KETFOT: Makam Raja Maili (Mangge Risa) di Kelurahan Siranindi. |
Isu pelestarian situs sejarah dan sejarah lokal kerap menjadi
isu yang seksi untuk diangkat dalam pertarungan pemilihan kepala daerah. Bagaimana
tidak? Di tengah kondisi masyarakat yang semain ahistoris, kebutuhan akan
cerita sejarah masa lalu sebagai penanda eksistensi semain besar. Perhatian
yang datang akan kedua isu tersebut pun tidak selalu dapat dinilai dengan kasat
mata. Kadang ada yang menilai tulus, ada juga yang menilai karena tendensi
tertentu.
Sejak tahun 2005, situs-situs yang telah ditetapkan sebagai
benda cagar budaya telah diserahkan oleh Balai Pelestarian Cagar Budaya ke
Pemerintah Kota Palu untuk pemeliharaannya. Proses take over tersebut didasari
keyakinan bahwa pemkot mampu mengurusi cagar budayanya.
Namun, seiring perjalanan waktu, kita sendiri melihat
bagaimana kondisi sekian banyak cagar budaya tersebut. ada yang terawat ada
juga yang tidak terawat. Permasalahan tidak hanya disitu. Perawatan yang
dilakukan tidak mengindahkan kaidah-kaidah arkeologis. Tengok saja Banua Oge
(Souraja) yang dinding belakangnya kini hanya ditutupi seng atau bandingkan
foto Masjid Jami dulu dengan sekarang, pasti jauh beda. Padahal dalam kaidah arkeologis,
perawatan benda cagar budaya tidak boleh mengubah bentuk aslinya.
Permasalahan di atas adalah milik situs sejarah yang telah
ditetapkan sebagai benda cagar budaya. Lalu bagaimana nasib situs sejarah yang
belum ditetapkan? Ada yang tidak lagi diketahui keberadaannya, ada yang kondisinya
kini mengenaskan, dan ada yang direhab secara mandiri oleh masyarakat. Banyak contoh
situs sejarah yang belum ditetapkan, seperti yang dikunjungi oleh salah satu
calon walikota Palu beberapa waktu yang lalu.
Di beberapa wilayah, keberadaan situs sejarah dipelihara
karena dianggap keramat dan diselimuti cerita mistis. Namun bagi situs sejarah
yang letaknya di pusat kota, keberadaannya tidak lebih dari sekedar tempat
sampah atau tempat jemuran pakaian. Mau bukti? Tengok saja makam Raja Maili
(Mangge Risa) dan Yodjokodi di Kelurahan Siranindi (belakang Akai Jaya Motor)
dan makam Pue I Nggari di Kelurahan Besusu Barat (belakang Kantor Lurah Besusu
Barat.
Apa penyebab semua masalah di atas? Jawabannya adalah
ketidakpedulian. Ketidakpedulian berpangkal dari mana? Dari ketidaktahuan. Mengapa
tidak tahu? Karena tidak pernah diajarkan.
Sudah sangat jarang kita lihat anak muda yang mau duduk
berjam-jam mendengarkan potutura orang tua. Semuanya serba sibuk dengan
gadgetnya. Ketika potutura sebagai cara sederhana penyampaian sejarah tidak
lagi optimal, pemerintah daerah seharusnya berinisiatif memasukkan sejarah
lokal dalam kurikulum pembelajaran di sekolah. Jika diadakan tes mengenai
pengetahuan sejarah lokal ke seluruh siswa di Kota Palu, mungkin hanya 1-2
orang yang pernah mendengar atau membaca tentang sejarah lokal.
Pertanyaannya, apakah selama ini tidak pernah dilakukan
penelitian? Penelitian tentang sejarah lokal sudah banyak dilakukan. Lalu kemana
hasilnya? Hasilnya ada di lemari-lemari dinas, dibiarkan berdebu, dan akhirnya
rusak dimakan rayap.
Musim pilkada adalah musim menjual janji. Janji lisan sudah
terlalu sering diucapkan dan masih saja banyak yang percaya. Janji pelestarian
situs sejarah dan sejarah lokal tak usah ditanya, sudah sering dilontarkan dari
mulut para calon kepala daerah, namun hasilnya? Nihil.
Isu pelestarian situs sejarah dan sejarah lokal hanya seksi
pada saat momen kampanye pilkada. Setelah terpilih, jadi isu ke 13 dari 12 isu
yang penting. Pernyataan yang sering terlontar, untuk apa sejarah? Tanpa sejarahpun
manusia hidup.
Dari tulisan ini, harapan saya tidak muluk-muluk. Saya pun
tidak yakin salah satu di antara banyaknya calon kada mau mengurusi hal remeh
temeh macam ini. Mau berapa puluh kali janji pelestarian situs sejarah dan
sejarah lokal diucapkan, tunggu saja hasilnya jika salah satu dari calon
tersebut terpilih. Yakin 100% pasti dilupakan.
Kalaupun memang bersungguh-sungguh ingin melestarikan situs
sejarah dan sejarah lokal, kami butuh bukti bukan janji. Kami butuh pegangan
yang dapat kami sampaikan dan tagih kepada calon yang berkomitmen, jikalau ia
nanti mengingkari komitmennya. Kalau enggan, kami sudah tahu dan bisa mengukur kualitas
dan komitmen kalian.
Wahai para totua nu
ngata yang kini telah bersemayam damai di alamnya, jangan biarkan pusaramu
jadi komoditas politik tanpa makna. Cerita tentang kalian harus diungkapkan ke
masyarakat, pahit ataupun manis kisah itu, seberapa dalampun intrik politik di
dalam kisah itu. Kalian pasti tahu mana yang tulus dan mana yang by moment.
0 Comments