KETFOT:
Kondisi makam Pue Inggari yang terletak di Kelurahan Besusu Barat, Kecamatan
Palu Timur dan makam Raja Maili yang terletak di Kelurahan Siranindi, Kecamatan
Palu Barat, yang terkesn terabaikan dan tidak diperhatikan. Makam raja-raja
Kerajaan Palu tersebut kini dalam kondisi memprihatinkan, karena tidak adanya
perhatian dari Pemerintah Kota Palu. FOTO:
JEFRI
Hari mulai sore ketika saya beranjak
dengan sepeda motor menuju ke arah barat Kota Palu. Menyusuri Pantai Teluk Palu
yang terlihat keemasan dibalut matahari senja, angin berhembus kencang. Tepat
di persimpangan patung kuda yang jadi ikon kota Palu, saya beranjak ke arah
kompleks eks RSUD Undata Palu.
Memasuki jalan Undata, saya memasuki
sebuah lorong kecil yang terletak persis di depan RSUD Undata. Di ujung lorong
tersebut, terdapat sebuah rumah bercat ungu dengan pohon jambu yang tumbuh di
halamannya. Tampak seorang perempuan paruh baya sedang mengangkat jemuran yang
dijemurnya di atas sebuah kuburan. Kuburan tersebut bernisan kayu yang dicat putih
dengan kain kuning terlilit di nisannya. Di sebelahnya terdapat makam yang
bernisan batu alam.
Melihat kedatangan saya, sang ibu pun
kemudian menanyakan asal dan keperluan saya. Saya pun segera menyalami ibu
tersebut dan menjelaskan maksud kedatangan saya. Setelah mengetahui maksud
kedatangan saya, ibu tersebut sempat kaget dan buru-buru mengangkat jemurannya.
“Sebentar ya dek, saya angkat dulu
jemurannya. Duduk dulu sebentar” ujar si ibu.
Setelah semua jemuran selesai
diangkat, si ibu pun mempersilahkan saya untuk mengambil gambar. Setelah
mengambil gambar, saya pun duduk di teras rumah dan memulai pertanyaan. Perempuan
paruh baya tersebut bernama Rukmini. Ia mengaku telah tinggal di rumah itu
sejak ia lahir pada tahun 1981. Ayahnya, Burhanudin Tamauni mulai menempati
rumah tersebut pada tahun 1980.
Sambil melipat baju yang sudah
diangkat, Rukmini memulai ceritanya. Menurutnya, kawasan tersebut dulunya
merupakan areal pekuburan. Areal pekuburan ini berdiri di atas tanah yang
diwakafkan oleh Alm. Marawali, salah seorang tokoh masyarakat di Kelurahan
Besusu Barat. Makam-makam yang berada di areal tersebut rata-rata berusia
puluhan hingga ratusan tahun.
Rukmini mengatakan bahwa makam yang
terletak di pekarangan rumahnya tersebut disebut sebagai makam Pue I Nggari,
raja pertama Kerajaan Palu. Pue I Nggari (Siralangi) diperkirakan memerintah selama kurun waktu antara awal 1600an – pertengahan 1600an. Pada masa pemerintahannya, pusat
Kerajaan Palu berada di Besusu. Setelah Pue I Nggari mangkat, ia digantikan
oleh Labungulili. Labungulili kemudian dikenal dengan sebutan I Dato
Labungulili.
Rukmini kemudian menyinggung soal
fenomena mistis yang kerap dirasakan olehnya dan warga sekitar dengan
keberadaan makam Pue I Nggari tersebut. Ia menuturkan bahwa anak bungsunya,
sering melihat sosok lelaki tua memakai siga (penutup kepala khas kaili)
mengendarai kuda, diiringi oleh bala tentara. Hal yang sama juga sering dilihat
oleh warga sekitar.
Rukmini juga menuturkan bahwa
keberadaan makam tersebut seakan melindungi rumahnya dari ancaman kejahatan
seperti pencurian. Ia mengisahkan bahwa pernah ada pencuri yang hendak masuk ke
rumahnya, namun mengurungkan niat karena melihat banyaknya bala tentara di
depan rumahnya.
Rukmini melanjutkan, bahwa ibunya yang
bernama Nurjanah dg. Maruma merupakan salah satu keturunan jauh dari Pue I
Nggari. Alasan tersebut yang membuat pihak keluarga memutuskan untuk membuat
pondasi yang mengelilingi makam tersebut.
Melihat kondisi makam yang kini
terkesan tidak terurus, Rukmini menyayangkan sikap dari pemerintah Kota Palu,
terutama Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, serta Dinas Pendidikan dan
Kebudayaan, yang seakan acuh dengan kondisi makam yang terbengkalai.
Menurutnya, sebagai salah satu Raja Kerajaan Palu, sosok Pue I Nggari mestinya
mendapat penghargaan lebih, minimal, makamnya dipugar dan diperbaiki.
Nasib serupa juga dialami oleh makam
milik Raja Maili (Mangge Risa), Raja Palu yang memerintah antara tahun
1868-1888. Makam yang terletak di sebuah lorong sempit yang terletak di belakang
showroom CV. Akai Jaya Abadi, Jalan Imam Bonjol, Kelurahan Siranindi, Kecamatan
Palu Barat. Komples pekuburan di sekitar makam Raja Maili tersebut hanya
dipagari oleh dinding batako yang tidak selesai. Kondisi di sekitar makam yang
ditumbuhi semak belukar, menghadirkan kesan tidak terurus. Nisan makam yang
terbuat dari kayu pun telah rusak dan berlubang, serta kini miring posisinya.
Salah seorang warga yang tinggal di
lorong tersebut, mengatakan bahwa di kompleks makam Raja Maili tersebut,
beberapa makam sudah saling tumpang tindih. Letak makam yang berada di dalam
lorong, membuat makam tersebut tidak diketahui oleh orang.
Warga yang enggan disebutkan namanya
tersebut melanjutkan bahwa makam Raja Maili tersebut sudah sering dikunjungi
oleh pihak pemerintah, baik tingkat daerah hingga pusat. Namun menurutnya,
hingga saat ini, belum ada tanda-tanda makam tersebut akan dipugar.
Kondisi dua makam milik raja Kerajaan
Palu yang tidak terawat dan terkesan dibiarkan ini adalah tamparan bagi Kota
Palu yang tengah membangun identitas menuju kota maju dan berkembang. Kondisi
ini juga merupakan bukti bahwa baik pemerintah maupun masyarakat Kota Palu,
masih belum memberikan perhatian yang serius dengan sejarah lokalnya.
Dalam menyongsong momen Hari Ulang
Tahun Kota Palu yang diperingati pada tanggal 27 September mendatang, sudah
seharusnya pemerintah Kota Palu, lewat Dinas Pendidikan dan Kebudayaan serta
Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, memperhatikan dua makam yang seharusnya
menjadi situs sejarah tersebut. Dua makam tersebut merupakan penanda bahwa
Palu, sebagai sebuah kota memiliki identitas sejarah.
Perhatian terhadap kondisi makam ini
juga perlu diimbangi dengan edukasi kepada masyarakat, terutama generasi muda
tentang sejarah lokal Kota Palu. Masyarakat Kota Palu mungkin hanya tahu nama
Raja Maili adalah nama sebuah jalan yang terletak di sepanjang pantai Teluk
Palu tanpa tahun siapa sosok Raja Maili sesungguhnya dan di mana letak
makamnya. Nama Pue I Nggari pun hanya segelintir orang saja yang tahu.
0 Comments