Vatutela: Sejarah Besar Dari Daerah Kecil (3)

Vatutela: Sejarah Besar Dari Daerah Kecil (3)



Vatutela: Asal-Usul Raja-Raja Di Tanah Kaili
Tidak berlebihan rasanya jika menyebut Vatutela sebagai bagian penting dalam sejarah kerajaan-kerajaan di tanah Kaili, terutama Kerajaan Tawaeli. Raja-raja Tawaeli setelah Yangge Bodu[1] (Magau Punggu) memiliki alur silsilah yang berasal dari Vatutela. Silsilah ini dapat dirunut dari Datumpedagi (Langgo)[2] yang merupakan anak dari Saera Mangkau dan Woki, yang merupakan Madika Vatutela[3]. Woki adalah anak dari Sakimanuru (Siti Buruda)[4]. Kakeknya dari pihak ibu adalah Salangga, yang merupakan cicit dari Ginggimagi yang menjabat sebagai Madika Malino di Bale[5]. Neneknya dari pihak ibu adalah Kinenia (Kinema) yang merupakan cicit dari Bose Onge, yang menjabat sebagai Madika Laidjango di Bale[6].    


Datumpedagi (Langgo) memiliki dua orang istri. Daenggasia (Madika Timbala)[7], anak dari Gilibulava (Madika Labuan dan Palu) dan Daetika Daesalembah (anak ke lima dari Magau Tawaeli ke III yaitu Daesalembah)[8], merupakan istri pertama, dan Lemuinta[9], Madika Valangguni yang merupakan istri kedua. Dari Daenggasia, Datumpedagi memiliki empat orang anak yaitu Pengalembah, Linggulembah, Lasamalolo, dan Tanggarumpa (Baso Kavola)[10]. Dari Lemuinta, Datumpedagi dikaruniai lima orang anak yaitu Gadilembah, Sopolembah, Daeng Malino, Tadolembah, dan Gondalangi (Pue Sula)[11].

Pengalembah menjadi Madika Baiya pada masa pemerintahan Magau Yangge Bodu  (1759-1800) dengan gelar Madika Bobo[12]. Pengalembah menikah dengan Bungasangi[13] dan dikaruniai dua belas orang anak yaitu Musa Datu, Tondalabua, Todjobula, Pilalembah, Tirolembah, Tandiara, Mima, Goba Intan, Tariro, Ponamita, Karalembah, dan Goba Pewunu[14]

Musa Datu kemudian menikah dengan Lope Datumpedagi[15], anak keempat dari Datumpedagi (Pue Oge Nganga)[16] yang menjabat sebagai Madika Matua pada masa pemerintahan Magau Dg. Pangipi (Madika Beli) dan Magau Yangge Bodu[17]. Ia juga pernah menjabat sebagai wali raja bagi keponakannya Yangge Bodu yang baru berusia 12 tahun saat diangkat menjadi Magau[18]. Selain itu, Datumpedagi (Pue Oge Nganga) juga dikenal sebagai salah satu tokoh agama karena pernah menjadi Imam Masjid Jami Tawaeli[19].  

Pernikahan ini dikaruniai enam orang anak yaitu Mutiara, Dg. Sima, Pattalau, Kodara, Taepa, dan Indokera[20]. Anaknya yang pertama menikah dengan Tumpalembah[21], Madika Malolo Tawaeli pada masa Magau Djaelangkara dan setelah itu menjadi Magau Tawaeli ke IX (1906-1908)[22]. Anak keduanya yaitu Dg. Sima, menikah dengan Labulembah[23], Magau ke X Tawaeli. Anak bungsunya yaitu Indokera juga menjadi istri dari Labulembah[24]. Pernikahan dengan Indokera adalah pernikahan “ganti tikar”[25].

Anak kedua Datumpedagi (Langgo) dari istri pertama, yaitu Linggulembah[26]. Ia pernah menjabat sebagai Madika Malolo Kerajaan Tawaeli pada masa pemerintahan Magau Yangge Bodu.[27] Masa jabatannya berakhir ketika ia digantikan oleh Sopelembah yang merupakan adik kandung Yangge Bodu[28]. Linggulembah memiliki tiga orang istri[29]. Dari istri kedua yaitu Momikida[30], ia dikaruniai lima orang anak yaitu Tumbapole, Royantowale, Irondalieu, Ramintasa dan Sukuria[31]. Royantowale kemudian menikah dengan Palawatika[32], seorang guru Sekolah Rakyat (SR) di Tondo[33], anak dari Lamapatompa Dg. Palili (cucu dari Dg. Palili Madika Malolo Palu) dan Madda (Madika Palu)[34]. Mereka dikaruniai tiga orang anak yaitu Kere, Yodi, dan Lamaundu[35]. Kere menjadi Kepala Kampung di Bale[36] dan keturunannya saat ini banyak menetap di Bale, Kecamatan Tanantovea, Kabupaten Donggala[37]. Anak kedua yaitu Yodi, menikah dengan Mangalaulu Labulembah[38], anak kelima dari Magau Labulembah[39]. Mangalaulu pernah menjabat sebagai Kepala Distrik (Madika Malolo) pada masa pemerintahan kakaknya, Magau Yoto Labulembah pada tahun 1912-1926[40]. Pernikahan ini dikaruniai empat orang anak yaitu Intjebulava, Taso, Husin, dan Dg. Karadja[41]

Anak ketiga Royantowale yaitu Lamaundu menikah dengan Saoda, anak pertama dari Bualera Rangimbulava dan cucu dari Tanggarumpu (Baso Kavola)[42]. Tanggarumpu merupakan anak keempat Datumpedagi (Langgo) dari istri pertamanya[43]. Setelah menikah, Lamaundu dan Saoda menetap di Tondo[44]. Mereka dikaruniai 11 orang anak yaitu Sonti, Tei, Andi Kinema, Puteh Intan, Andi Tjodai, Andi Linta, Ladjalante, Sukria, Datulolo, Dg. Manyappa, dan Sonti[45]. Sekitar tahun 1920an, Lamaundu mendirikan masjid pertama di Tondo[46]. Masjid ini selesai dibangun pada tahun 1930 dan diberi nama Al Istigfar. Imam pertama masjid ini adalah Mahajura dari Mamboro[47]

Anak ketiga Datumpedagi (Langgo) dari isteri pertama, yaitu Lasamalolo (Madika Bera) memiliki enam orang istri[48]. Dari istri pertama, ia dikaruniai tiga orang anak yaitu Yatjiara, Sesa, dan Taraondo[49]. Dari istri kedua ia dikaruniai satu orang anak yaitu Peraintan[50]. Dari istri ketiga ia dikaruniai dua orang anak yaitu Madjidjiri dan Uwatjino[51]. Dari istri keempat, ia dikaruniai satu orang anak yaitu Mainta[52]. Dari istri kelima, ia dikaruniai satu orang anak yaitu Lindoria[53]. Dari istri keenam ia dikaruniai dua orang anak yaitu Papa Malinda dan Pue Bao[54]. Total ada sepuluh orang anak dari keenam istri Lasamalolo. 

Yatjiara, anak pertama Lasamalolo dari istri pertamanya, menikah dengan Makaria Linggulembah, anak pertama Linggulembah dengan istri pertamanya yang bernama Yaserine[55]. Sesa, anak kedua Linggulembah dari istri pertamanya, menikah dengan Tariro Pengalembah, anak ke sembilan dari Pengalembah[56]

Anak keempat Datumpedagi (Langgo) dari istri pertamanya, yaitu Tanggarumpu (Baso Kavola)[57] memiliki dua orang istri[58]. Dari istri pertama yang bernama Dei[59], ia dikaruniai empat orang anak yaitu Pandolembah, Rangimbulava, Pampi, dan Dino Intan[60]. Anak keduanya yaitu Rangimbulava menikah dengan Kota Libu dan dikaruniai lima orang anak yaitu Tembarante, Yandimpero, Daratika, Tjinumpero, dan Bualera[61]. Anak Rangimbulava yang ketiga yaitu Daratika, menikah dengan Magau Palu yaitu Djanggola[62]. Mereka dikaruniai dua orang anak yaitu Intje Tasa dan Dg. Karadja[63]. Anak Rangimbulava yang keempat yaitu Tjinumpero, menikah dengan Daeng Malindu yang merupakan Madika Malolo Kerajaan Palu[64]. Anak bungsu Rangimbulava yaitu Bualera, menikah dengan Mahmud yang merupakan Madika Wajo[65]. Mereka dikaruniai lima orang anak, salah satunya adalah Saoda, istri dari Lamaundu[66]

Istri kedua Tanggarumpu (Baso Kavola) bernama Dg. Manuru Andi Tondra[67]. Ia merupakan anak ke empat dari Andi Tondra, seorang Madika Bone dan Dg. Pangipi (Madika Beli) yang merupakan Magau ke VI Tawaeli[68]. Saudara tertuanya yaitu Yangge Bodu, menjadi Magau ke VII Tawaeli[69] dan kakak keduanya yaitu Sopelembah menjadi Madika Malolo Kerajaan Tawaeli pada masa Yangge Bodu menggantikan Linggulembah[70].

Pernikahan Tanggarumpu (Baso Kavola) dan Dg. Manuru dikaruniai empat orang anak yaitu Djaelangkara (Magau ke VIII Tawaeli), Mutia Padjulembah (Madika Labe), Labulembah (Magau ke X Tawaeli) dan Wuri Kodi (mati muda)[71]

Djaelangkara memiliki lima orang istri yaitu Siti Djeha, Adi Bulava, dan Minukati (Madika Pewunu), Lumpi, dan Ino Dg. Marumu[72]. Dari istri pertamanya, Djaelangkara dikaruniai dua orang anak yaitu Borahima dan Tandisenga[73]. Dari istri kedua, Djaelangkara dikaruniai satu orang anak yaitu Lamakarate (Magau Sigi)[74]. Dari istri ketiga, Djaelangkara dikaruniai satu orang anak yaitu Pilarante (Madika Matua Sigi Dolo)[75]. Dari istri keempat, Djaelangkara dikaruniai tiga orang anak yaitu Lamakampali (Magau ke XII Tawaeli), Lamaturaga, dan Edi Bulava (istri dari Magau ke XI Tawaeli, Yoto Labulembah)[76]. Dari istri kelima, Djaelangkara dikaruniai satu orang anak yaitu Dg. Marumu[77]

Mutia Padjulembah (Madika Labe) menikah dengan Sitiara[78], anak dari Daepalaka (anak dari Nurudin Daesalembah, yang menjabat sebagai Madika Matua Sampaga Hiru Liku Tawaeli) dan I Vodjo (Madika Matua Tawaeli pada masa Magau Djaelangkara)[79]. Pernikahan ini dikaruniai dua orang anak yaitu Datu Mariu (Bunguma) dan Tjino Intan[80]. Tjino Intan kemudian dinikahkan dengan Sulelembah, anak ke tiga dari Labulembah, hasil pernikahannya dengan istri pertamanya[81]

Labulembah memiliki dua orang istri yang dua-duanya merupakan anak dari Musa Datu Pengalembah dan cucu dari Pengalembah dan Datumpedagi (Pue Oge Nganga)[82]. Istrinya yang pertama adalah Dg. Sima (Daesima) yang merupakan anak kedua dari Musa Datu Pengalembah[83]. Pernikahannya ini dikaruniai delapan orang anak yaitu Yoto Labulembah (Magau ke XI Tawaeli), Daya Intan (Istri Lamakarate), Sule (Suami Tjino Intan), Rawa Intan (Istri Borman Lembah, Madika Malolo pada masa pemerintahan Magau Labulembah, ibu dari Moh. Duddin Borman Lembah, Nenek dari Mochtar Lutfi Lembah, anggota DPRD Provinsi Sulawesi Tengah periode 2009-2014), Mangalaulu Labulembah (Kepala Distrik pertama di Kerajaan Tawaeli), Busa Bulava, Djamaluddin (Kepala Distrik Tawaeli Utara pertama), dan Radjadato[84].
Pernikahan keduanya dengan Indokera yang merupakan anak bungsu Musa Datu Pengalembah, dikaruniai empat orang anak yaitu Dg. Mabela, Dg. Malanti, Latandripapa, dan Dg. Paraga[85].

Kesimpulan
Dari runutan silsilah di atas, kita dapat melihat bahwa garis keturunan Vatutela, memiliki andil penting dalam sejarah perjalanan Kerajaan Tawaeli. Bahkan pengaruhnya meluas sampai ke Kerajaan Sigi, Kerajaan Sigi Dolo, dan Kerajaan Palu. Magau Kerajaan Tawaeli setelah Yangge Bodu, semuanya memiliki garis keturunan tersebut. Magau Sigi, Lamakarate, juga berasal dari garis keturunan yang sama. Seorang puteri bangsawan dari garis keturunan ini juga menikah dengan Magau Palu yaitu Djanggola. 

Jika kita melihat dari waktu kelahiran Datumpedagi (Pue Langgo) yang lahir pada masa yang sama dengan masa pemerintahan Magau Mariama (Magau Dusu)[86], kita dapat memperkirakan bahwa hubungan antara Kerajaan Tawaeli dan Kemadikaan Vatutela telah terjadi sejak sekitar abad ke pertengahan abad ke 17 dan awal abad ke 18. 

Namun, jika kita melihat lebih jauh ke silsilah Datumpedagi (Langgo) dari pihak ibu, kita melihat bahwa beliau berasal dari daerah Bale[87] yang notabene letaknya tidak begitu jauh dari Tawaeli dan sebelum peristiwa Kagegere (Kapapu nu Kayumalue), Bale adalah wilayah Kerajaan Tawaeli (Kumbili). Bale juga diketahui merupakan tempat tujuan migrasi orang-orang dari Uesama pada abad ke 15 selain Vatutela dan Poboya. 

Dari sini dapat kita lihat bahwa mungkin, sebelum Datumpedagi (Langgo) menikah dengan Daenggasia, anak dari Daetika Daesalembah di masa pemerintahan Daesalembah pada sekitar abad ke 17, telah terjadi interaksi antara Kerajaan Tawaeli dengan wilayah Vatutela.Vatutela bertransformasi dari sebuah hutan tempat berburu Magau I Parigi yaitu Makagero menjadi kawasan pemukiman yang telah ada sejak abad ke 15. Kawasan ini dihuni oleh orang-orang yang bermigrasi dari Uesama (kini Desa Binangga, Kabupaten Parigi Moutong). Migrasi ini juga terjadi di Bale dan Poboya. Hubungan yang jelas antara Vatutela dengan Kerajaan Tawaeli baru terlihat pada sekitar pertengahan abad ke 17 atau pada masa pemerintahan Magau Mariama (Magau Dusu), dengan menikahnya Daenggasia, anak dari Daetika Daesalembah dan cucu dari Daesalembah dengan Datumpedagi (Langgo), anak dari Woki, Madika Vatutela.

Pada masa pemerintahan Magau Yangge Bodu (1800-1900), Vatutela menjadi salah satu wilayah kekuasaan Kerajaan Tawaeli yang terbentang dari Ogoamas hingga Lasoani[88]. Setelah Magau Yangge Bodu wafat, ia digantikan oleh Djaelangkara, anak dari Tanggarumpu (Baso Kavola) dan cucu dari Datumpedagi (Langgo). Seterusnya secara berurutan, Kerajaan Tawaeli diperintah oleh Magau yang memiliki garis keturunan dari Datumpedagi (Langgo). 

Bukti ini seakan membuat orang tidak percaya bahwa Vatutela, sebuah dusun kecil di pinggir Kelurahan Tondo, ternyata memiliki peran besar dalam sejarah perjalanan Kerajaan Tawaeli dan kerajaan-kerajaan lain di tanah Kaili seperti Kerajaan Palu, Sigi, dan Sigi Dolo. Ini membuktikan bahwa sebuah wilayah kecil dapat mempengaruhi sebuah wilayah yang besar. 


[1] Yangge Bodu (Magau Punggu) adalah Magau ke VII Kerajaan Tawaeli. Ia memerintah dalam kurun waktu antara 1800-1900.
[2] Silsilah Kita Santina, Hal. 26
[3] Ibid, Hal. 26
[4] Ibid, Hal. 50
[5] Ibid
[6] Ibid
[7] Silsilah Kita Santina, Hal. 26
[8] Ibid
[9] Ibid
[10] Ibid
[11] Ibid
[12] Ibid, Hal. 53
[13] Ibid, Hal 26
[14] Ibid, Hal. 26
[15] Ibid, Hal 26. Lihat juga hal. 17.
[16] Ibid, hal. 2
[17] Ibid, hal. 52-53
[18] Ibid, hal. 52
[19] Ibid
[20] Ibid, hal. 27. Lihat juga hal. 17.
[21] Ibid, hal. 27. Tumpalembah adalah anak dari Magau Yangge Bodu dan Rawe Intan (istri kedua). Lihat hal. 2 dan 3.
[22] Ibid, hal. 53
[23] Ibid, hal 27. Lihat juga hal. 6, 8, dan 9. 
[24] Ibid
[25] Pernikahan “ganti tikar” dalam adat istiadat kaili adalah jika seorang laki-laki yang istrinya telah meninggal dunia, menikahi saudara perempuan dari istrinya tersebut.
[26] Silsilah Kita Santina, hal. 26. Lihat juga hal. 32.
[27] Ibid, hal. 53.
[28] Ibid.
[29] Lihat hal. 32 dan 34
[30] Silsilah Kita Santina, hal 34.
[31] Silsilah Kita Santina, hal. 34
[32] Ibid. Lihat juga hal. 46.
[33] Hasil transliterasi wawancara dengan Muslima (Tokoh Masyarakat Vatutela), 22 Juni 2014, pukul 19.30 WITA.
[34] Ibid, hal. 46.
[35] Silsilah Kita Santina, hal 34. Lihat juga hal. 46
[36] Ibid, hal. 46
[37] Hasil transliterasi wawancara dengan Muslima (Tokoh Masyarakat Vatutela), 22 Juni 2014, pukul 19.30 WITA.
[38] Silsilah Kita Santina, hal. 34. Lihat juga hal. 46, Yodi merupakan istri kedua Mangalaulu Labulembah. Lihat hal 9.
[39] Ibid, hal 8 dan 9.
[40] Ibid, hal. 53.
[41] Ibid, hal. 34.
[42] Ibid, hal. 34. Lihat juga hal. 37.
[43] Ibid, hal. 26
[44] Hasil transliterasi wawancara dengan Muslima (Tokoh Masyarakat Vatutela), 22 Juni 2014, pukul 19.30 WITA.
[45] Silsilah Kita Santina, hal. 34 dan 37.
[46] Hasil transliterasi wawancara dengan Muslima (Tokoh Masyarakat Vatutela), 22 Juni 2014, pukul 19.30 WITA.
[47] Ibid.
[48] Silsilah Kita Santina, hal. 35.
[49] Silsilah Kita Santina, hal. 26. Lihat juga hal. 35.
[50] Ibid, hal. 26
[51] Ibid.
[52] Ibid.
[53] Ibid.
[54] Ibid.
[55] Ibid, hal. 32. Lihat juga hal. 35.
[56] Ibid, hal. 35. Lihat juga hal. 26 dan 31.
[57] Ibid, hal. 38. Lihat juga hal. 6. 
[58] Ibid, hal. 26.
[59] Ibid.
[60] Ibid.
[61] Ibid, hal 37.
[62] Ibid, hal. 37. Lihat juga hal. 44. Daratika merupakan istri kedua Djanggola.
[63] Ibid, hal. 37 dan 44.
[64] Ibid, hal. 37.
[65] Silsilah Kita Santina, hal. 37.
[66] Ibid. Lihat juga hal. 34.
[67] Ibid, hal. 38. Lihat juga hal. 6.
[68] Ibid, hal. 2.
[69] Ibid, hal. 2 dan 53.
[70] Ibid. Hal. 2. Lihat juga hal. 54.
[71] Ibid, hal. 2. Lihat juga hal. 6, 26, dan 38.
[72] Ibid, hal. 38. Lihat juga hal. 6.
[73] Ibid.
[74] Ibid.
[75] Ibid.
[76] Ibid.
[77] Ibid.
[78] Ibid, hal. 6 dan 38. Lihat juga hal. 25.
[79] Ibid, hal. 25.
[80] Silsilah Kita Santina, hal. 6, 25, dan 38.
[81] Ibid.
[82] Ibid, hal. 6. Lihat juga hal. 27 dan 38.
[83] Ibid.
[84] Ibid. Lihat juga hal. 5, 7, 8, 9, 10,  dan 17.
[85] Ibid, hal. 6. Lihat juga hal. 27 dan 38.
[86]Perkiraan ini dibuat berdasarkan silsilah bahwa Datumpedagi (Langgo) memperistri anak Daetika Daesalembah yaitu Daenggasia. Kemungkinan besar, ibu dari Datumpedagi (Langgo) yaitu Woki, yang menjadi Madika Vatutela, sezaman dengan Magau Mariama yang memerintah pada pertengahan abad ke 17.  
[87] Bale terletak di sebelah timur Kelurahan Kayumalue Ngapa dan Pajeko. Kawasan ini masuk dalam daerah administratif Kecamatan Tanantovea, Kabupaten Donggala.
[88] Silsilah Kita Santina, hal. 54.

Post a Comment

6 Comments

  1. Silsilah santina kmi ada di rangimbulawa basokavola

    ReplyDelete
    Replies
    1. Kami juga dari Rangibulava Baso Kavola yang anaknya Bualera

      Delete
  2. Mohon Bantuannya untuk menjelaskan Silsilah Madusila atau Pue Nggalevo, karena saya bermarga Madusila, Karena hampir semua Saudara Bapak saya yang bermarga Madusila tidak ada satupun yang tau sejarah Persisnya. sejarahn Kakek ini seperti hilang tertelan massa, Runut Cerita sejarah Marga ini bermula dari Kerjaan Buol yang meminta bantuan ke Kerajaan di Palu (tidak ada cerita pastinya dari kerajaan Mana) pada saat itu Kerajaan Buol sementara berperang dengan kerajaan Toli2, maka kerajaan di Palu mengirimkan 3 Orang dan salah satunya Kakek saya (madusila)dan sejarah ini diakui oleh pihak kerajaan Buol, dan masih meninggalkan jejak sejarah dengan diberikannya penghargaan dari kerajaan Buol tanah yang sangat luas di Desa Lakea I (desa yang berdekatan dengan perbatasan tolitoli saat ini) dikarenakan berhasil memukul mundur pasukan kerajaan Tolitoli. saya mengetahui banyak cerita ini dari Marga Ibu saya, yang masih dekat dengan marga kerajaan Buol, Mohon Infonya.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Madusila Datumpedagi (Pue Nggalevo), merupakan anak dari Datumpedagi (Pue Oge Nganga) dan Dg Rino. Datumpedagi sendiri merupakan anak dari Magau Palu, I Dato Labugulili dan Taopa, anak dari Bulangisi (Dg Kondang) penyebar islam di Tawaeli.
      Madusila memiliki beberapa saudara antara lain Lope, Tjara, Dadawa, Djokodi, Dg Sirua dan Nyili. Ayah dari Madusila yakni Datumpedagi, merupakan Madika Matua Tawaeli yang dilanjutkan oleh anaknya, Dg Sirua.
      Madusila menikah dengan Ino Tjandora dan menurunkan Tjandora dan Palampanga. Dari istri kedua yakni Atimaya, menurunkan Lamangkau.

      Delete
  3. Kampung binangga pondo dan pomenen ngga masuk bang, dan sejarah adat mpovurakenya lhoo

    ReplyDelete