Ketika Soekarno Terpesona Gadis Palu: Sisi Lain Penamaan Bandara Mutiara

Ketika Soekarno Terpesona Gadis Palu: Sisi Lain Penamaan Bandara Mutiara

FOTO: Norma E Kasese bersama sang anak, Ani Kasese, 
saat memandangi foto Bandara masovu yang dipamerkan 
dalam pameran Diorama Sejarah Kota Palu oleh BPDAD Kota Palu, 
beberapa waktu lalu. FOTO: JEFRI
Siapa nyana, alasan Presiden pertama RI, Soekarno, mengubah nama bandara Masovu menjadi Mutiara, tidak hanya dilatarbelakangi oleh kekaguman sang proklamator terhadap keindahan alam lembah Palu. Kedatangan Soekarno ke Palu pada 10 Oktober 1957, rupanya menyisakan cerita tersendiri di balik keputusan mengubah nama bandara kebanggaan Sulawesi Tengah tersebut.

Norma Estefanus Kasese Sunu atau yang biasa dipanggil Norma Kasese, adalah salah satu orang yang mengetahui cerita unik di balik perubahan nama bandara tersebut. Cerita tersebut mengalir begitu saja dari bibir wanita berusia 73 tahun ini, saat ia bersama anak dan cucunya, mengunjungi pameran diorama sejarah Kota Palu yang digelar di Badan Perpustakaan, Dokumentasi, dan Arsip Daerah (BPDAD) Kota Palu (kini Dinas Kearsipan dan Perpustakaan Kota Palu) di lantai dua Kompleks Pasar Bambaru, Kelurahan Baru, Kecamatan Palu Barat,  beberapa waktu lalu.


Asyik berkeliling, Norma beserta keluarga tiba di ruang pameran sejarah Kota Palu pasca kemerdekaan. Langkah istri mantan Kepala Bandara Mutiara periode 1965-1972, Estefanus Kasese ini, terhenti saat memandang foto sejumlah pejabat pemerintahan di Kota Palu dengan latar bandara Masovu, pada saat persiapan penyambutan kedatangan presiden Soekarno tahun 1957. Di sebelah foto tersebut terdapat foto presiden Soekarno tengah berpidato di podium. Lamat-lamat perempuan paruh baya ini memandangi kedua foto tersebut. Sontak, Norma pun mengurai kisah perubahan nama bandara tersebut.

“Soekarno mengubah nama bandara Masovu menjadi Mutiara, karena terpesona oleh kecantikan salah satu putri dari pejabat Bupati Donggala, Rajawali Muhammad Pusadan, yaitu Hatidjah Pusadan, yang turut menyambut kedatangannya waktu itu. Waktu Soekarno datang ke Palu, saya masih SMP dan waktu itu ikut menari pada saat tari penyambutan,” tutur Norma.

Pernyataan Norma tersebut kontan membuat salah satu pegawai BPDAD Kota Palu yang menemaninya sebagai pemandu kaget. Bagaimana tidak, selama ini yang diketahui oleh khalayak, perubahan nama tersebut terjadi karena bapak bangsa ini terpesona dengan keindahan alam lembah Palu saat melihatnya dari udara.

Lanjut Norma, kekaguman orang nomor satu di Indonesia pada masa orde lama tersebut, tidak hanya berhenti sampai di situ. Sekembalinya Soekarno ke Jakarta, ia mengirimkan satu koper besar berisi pakaian kepada Hatidjah. Kisah selanjutnya terkait kekaguman Soekarno terhadap putri mantan bupati Poso dan Buol Tolitoli ini tak lagi didengar oleh Norma. Ia pun tak lagi mengingat apa yang terjadi setelah Soekarno mengirim satu koper besar pakaian tersebut.

Nama Mutiara yang melekat pada bandara kebanggaan masyarakat Sulawesi Tengah sejak tahun 1957 tersebut, tidak lantas membuat bandara ini segera bersolek. Statusnya pun saat itu masih merupakan bandara yang dikelola oleh Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI).

Baru pada tahun 1965, status kepemilikan bandara disipilkan, yang ditandai dengan penunjukkan Estefanus Kasese sebagai Kepala Bandara Mutiara Palu. Norma mengenang saat sang suami bertugas di bandara yang saat itu hanya memiliki dua gedung, yaitu gedung terminal dan gudang.

Kata Norma, lalu lintas penerbangan di bandara Mutiara saat itu tidak seramai sekarang. Pesawat yang mendarat hanya ada tiga maskapai yaitu Zamrud, Bouraq dan Garuda. Jadwal penerbangannya pun tidak menentu, kadang dua kali seminggu, kadang bisa sampai dua kali sebulan, dengan rute tujuan Menado dan Ujung Pandang (Makassar).

Perempuan yang pernah aktif di organisasi Kosgoro ini pun mengingat kembali suka duka menemani sang suami berdinas. Dirinya mengisahkan bagaimana keluarganya harus tinggal di lokasi bandara untuk sementara waktu pasca pelantikan. Sang suami menolak pemberian rumah jabatan di kawasan Jalan Tendean, Kelurahan Besusu Tengah, yang saat itu merupakan perumahan dinas pegawai. Estefanus Kasese memilih untuk membangun rumah di kawasan Jalan Masjid Raya, Kelurahan Lolu Utara, yang ditempati Norma dan keluarga hingga kini.

Senyum merekah di bibir wanita paruh baya ini saat mengenang suka duka bersama sang suami mengurusi bandara Mutiara. Menurutnya, dulu rumput yang tumbuh di lokasi bandara sangat rimbun dan panjang sehingga sang suami harus mempekerjakan sejumlah warga sekitar untuk membantu memangkas rumput tersebut. Selain itu, jika sedang tidak ada jadwal pesawat yang mendarat, sang suami menggembalakan ternak sapinya di lingkungan bandara untuk membantu mengurangi rumput yang ada.

Saat ditanyakan bagaimana pendapatnya tentang keadaan bandara Mutiara sekarang, dirinya mengaku takjub dengan perubahan yang terjadi. Menurutnya, bandara Mutiara yang kini bernama Mutiara SIS Aldjufri ini sangat indah dan patut menjadi kebanggaan masyarakat Sulawesi Tengah. Hanya saja, oma dari belasan cucu ini tidak terlalu setuju dengan perubahan nama bandara Mutiara. Menurutnya, perubahan tersebut akan menghilangkan ingatan orang tentang penamaan Mutiara oleh Soekarno.

“Sekarang mungkin kita masih mengingatnya tetapi generasi 20-30 tahun kedepan, masihkah akan mengetahui makna penamaan tersebut. Di seluruh Indonesia, hanya Bandara Mutiara yang diberi nama langsung oleh Soekarno,” tutupnya.    

Post a Comment

1 Comments

  1. sangat menarik jika ada reporetase ttg hatijah pusadan sekiranya beliau masih ada

    ReplyDelete