibid".saya coba buka tp tdk bsa.harap bantuanx yah kakak.trimakasih.
ReplyDeletePermisi kak .mau numpang copas tulisan kakak dong.untuk penyelesaian akhir study.sy ttp akan mencatumkn nama kakak sbagai sumber kedua hanya saja sumber terdahulu harus jelas kak.saya kurang mengerti dng sumber yang hanya bertuliskan "ibid".saya coba buka tapi tdk bsa.mohon bantuanx yah kak.
ReplyDeleteAssalamualaikum dan selamat malam kak.saya adalah salah satu mhasiswa untad fak.ekonomi.permisi sebelumny kak saya mau numpang izin untuk mengcopas tulisan kk buat penyelesain study saya. Sya ttp akan mncantumkan nama kakak sebagai sumber kedua.hanya saja sumber terdahulu harus jelas.saya bingung dng sumber terdahulu kakak yang hanya bertuliskan "ibid" soalnya saya coba buka tp tdk mau.mohon bantuannya yah kak.terimakasih.
ReplyDeleteTes
ReplyDeleteTerima kasih. silahkan dicopas asal tetap mencantumkan sumbernya. Untuk sumber ibid, itu artinya sama dengan sumber literatur yang di atasnya
ReplyDelete