Hampir di setiap daerah di Indonesia, memilik tradisi
masing-masing untuk menyambut datangnya bulan suci Ramadan. Masyarakat suku Kaili
sendiri, mengenal tradisi Nolabe, sebagai tradisi untuk menyambut bulan suci
Ramadan.
Pemerhati budaya, Atman menjelaskan, ada beberapa jenis
Nolabe. Nolabe dilakukan mulai dari Nifsu Syaban atau yang biasa disebut Nolabe
Hasan dan Husein. Kemudian Nolabe untuk mendoakan arwah leluhur yang telah
meninggal atau yang biasa No Arua (baca: Arwah), serta Nolabe saat No Temba Bula
(baca: menembak bulan atau mangala balengga puasa (baca: mengambil kepala
puasa), yang biasanya masyarakat umum lakukan sekaligus, saat melaksanakan
Nolabe menyambut Ramadan.
Adapun tahap pelaksanaannya kata Atman yaitu, kalau Nolabe Nifsu
Syaban untuk memperingati dan mendoakan atas kematian cucu Rasulullah, Husein, di
mana menyiapkan makanan berupa kadominya (nasi kebuli) terutama untuk golongan Karaeng.
Kemudian, No Arua, dengan melakukan ziarah ke seluruh kuburan leluhur dan
menyiapkan makanan, seperti kalopa, burasa sisuru dan momi-momi (jajanan khas To
Kaili), kemudian dilakukan Nolabe/Norate (pembacaan ratib). Sedangkan untuk
Nolabe Notemba Bula, dilakukan dengan menyiapkan makanan, dan biasanya dilaksanakan
setelah Magrib.
“Kemudian masyarakat melihat bulan, kalau sudah ada,
dibunyikan meriam ke arah langit, sebagai penanda masuknya bulan Ramadan (awal
puasa),” ujarnya.
Dalam Nolabe kata Atman, ada dua baki berisi aneka makanan. Pertama,
baki malaeka (baca: malaikat), itu biasanya berisi kalopa, sisuru, dan makanan
lainnya, yang didoakan khusus untuk arwah. Kedua, baki salama (baca: selamat), berisi
beras pulut kuning (pae pulu kuni)
diberi telur di atasnya. Baki salama ini kata Atman, sebagai ucapan rasa syukur
masih diberi umur panjang untuk bertemu dengan bulan Ramadan.
Sementara itu, Muhammad Ayub Mubarak menyebutkan, aneka makanan yang disajikan saat Nolabe,
merupakan penanda orang-orang tua di masa lalu, sering berbicara dengan bahasa simbol,
menggunakan hal-hal yang dekat dengan keseharian masyarakat, untuk memudahkan
pemahaman agama di masyarakat. Makanya kata dia, ada cucur dan pisang (loka)
dano, yang diibaratkan sebagai payung bagi kaum muslim, kemudian nasi pulut
putih dan merah, yang menyimbolkan darah dan ruh manusia.
“Kalau di daerah lain, ada yang menggunakan pulut empat
warna (merah, putih, kuning, hitam), yang dipuncaki dengan telur, menyimbolkan
empat unsur manusia,” ujarnya.
Sementara itu, keturunan Habib Sayyid Baharullah Bafagih, Randi
Ibrahim Bafagih mengatakan, Nolabe berasal dari bahasa Arab ‘Laa Ba'sa’ yang
artinya menjauhi masalah. Hal ini dimaknai sebagai amalan zikir dan doa untuk
memperingati suatu kejadian, misalnya di bulan Ramadan, agar dijauhkan dari
masalah, sekaligus bentuk kesyukuran akan datangnya waktu yang akan diperingati
itu (baca: Ramadan).
Menurut Randi, tradisi Nolabe ini masih dilaksanakan di
tataran keturunan Habib Sayyid Baharullah Bafagih. Tradisi ini biasanya dilaksanakan
bersama jamaah, diakhiri dengan pembagian barakah (makanan berupa nasi pulut
diisi dalam keranjang, yang dianggap bahwa makanan adalah berkah yang harus
dibagi-bagikan untuk jama'ah).
Menurut Randi sendiri, ada beberapa jenis Nolabe, yakni
Nolabe untuk memperingati wafatnya seseorang atau biasa disebut tahlilan, Nolabe
memperingati seminggu sebelum Maulid Nabi, dengan membacakan zikir shalawat maulid,
serta Nolabe seminggu sebelum bulan suci Ramadan atau Idul Adha, dengan membaca
amalan zikir.
Setelah pelaksanaan Nolabe sebelum Ramadan tersebut,
dilaksanakan pembacaan doa arwah (No Arua), yaitu mengirimkan sedekah pahala untuk
almarhum/almarhuma.
Amalan Nolabe ini kata Randy dibawa oleh Habib Sayyid Umar
Bafagih dan Habib Sayyid Baharullah Bafagih, yang menyebarkan Islam di Palu dan
sekitarnya, pada periode 1800-an.
Sementara itu, ahli bahasa, Nicolaus Adriani dan etnografer,
Albertus Christiaan Kruyt, dalam buku De Bare'e sprekende Toradja's van
Midden-celebes, yang terbit tahun 1914, juga menjelaskan, pada akhir abad 19
hingga awal abad ke-20, tradisi Nolabe ini nampaknya sudah dilakukan oleh
masyarakat Kaili, namun tidak dijelaskan oleh keduanya secara menyeluruh. Keduanya
menulis, pada malam pertama bulan puasa, banyak sekali makanan lezat disiapkan,
dan kunjungan dilakukan bersama. Segala sesuatu dipersiapkan dengan baik.
Terkait asal usul tradisi Nolabe, penulis memperkirakan, tradisi ini mulai muncul seiring dengan dakwah Dato Karama di wilayah Palu. Kata Labe sendiri, menurut penulis, berasal dari bahasa Minangkabau, yakni Labai. Tokoh masyarakat Minangkabau di Palu, Ramadhanil Pitopang mengatakan, di Minangkabau, Labai merupakan sebuah istilah yang digunakan untuk orang yang dianggap paham dalam agama Islam. Aktifitasnya biasanya di Surau (mesjid berukuran kecil), dengan keseharian mengurusi Surau. Labai ini menurutnya, biasa dipanggil oleh masyarakat untuk membaca doa, pada hajatan masyarakat, seperti selamatan, saat memasuki Ramadan, dan hajatan lainnya. Pendapat yang sama juga diutarakan oleh Muhammad Ayub Mubarak
Secara umum, Nolabe sendiri, khususnya yang dilaksanakan
menjelang Ramadan, dapat diartikan sebagai rasa syukur atas datangnya bulan Ramadan.
Tradisi ini tidak menjadi paksaan atau sesuatu yang diwajibkan, dalam artian,
bila tidak dilaksanakan, akan mengurangi keutamaan ibadah di bulan Ramadan,
apalagi jika harus memaksakan diri untuk membeli berbagai keperluan untuk
melaksanakannya. Tradisi ini sendiri dapat dimaknai sebagai salah satu dari kekayaan
budaya religi di Indonesia.
0 Comments