Nama kampung tersebut adalah Wani. Wani
terletak di sebelah utara kota Palu. Wani berjarak kurang lebih 35 kilometer
dari Kota Palu. Secara administratif, Wani masuk kedalam wilayah Kecamatan
Tanantovea, Kabupaten Donggala.
Membicarakan sejarah perkembangan Islam di
Sulawesi tengah, tidaklah lengkap rasanya jika tidak menyertakan Wani di
dalamnya. Kehadiran Wani sebagai salah satu pusat syiar Islam di Sulawesi
Tengah, ditandai dengan berdirinya dua masjid yang menjadi saksi bisu
perjalanan syiar Islam di Wani. Dua masjid tersebut bernama Masjid Al
Mujahidin, dan Masjid Al Amin. Dua masjid tersebut kini masih berdiri kokoh
walaupun telah berusia ratusan tahun.
Masjid Al Mujahidin terletak di Jalan Masjid
Jami, Dusun Malambora, Desa Wani II. Menurut penuturan Imam Masjid Al
Mujahidin, Tanwir H. Amboedo, masjid tersebut dibangun pada tahun 1912, melalui
prakarsa dari seorang pedagang sekaligus pelaut bugis bernama H. Amboedo. H.
Amboedo bersama Taganda dan H. Lamane merupakan pelopor pembangunan mesjid ini.
Masjid dengan gaya arsitektur khas Bugis ini saat
di bangun, masih berdinding kayu ulin. Masjid ini telah mengalami tiga kali
proses renovasi. Renovasi pertama dilakukan tahun 1980an, renovasi kedua
dilakukan tahun 1990an, dan renovasi ketiga dilakukan tahun 1996.
Tiang penyangga masjid ini berjumlah 12 buah
dengan rincian 8 tiang kecil dan 4 tiang besar. Tiang penyangga tersebut
terbuat dari kayu ulin yang didatangkan dari Singapura. Tanwir mengisahkan
bahwa kayu tersebut dibawa oleh H. Amboedo, saat pulang berlayar dari
Singapura.
Kini, bukti peninggalan sejarah dari masjid
yang telah berusia ratusan tahun ini tinggal berupa tiang penyangga dan kubah
masjid.
Selain Masjid Al Mujahidin, terdapat satu
masjid lagi di Wani yang berusia ratusan tahun. Masjid tersebut adalah Masjid
Al Amin yang berlokasi di Jalan Sayyid Agil, Dusun Malambora, Desa Wani II,
Kecamatan Tanantovea, Kabupaten Donggala.
Masjid yang telah ditetapkan sebagai salah
satu situs cagar budaya oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Sulawesi Tengah (kini
berubah menjadi Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, dan Dinas Pariwisata dan
Ekonomi Kreatif) dibangun pada tahun 1906 atas prakarsa seorang wanita bernama
Saripa Isa binti Sayd Yahya Al Mahdali. Demi pembangunan masjid ini, Saripa
mewakafkan tanah miliknya seluas 45x54 meter dengan surat wakaf tertanggal 3
Desember 1906.
Saripa merupakan cucu dari Sayd Agil Al
Mahdali, salah seorang mubaligh yang menyiarkan Islam di wilayah Wani. Beliau
berasal dari Hadramaut, Yaman Selatan.
Sebelum kedatangan Guru Tua ke Palu, telah ada
orang Arab yang lebih dulu tinggal di Wani, di antaranya Sayd Agil Al Mahdali, Ahmad
bin Ahmad Al Mahdali, Husein Assegaf, Hasan bin Ali Makarama, dan Abdullah bin
Hasan Al Husni. Mereka tinggal di Wani untuk berdagang, karena pada saat itu
(diperkirakan sekitar tahun 1850-an) Wani merupakan salah satu pelabuhan yang
berada di wilayah Kerajaan Banawa bersama pelabuhan Donggala sendiri. Orang
Arab tinggal di Wani atas persetujuan Raja Banawa. Mereka memiliki hubungan erat dengan para bangsawan
Banawa saat itu.
Masjid Al Amin ini awalnya berdinding kayu
ulin. Setelah proses renovasi, masjid ini kini berdinding beton. Masjid ini
memiliki tiang penyangga berjumlah 8 buah dengan 4 tiang penyangga utama. Di
langit-langit masjid, terdapat 4 kaligrafi di setiap sudut dan 1 kaligrafi di
tengah. Menurut penuturan juru pelihara Masjid Al Amin, Thahir Syarief Al
Mahdali, 4 tiang penyangga utama dan 4 kaligrafi di sudut langit-langit masjid
melambangkan 4 sahabat nabi (Khulafaurrassyidin).
Tiang penyangga masjid terbuat dari kayu ulin
yang didatangkan dari Kalimantan. Atap masjid ini dilengkapi dengan ornamen
pada ujungnya. Ornamen tersebut diketahui berasal dari Singapura.
Thahir menuturkan bahwa masjid tersebut pernah
dikunjungi oleh beberapa tokoh penting seperti H.O.S Tjokroaminoto, Buya Hamka,
hingga Guru Tua.
Sejak didirikan pada tahun 1906, Masjid ini
telah memiliki 12 orang imam. Imam pertama adalah Hanafi Al Mahdali dan imam
saat ini adalah Jaudah Syarief Al Mahdali.
Di masjid ini, terdapat beberapa Al Qur’an tua
hasil tulisan tangan. Sayang kondisinya kini telah rusak dimakan rayap. Di
samping masjid, terdapat makam Saripa Isa binti Sayd Yahya Al Mahdali beserta
beberapa makam keluarga Al Mahdali lainnya.
Kondisi masjid saat ini cukup terawat namun
ada beberapa kerusakan yang muncul seperti dinding dan kayu atap yang keropos,
plafon bocor, serta lantai keramik yang pecah di beberapa sudut. Menurut
Thahir, bantuan dari pemerintah untuk perbaikan masjid ini masih minim. Thahir
menuturkan bahwa pihaknya telah mengajukan usulan perbaikan ke dinas terkait
namun sampai saat ini belum ada tanggapan. Praktis, saat ini, pihaknya hanya
mengandalkan bantuan dari masyarakat.
Kehadiran dua masjid bersejarah ini merupakan
warisan identitas bagi generasi berikutnya. Warisan ini harus tetap dijaga dan
dilestarikan agar generasi berikutnya tidak kehilangan identitas, karena mereka
yang lupa akan identitasnya berarti melupakan sejarahnya.
4 Comments
This comment has been removed by the author.
ReplyDeleteThis comment has been removed by the author.
ReplyDeleteBoleh saja. saya tinggal di Tawaeli, kelurahan Baiya di samping SD Inpres 12 Baiya. Nomor kontak saya 085255969357
ReplyDeleteSubhanallah, masjid Al Amin tetap kokoh ketika yang lain roboh terkena tsunami 28 September 2018
ReplyDelete