Vatutela: Dari Tujuan Migrasi hingga
Kampung dalam Kelurahan
Nama
Vatutela disebut dalam buku Bamba Toraranga sebagai tempat Makagero berburu. Makagero
pulalah yang menamakan tempat tersebut dengan nama Vatutela. Nama Vatutela
berasal dari kata Vatu yang berarti Batu dan Tela yang berarti menyala. Kata
Tela yang diambil dari kata Potela yang artinya dinyalakan menjadi api
atau Potelavaru yang artinya dinyalakan menjadi api menggunakan Faru. Faru adalah bahan yang diambil dari pelepah daun
enau yang menjadi korek api yang dipergunakan oleh Suku Kaili bahkan hingga masa pendudukan Jepang.
Menurut
Muslima, orang-orang dari Uesama ini bermigrasi ke dua wilayah yaitu Vatutela
dan Poboya. Kelompok yang bermigrasi ke Vatutela adalah kelompok masyarakat
biasa yang berprofesi sebagai petani ladang. Mereka membuka lahan di kawasan
Uwelira, yang terletak di sebelah timur Vatutela. Uelira ini dipercaya oleh
masyarakat Vatutela sebagai cikal bakal kampung Vatutela sekarang.
Kelompok yang bermigrasi ke Poboya, menurut Muslima adalah mereka yang tergolong kelas bangsawan. Mereka dipimpin oleh Papa Salangka yang tidak lain adalah saudara sepupu dari Makagero. Papa Salangka sendiri kemudian pindah lagi dari Poboya untuk menetap di Siranindi.
Keterangan
mengenai migrasi ke daerah Poboya ini dapat dilihat dari keterlibatan pasukan
dari Poboya yang dipimpin oleh Papa Salangka dalam peristiwa di Popalego yaitu
pembunuhan atas Timbaluka. Timbaluka adalah Tadulako dari Pelawa yang sangat disegani pada masa pemerintahan Makagero. Namanya dikenal di
mana-mana karena keahliannya dalam
berperang. Ia digelari Sandepo Bambara karena dadanya yang sangat lebar. Kemampuannya
dalam
berperang. membuat Raja Parigi merasa
terancam dengan keberadaannya. Ia khawatir jika sewaktu-waktu Timbaluka datang
menyerangnya.
Raja Parigi kemudian
membuat sebuah siasat dengan cara memfitnah (menjelek-jelekkan) Timbaluka
kepada sepupunya Papa Salangka yang berada di Siranindi[1]. Mereka pergi ke Siranindi membawa dampo durian
sebagai ole-ole. Kedatangan mereka
disambut baik oleh Papa Salangka dan mereka pun memulai pembicaraan.
Pada saat pembicaraan telah menjurus ke hal yang serius, salah seorang utusan mengatakan
bahwa Timbaluka sudah menjadi buah bibir masyarakat di Parigi karena telah memperkosa istri orang. Olehnya itu mereka meminta pendapat Papa Salangka bagaimana solusi untuk menyelesaikan masalah ini. Papa Salangka pun mengatakan bahwa sudah menjadi tradisi nenek moyang kita bilamana ada
salah satu orang keluarga yang melakukan kesalahan yang tidak dapat diampuni
lagi oleh keluarga dan masyarakat, maka keluarga terdekat sangat malu apabila
orang lain yang membunuhnya. Papa
Salangka menganjurkan bahwa sebaiknya Timbaluka dibunuh saja oleh keluarga sebelum
dibunuh oleh orang luar dan sekiranya rombongan dari Parigi tidak berani melakukannya, maka serahkanlah saja
pada kami untuk membunuhnya.
Setelah kedua pihak bersepakat, Papa Salangka dengan
pasukannya dari Poboya berangkat ke Parigi untuk membunuh
Timbaluka. Adapun cara membunuh Timbaluka dilakukan dengan tipu muslihat, yakni
mengundang Timbaluka untuk melatih cara-cara berperang dengan ketentuan tidak
boleh membawa senjata yang terbuat dari besi, kecuali Tarampa, yakni sejenis guma yang terbuat dari Nibong. Tempat
kejadian pembunuhan Timbaluka disebut Popalego karena disitulah tempat
bergabungnya rombongan dari Poboya dengan rombongan dari Parigi.
Perjalanan migrasi dari Uesama ke Vatutela melewati
rute Uesama-Aya (Pemaya)-Uvelira. Selain ke Vatutela, mereka juga bermigrasi ke
Poboya dan Bale. Diperkirakan migrasi ini dimulai pada abad ke 15 berdasarkan
fakta bahwa Makagero memerintah sejak 1517 dan jika dilihat
masa pemerintahan kepala suku Polimbu Ada yang merupakan ayah dari Makagero. Selain
itu, saat terjadi peristiwa Popalego, Poboya telah ditempati oleh masyarakat
dari Uesama yang dipimpin oleh Papa Salangka.
[1]
Siranindi pada saat itu
menjadi Pusat Pemerintahan Kerajaan Palu. Nanti pada saat pemerintahan Raja
Yodjokodi, pemerintahan dipusatkan di Kampung Lere.
0 Comments