Menjadi
pahlawan terkadang tidaklah memerlukan suatu pengakuan dari khalayak. Ada
kalanya, pengakuan tersebut tidak didapatkan karena ketersingkiran politik yang menyebabkan mereka menjadi orang-orang yang “kalah”. Pada saat orang-orang
ramai mengusulkan pahlawan di daerahnya masing-masing, mereka tidak menuntut
hal yang sama. Padahal, mereka terkadang punya peran dan andil yang sama dengan
orang-orang yang diusulkan tersebut.
Pada
level nasional, banyak figur yang sebenarnya layak untuk menjadi pahlawan
tetapi karena “berseberangan” dengan penguasa, mereka tidak diakui peran dan
andilnya. Ada juga yang telah dianugerahi gelar pahlawan, tetapi gelar
pahlawannya dicabut. Ada juga yang gelar pahlawannya tidak dicabut tetapi
namanya tidak pernah dicantumkan di buku-buku pelajaran sejarah di sekolah.
Mungkin
hanya sedikit dari kita yang mengenal Tan Malaka, Alimin, Semaun, Darsono, H.
Misbach, Nyoto, dll. Mereka memiliki peran dan andil yang sama dengan
tokoh-tokoh lain yang telah diakui dan mendapat gelar pahlawan. Di antara
mereka ada yang telah mendapat gelar Pahlawan Nasional tetapi namanya tidak
pernah masuk dalam buku-buku sejarah di sekolah, seperti Tan Malaka. Mengapa
mereka diperlakukan demikian? Alasannya hanya karena mereka menganut ideologi
komunis yang masih menjadi “hantu” menakutkan bagi sebagian besar masyarakat
Indonesia.
Nama
mereka dikonotasikan dengan Tragedi G30S yang menurut sejarah versi pemerintah,
dilakukan oleh Partai Komunis Indonesia (PKI). Pelabelan (stigmatisasi)
tersebut disertai dengan propaganda dari pemerintah (Orde Baru) sehingga stigma
tersebut melekat dengan nama mereka sampai hari ini. Padahal, jika kita
telusuri sejarahnya, beberapa dari mereka tidak memliki sangkut-paut dengan
gerakan tersebut. Bahkan di antara mereka ada yang telah tutup usia sebelum
gerakan tersebut meletus, seperti Tan Malaka yang wafat tahun 1949.
Stigmatisasi
tersebut tidak hanya terjadi di pusat tetapi hampir di seluruh daerah di
Indonesia. Mereka yang tidak tahu menahu tentang Tragedi tersebut mendapat
perlakuan di luar batas kemanusiaan. Perlakuan tersebut terus mereka terima
bahkan setelah mereka tidak lagi menyandang status sebagai tahanan. Hal
tersebut menimbulkan trauma berkepanjangan bagi mereka.
Provinsi
Sulawesi Tengah yang baru berumur satu tahun saat meletus Tragedi G30S juga
mengalami dampak dari tragedi tersebut. Ribuan orang mengalami perlakuan di
luar batas kemanusiaan mulai dari penangkapan, penganiayaan, kekerasan seksual,
diskriminasi, dll. Alasannya sederhana, karena mereka merupakan aktivis dan
simpatisan PKI dan organisasi underbouw nya
(BTI, Baperki, Pemuda Rakyat, CGMI, Lekra, Sobsi, Gerwani, HSI, dll). Selain
mereka, orang-orang yang dianggap mendukung Soekarno juga mengalami nasib yang
sama.
Orang-orang
yang mengalami nasib naas ini mengalami hari-hari yang penuh dengan
penderitaan. Penderitaan yang paling berat adalah pada saat mereka dipekerjakan
paksa untuk membangun infrastruktur daerah. Dalam pekerjaan tersebut, mereka
tidak diberi upah, makanan yang tidak layak, diperlakukan kasar dan segala
kondisi serba kekurangan lainnya. Akibatnya, tidak jarang ada yang sakit,
bahkan sampai meninggal dunia.
47
tahun setelah Tragedi G30S, mereka masih berharap bahwa keadilan akan
ditegakkan dan sejarah akan ditulis kembali dengan apa adanya bukan ada apanya.
Mereka tidak meminta dianugerahi gelar pahlawan nasional seperti Pangeran
Diponegoro, Soekarno, Hatta, ataupun yang lain. Mereka hanya ingin nama baiknya
direhabilitasi dan tidak ada lagi diskriminasi yang menjadikan mereka warga
Negara kelas dua.
Pemerintah
juga harus mengakui bahwa mereka memiliki andil dalam perjalanan sejarah
Provinsi Sulawesi Tengah. Sebagian besar infrastruktur daerah yang kita nikmati
saat ini adalah buah kerja keras mereka siang dan malam. Mereka mungkin tidak
meminta agar jerih payah tersebut diakui tetapi sebagai generasi yang sadar
sejarah, jerih payah tersebut perlu mendapat apresiasi dari pemerintah.
Melalui
peringatan Hari Pahlawan ini, kita kembali memaknai definisi dari pahlawan
tersebut. Orang-orang yang mengalami “ketersingkiran” akibat perlakuan
pemerintah di masa lalu ini juga layak disebut sebagai pahlawan. Dari keringat
dan darah mereka, Provinsi Sulawesi Tengah yang saat itu masih sangat muda,
memulai pembangunannya. Pengakuan tidak harus datang dari pemerintah tetapi
alangkah lebih baiknya jika datang dari masyarakat luas. Sejarah memang tidak
selalu menghadapkan kita pada romantisme dan tragisme masa lalu tetapi
mengajarkan kita untuk lebih bijaksana dalam menyikapi berbagai fenomena
kehidupan baik itu yang terindah walaupun yang terkelam sekalipun. Sejarah
tidak akan terekonstruksi kembali apabila masyarakat bersikap apatis terhadap
masa lalunya.
Jefrianto *Penulis adalah Mahasiswa Sejarah Universitas
Tadulako, Peserta Forum Indonesia Muda angkatan 13 tahun 2012.
0 Comments