Membaca Dato Karama Lewat Politik Memori

Membaca Dato Karama Lewat Politik Memori

Pengantar

Ingatan masyarakat tentang masa lalu seringkali menjadi hal yang menarik untuk ditelaah. Ingatan (baca: memori) tersebut adalah hasil “pembacaan” masyarakat terhadap suatu momen atau peristiwa. Untuk mengkaji lebih jauh mengenai ingatan sosial yang yang terdapat di masyarakat, dibutuhkan sebuah pendekatan. Salah satu pendekatan yang dapat digunakan adalah politik memori. Politisasi memori dapat dilihat dari adanya simbolisasi sebuah moment, peristiwa, atau tokoh dengan wujud kebendaan, pola pewarisan memori, mengingat dan melupakan, dan pematahan ingatan. 

Satu hal yang tidak diketahui oleh banyak orang, bahwa setiap pembangunan atau penamaan sebuah simbol difungsikan untuk mengingat peristiwa, atau tokoh yang memiliki pengaruh yang luas di daerah tersebut. Namun, pada akhirnya, peristiwa-peristiwa dan tokoh-tokoh penting  di sekitar peristiwa atau tokoh utama menjadi tidak tersampaikan. 

Persoalan ingatan merupakan persoalan pokok dalam konsepsi politik memori. Dalam pembacaan peristiwa atau ketokohan, ada ingatan yang terbelah, karena pada saat yang bersamaan, orang akan mengingat dan melupakan sesuatu tanpa disengaja. 

Sejarah lokal Sulawesi Tengah sebagai sebuah manifestasi dari ingatan masyarakat mengenai peristiwa dan tokoh, belum sepenuhnya menghadirkan masa lalu sebagai suatu kesatuan yang utuh. Hal tersebut dipengaruhi oleh pola pewarisan ingatan yang berkembang di masyarakatnya. Budaya bertutur yang berkembang di Sulawesi Tengah menjadi sebuah alasan mengapa sejarah lokal Sulawesi Tengah masih sulit untuk menjadi satu kesatuan yang utuh. Belum ada penulisan secara menyeluruh tentang konteks kelokalan Sulawesi Tengah tersebut. 

Tuturan-tuturan yang ada belum sepenuhnya berubah menjadi bahasa tulis. Keyakinan yang paling mendasar akan pentingnya tuturan diubah menjadi bahasa tulis adalah bahwa tulisan lebih lama untuk dinikmati, daripada tuturan. Tuturan biasanya berakhir bersama dengan penuturnya. Olehnya itu, tuturan perlu dituliskan oleh para penulis dari disiplin ilmu manapun.

Dalam setiap tuturan yang dituturkan, biasanya selalu diliputi dengan selubung pemitosan di dalamnya. Pemitosan ini terjadi sebagai penanda bahwa keadaan alam pikiran masyarakat belum mampu merasionalkan peristiwa yang terjadi. Keadaan ini menjadikan sebuah peristiwa sejarah berada di ambang batas antara mitos dan realita. 

Salah satu contoh pemitosan dalam sejarah lokal Sulawesi Tengah adalah proses kedatangan Syekh Abdullah Raqie, atau yang lebih dikenal dengan gelar Dato Karama di lembah Palu untuk menyiarkan Islam. Dato Karama datang ke Sulawesi Tengah pada abad ke 17. Dato Karama adalah seorang ulama dari tanah Sumatera, Minangkabau. Dato Karama memiliki nama lengkap Syek Abdullah Raqie. Masyarakat Sulawesi Tengah lebih mengenalnya dengan Dato Karama. Sebagai seorang penyebar agama Islam pertama di tanah Kaili.

Ada dua versi kedatangan Dato Karama ke Sulawesi Tengah. Pertama, dari Ternate melalui Parigi ke Palu.[1] Ada dua jalur yang dapat dilihat dari sini. Dato Karama datang melalui Ternate ke Banggai lalu ke Parigi dan kemudian ke Palu. Jalur lainnya yaitu melalui Ternate, Gorontalo, Buol, Teluk Tomini, Parigi dan berakhir di Kota Palu. Kedua, Dato Karama tiba di Sulawesi Tengah langsung dari Sumatera. Ia datang ke Teluk Palu dengan menggunakan perahu bersama pengikut-pegikutnya kurang lebih lima puluh orang. Perjalanan Dato Karama meninggalkan Sumatera disebabkan oleh suatu pertikaian antara keluarga, mereka meninggalkan tanah kelahirannya dan bermaksud menyebarkan agama Islam disebelah Timur.[2]

Masa kedatangan Dato Karama ke Lembah Palu bersamaan dengan tiga orang Datuk yang juga datang dari tanah Minangkabau. Ketiga orang Datuk itu terdiri dari Datuk Ri Bandang, Datuk Di Tiro dan Datuk Patimang. Mereka datang ke timur Indonesia merupakan utusan dari Sultan Iskandar Muda (Aceh) dengan tujuan menyiarkan Islam di wilayah timur Nusantara.[3] Kedatangan mereka menuju Sulawesi tepatnya di Sulawesi Selatan. Di daerah ini mereka berpisah dengan tujuan membagi daerah syiar masing-masing. Datuk Ri Bandang menuju daerah Gowa, Takalar, Jeneponto dan Bantaeng. Datuk Patimang mendapat daerah Luwu, Suppa, Soppeng dan Wajo. Sedangkan Datuk Ri Tiro menuju ke daerah Bulukumba, Tiro, Bantaeng dan Tanete.

Berbeda dengan ketiga datuk diatas yang datang tidak membawa sanak saudara, Dato Karama datang ke Sulawesi Tengah membawa serta istri yang bernama Ince Jille, iparnya bernama Ince Saharibanong, dan seorang anaknya bernama Ince Dingko. Kedatangan Dato Karama beserta rombongan jelas menjadi pertanyaan bagi masayarakat Sulawesi Tengah, terutama masyarakat Lembah Palu yang merupakan daerah awal yang dipijaki oleh tokoh Islam ini. Tidak dapat dipungkiri hingga saat ini masyarakat selalu menghubungkan peristiwa mistis dengan kedatangan sang tokoh Islam tersebut. Nama Dato Karama diberikan oleh masyarakat Sulawesi Tengah untuk menandai peristiwa aneh ini. Ia datang meggunakan perahu berjenis Kora-Kora. Mereka datang dengan alat-alat kebesarannya seperti Bendera Kuning, Panji Orang-Orangan, Puade, Jijiri, Bulo, Gong, dan Kakula (Kulintang).

Dato Karama tiba di Lembah Palu disambut oleh seorang raja Kabonena bernama Parasila atau Pue Njidi dan seorang bangsawan lembah Palu bernama I Moili atau Pue Bongo. Data Karama beserta rombongan disambut baik di Lembah Palu. Bersama Pue Njidi dan Pue Bongo, Dato Karama mulai menjelaskan maksud kedatangan dan memberitahu tentang Islam. Meski diperkirakan Islam telah mulai berkembang saat Dato Karama tiba di Palu. Kedua orang diataslah yang pertama memeluk Islam di Lembah Palu. Kabar berita masuknya Islam kedua bangsawan ini begitu cepat tersebar di masyarakat Lembah Palu dan akhirnya masyarakat mengikuti jejak keduanya. Sambutan hangat masyarakat kota Palu diterima oleh keturunan Minangkabau tersebut.

Proses perkembangan kegiatan Islam yang dilakukan oleh Dato Karama berpusat pada sebuah Surau atau Langgar. Surau atau Langgar didirikan atas dukungan masyarakat (penduduk) sekitar. Sejalan perkembangannya Surau berubah menjadi Masjid setelah diadakan renovasi terhadap bangunan dan perluasan dalam maupun halaman Masjid. Masjid peninggalan ini diberi nama masjid Jami’ dan berada di wilayah kelurahan Kampung Baru sekarang di Kota Palu. Inilah pusat aktivitas penyebaran Islam di Lembah Palu pada waktu itu. Hingga kini mesjid itu masih berdiri gagah nan megah di Kampung Baru dan menjadi kebanggaan Kota Palu. Mesjid ini sudah beberapa kali mengalami renovasi dan hingga kini masih tegak berdiri.

Selain bukti jejak Islam yang dibawa oleh Dato Karama, Mesjid Jami’ juga merupakan bukti begitu terbukanya masyarakat kota Palu dengan orang asing seperti Dato Karama. Apalagi Dato Karama sering dihubungkan dengan peristiwa mistis. Hal ini dapat dilihat dari gelar yang diberikan oleh masyarakat Lembah Palu terhadap tokoh Penyiar Islam di Sulawesi Tengah ini. Datu Karama memiliki arti Datuk Keramat dengan nama asli Abdullah Raqie dengan gelar Syekh menjadi Syekh Abdullah Raqie. Keramat yang dimaksud masyarakat jelaslah berhubungan dengan kedatangan dan asal usulnya yang misterius. Teka teki kedatangan dan asal usul Dato Karama masih terus berkembang dalam masyarakat Kota Palu. 

Kemisteriusan tokoh yang satu ini disebabkan oleh belum adanya kajian menyeluruh tentang sosoknya. Hal ini dikarenakan kehadirannya sebagai penyebar islam di lembah Palu diselubungi dengan berbagai pemitosan. Cerita berselubung mitos itulah yang kemudian dituturkan secara turun temurun kepada masyarakat. Pola pewarisan ingatan melalui tuturan inilah yang melanggengkan selubung misteri pada kisah sang ulama penyebar islam tersebut. 

Lewat penuturan tersebutlah, sosok Dato Karama dikenal oleh masyarakat Sulawesi Tengah sebagai ulama yang pertama kali menyebarkan islam di lembah Palu. Gelar “karamah” yang melekat pada dirinya adalah bukti pewarisan ingatan yang dilakukan oleh masyarakat sejak turun temurun. Namun, pola pewarisan ingatan lewat tuturan inirentan terhadap proses pelupaan terhadap sebagian atau mungkin seluruh cerita di sekitar peristiwa utama. 

Indikasi ini muncul karena belum ada kajian menyeluruh tentang sosok Dato Karama yang menghadirkan sosoknya secara utuh, terlepas dari berbagai pemitosan yang melekat pada sosoknya. Hal ini penting sebagai upaya untuk merawat ingatan tentang peristiwa-peristiwa di sekitar sosok dato Karama tersebut. 

Menurut Haliadi Sadi, periode kedatangan Dato Karama untuk menyiarkan islam di lembah Palu adalah periode mitologis dalam sejarah perkembangan islam di lembah Palu khususnya, dan Sulawesi tengah pada umumnya. Ia membagi periodisasi perkembangan islam menjadi tiga periode yaitu periode mitologi, periode ideologi dan periode ilmu pengetahuan. Periodisasi tersebut muncul sebagai hasil pengamatannya terhadap aktor penyebaran islam dan tinggalan-tinggalan yang dihasilkan di setiap periode. 

Kehadiran Dato Karama dalam sejarah lokal Sulawesi Tengah dimanifestasikan pula dalam bentuk simbolisasi. Simbolisasi ini adalah upaya untuk merawat ingatan terhadap sosok tersebut. Upaya merwat ingatan tersebut dilakukan dengan berbagai cara. Salah satu cara yang paling sering dilakukan adalah dengan menyematkan nama sang tokoh sebagai simbol suatu pada gedung, jalan, hingga taman. 

Penyematan nama Datokarama sebagai simbol penanda pada beberapa tempat di Kota Palu merupakan manifestasi dari pola pewarisan memori yang dilakukan secara turun-temurun. Pola tersebut menyebabkan ingatan tentang tokoh tersebut menjadi langgeng. Namun, peristiwa-peristiwa penting di sekeliling tokoh kadang menjadi tidak tersampaikan. 

Sejauh ini sudah ada tiga tempat yang menggunakan nama tokoh tersebut sebagai simbolnya. Tiga tempat tersebut antara lain adalah Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Datokarama, yang kini telah berubah menjadi IAIN Palu, Jalan Abdullah Raqie, yang terletak tepat di samping STAIN Datokarama, dan yang terbaru adalah Taman Datokarama yang terletak di sekitar teluk Palu. 

Selain tiga tempat yang menyematkan nama Dato Karama atau Abdullah Raqie sebagai identitasnya, ada beberapa tempat yang menjadi peninggalan sejarah tentang sosok Dato Karama. Tempat-tempat tersebut antara lain adalah Masjid Jami yang terletak di Kampung Baru sebagai satu-satunya peninggalan sejarah yang ditinggalkan oleh sang ulama, dan makam Dato Karama yang terletak di Jalan Selar, Kelurahan Lere, Kecamatan Palu barat, Kota Palu.   

Cerita mengenai penamaan, sejarah dan cerita di tempat-tempat tersebut menjadi hal yang menarik untuk dilihat. Terutama, kehadiran tempat tersebut sebagai penanda serta pola pewarisan memori yang melekat pada tempat-tempat tersebut. 

STAIN Dato Karama: Identitas yang Kini Tinggal Kenangan
Nama adalah perwujudan sebuah identitas yang melekat sebagai simbol. Melalui nama, orang akan lebih mudah mengenali sebuah simbol dan identitas yang melekat bersamanya. Ketika sebuah nama sudah melekat kepada sebuah simbol hingga menyatu menjadi sebuah kesatuan, pergantian nama terkadang menjadi sesuatu yang tidak lumrah dan butuh waktu untuk kembali membangun identitas. 

Salah satu yang mengalami hal tersebut adalah STAIN Dato Karama Palu. Simbol ketokohan Dato Karama yang sudah terlanjur melekat pada identitas salah satu institusi pendidikan tinggi islam berstatus negeri ini, harus rela “dilepaskan” karena terganjal pada aturan dan demi meloloskan prasyarat untuk beralih status menjadi IAIN. 

Menarik untuk membicarakan sejarah dari institusi pendidikan islam ini dengan berbagai kisah menarik di sekelilingnya. Institusi pendidikan yang satu ini telah melalui berbagai macam peristiwa dalam perkembangannya. Jatuh bangunnya menjadi romansa tersendiri dalam perjalanannya menjadi satu-satunya institusi pendidikan islam negeri di Sulawesi Tengah. 

Perjalanan institusi pendidikan yang sekarang bernama IAIN Palu ini bermula pada medio Mei 1966, ketika beberapa tokoh cendekiawan muslim Sulawesi Tengah, baik dari kalangan pemerintahan, perguruan tinggi, instansi pemerintah, ulama dan zu’ama, memprakarsai pembentukan sebuah institusi pendidikan islam negeri dengan membentuk satu kepanitiaan yang diberi nama Panitia Persiapan Pendirian IAIN Dato Karama Palu.[4]

Adapun struktur dan personalia dari kepanitiaan tersebut adalah sebagai berikut: 

Ketua                          : Abidin Ma’ruf, S.H.
Wakil Ketua                : K.H. Zainal Abidin Betalembah
Sekretaris                    : Abu Naim Syaar B.A.
Wakil Sekretaris          : Isma’un Dg. Marotja
Bendahara                   : Ds. H.M. Ridwan

Anggota:
1.      Pati Bidin
2.      Drs. Andi Matalatta S.
3.      Drs. H.F. Tangkilisan
4.      Drs. Bochari
5.      K.H. Abdul Muthalib Thahir
6.      Syahrul
7.      Zainudin Abd. Rauf
8.      Muhtar Tadj
9.      Rusdi Toana
1-.  Zuber. S. Garupa
1-.  Arsyad Parimpi

Dari struktur kepanitiaan ini dapat kita lihat bahwa kepanitiaan diisi oleh bebrapa tokoh penting seperti K.H. Zainal Abidin Betalembah, Rusdi Toana, Zainudin Abd Rauf, dan K.H. Abdul Muthalib Thahir. Susunan kepanitiaan ini juga menggambarkan keterwakilan ormas islam di Sulawesi Tengah seperti Alkhairaat, Muhammadiyah, dan NU. 

Berkat jalinan kerja sama dengan IKIP Ujung Pandang Cabang palu dan Universitas Tadulako Cabang UNHAS di palu, serta dukungan moril dan materil yang diberikan oleh pemerintah daerah, panitia tersebut berhasil membuka dua fakultas sekaligus yaitu Fakultas Tarbiyah yang dipimpin oleh K.H. Zainal Abidin Betalembah selaku dekan dan Drs. Buchari selaku wakilnya, serta Fakultas Ushuluddin yang dipimpin oleh K.H. Qasim Maragau dan Drs. H.F. Tangkilisan sebagai wakilnya. 

Berdiri dan beroperasinya dua fakultas tersebut merupakan pilar awal persiapan dan perjuangan mewujudkan berdirinya IAIN Dato Karama Palu. Respon masyarakat pun ternyata sangat positif, terbukti pada awal penerimaan mahasiswa baru, jumlah mahasiswa yang mendaftar kurang lebih berjumlah 125 orang yang kemudian menjadi mahasiswa pada kedua fakultas tersebut pada tahun akademik 1966/1967.

Dalam upaya mewujudkan beridirinya IAIN Dato Karama Palu, lobi dari para pengusaha pun tak henti dimajukan ke pusat guna menggapai tujuan. Namun usaha tersebut selalu terbentur dengan peraturan perundang-undangan serta berbagai persyaratan akademik. Panitia tidak kehilangan akal dan mencoba menghadap kepada Menteri Agama. Atas arahan Menteri Agama, ketika itu dijadikanlah kedua fakultas tersebut sebagai filial dari IAIN Alauddin Ujung Pandang. 

Pada tahun 1997, dengan diterbitkannya KEPPRES No. 11 tahun 1997 tentang pendirian sekolah tinggi agama islam negeri, maka seluruh fakultas cabang dari 14 IAIN yang ada di Indonesia dengan sejumlah fakultas yang tersebar di berbagai daerah secara otomatis beralih status menjadi STAIN, termasuk fakultas Tarbiyah dan fakultas Ushuluddin IAIN Alauddin cabang Palu. 

Sebagai tindak lanjut dari KEPPRES tersebut, Menteri Agama RI mengeluarkan surat keputusan No. 303 tahun 1997 tentang organisasi tata kerja STAIN dan surat keputusan No. 336 tahun 1997 tentang statuta STAIN Palu. Untuk pengaturan alih status dari fakultas daerah menjadi STAIN, Ditjen Bimbaga Islam mengeluarkan surat keputusan No E 136 tahun 1997 tentang pedoman pengalihan status tersebut.

Konsekuensi logis dari peralihan status tersebut berdasarkan seperangkat aturan seperti yang disebutkan di atas, maka Fakultas Tarbiyah berubah menjadi jurusan Tarbiyah dengan tiga program studi yaitu; Pendidikan Agama islam, Pendidikan Bahasa Arab, dan Kependidikan Islam. Fakultas Ushuluddin berubah menjadi jurusan Ushuluddin dengan tiga program studi yaitu; Aqidah Filsafat, Tafsir Hadits dan Perbandingan Agama.      

Sesuai kewenangan yang diberikan bagi STAIN untuk dapat membuka jurusan baru dalam rangka pengembangan, maka Sekolah Tinggi Ilmu Syari’ah dari Yayasan Pendidikan Dato Karama yang langsung dibina oleh IAIN Alauddin di Palu sejak tahun 1995, kemudian diitegrasikan dengan STAIN Palu dan menjadi jurusan Syari’ah dengan dua program studi yaitu; Muamalah dan Perbandingan Mahzab/Hukum. 

Nama Yayasan Dato Karama kemudian diabadikan menjadi nama STAIN Palu berdasarkan keputusan senat STAIN Palu tanggal 24 November 1997 dengan pertimbangan bahwa nama Dato Karama memiliki nilai historis sebagai tokoh syiar islam pertama di Lembah Palu. Nama tersebut juga adalah nama yang diperjuangkan untuk menjadi nama institusi pendidikan islam negeri pertama di Kota Palu sejak tahun 1966.
Secara kelembagaan, peralihan status tersebut cukup merugikan dari sisi eselonisasi pimpinan lembaga, namun di sisi lain sangat memberikan prospek yang lebih cerah. Dengan peralihan status tersebut, STAIN Dato Karama Palu memliki otonomi penuh baik dalam pengelolaan ketenagaan, keuangan, sarana dan fasilitas, maupun dalam pengembangan mutu akademiknya. 

Di samping itu, sangat dimungkinkan untuk menyelenggarakan program studi yang bervariasi sehingga dapat menampung minat masyarakat yang beragam dalam kajian keislaman. 

STAIN Datokarama kemudian berkembang pesat dan memiliki 4 jurusan diantaranya; 

1.  Jurusan Tarbiyah dengan program studi Pendidikan Agama Islam, Pendidikan Bahasa Arab, dan Kependidikan Islam. 
2.      Jurusan Ushuluddin dengan program studi Aqidah Filsafat, Tafsir Hadits.
3.      Jurusan Syari’ah dengan program studi Muamalah, Perbandingan Mahzab, dan Peradilan.
4.      Jurusan Dakwah dengan program studi Komunikasi dan Penyiaran Islam, Bimbingan Konseling Islam. 

Pada tahun 2013, STAIN Datokarama Palu berubah status menjadi Institut Agama Islam Negeri (IAIN). Perubahan ini berdampak pada hilangnya nama Dato Karama sebagai identitas institusi pendidikan tersebut. Hal tersebut dikarenakan penamaan Dato Karama hanya disahkan dengan SK Menteri Agama RI sedangkan status IAIN disahkan melalui KEPPRES. Selain itu, untuk menambahkan nama tokoh pada nama institusi pendidikan, perlu ada pengujian kelayakan tokoh tersebut. Karena kajian mengenai sosok Dato Karama belum banyak dan masih berkutat dengan pemitosan serta fakta sejarah yang minim membuat IAIN tersebut harus merelakan diri untuk menanggalkan identitas yang telah mereka sandang sejak tahun 1966 tersebut dan menggunakan nama IAIN Palu. 

Taman Dato Karama: Apresiasi Pemerintah Kota Palu
Taman Datokarama berlokasi di Jalan Cumi-Cumi, Kelurahan Lere, Kecamatan Palu Barat. Taman Dato Karamah bertempat di kawasan Taman Ria. Taman ini berdekatan dengan hotel Mercure, kampus IAIN, Grand Mall, Kawasan Rekreasi Taman Ria, dan juga berdekatan dengan makam Dato Karama. Taman Dato Karama terletak tidak jauh dari pusat kota. Jika dihitung dari titik nol kilometer yang berada di Jalan Sultan Hasanuddin, jarak tempuh menuju taman tersebut berkisar kurang lebih 5 hingga 8 menit. 

Taman ini memiliki luas sekitar 9700 meter persegi. Perencanaan pengerjaan tim P2KH seluas 5000 meter persegi ditambah dengan bantuan dari pemilik Hotel Silk Stone sebesar 1000 meter persegi sehingga total pengerjaan taman tersebut seluas 6000 meter persegi. 

Konsep perencanaan taman tersebut mengadopsi konsep RTH (ruang terbuka hijau) yang diimplementasikan dengan membangun taman yang didominasi oleh ruang hijau dengan memanfaatkan vegetasi-vegetasi lokal yang disukai hewan seperti burung, kupu-kupu, dan lainnya. 

Untuk pengerasan jalan digunakan grass block agar lokasi RTH mampu menyerap air hujan. Untuk bentuk fisik, taman ini mengadopsi konsep Green Transportation yaitu di dalam DED akan ada area parkir kendaraan bermotor, trotoar untuk pejalan kaki, jogging track, serta rute sepeda.
 
Taman Dato Karama mengusung tema ramah lingkungan. Bangunan yang direncanakan antara lain pergola, pos jaga serta toilet dengan tanaman rambat diatasnya, dan banyak memanfaatkan limbah daur ulang, seperti untuk bangku taman akan memanfaatkan bekas dari pagar beton, daur ulang ember bekas cat.

Salah satu atribut yang dikembangkan dalam Taman Dato Karama yakni Green Water yaitu sistem penyerapan air hujan sebanyak-banyaknya untuk mengantisipasi banjir. Selain itu di dalam taman ini ditambahkan pencegahan genangan air dan pompa tenaga surya untuk penyiraman tanaman sehingga petugas tidak kesulitan.

Penamaan Dato Karama pada taman tersebut merupakan hasil kesepakatan pemerintah daerah. Tujuannya adalah memberi apresiasi kepada sosok Dato Karama yang merupakan tokoh penyebar agama Islam pertama di Kota Palu.

Masjid Jami’: Simbol Islam Tertua Di Kota Palu
Perkembangan Islam di Kota Palu masih mengalami perbedaan pendapat dari para ahli. Perbedaan itu sangat jelas terutama dalam proses masuknya agama dari tanah Arab tersebut. Data sejarah (periode tersebut) yang tersedia belum mampu mengungkapkan secara detail. Sumber yang dapat diperoleh hanyalah melalui oral history. Sumber tulisan sangat sulit didapatkan. Secara umum bagian Indonesia Timur budaya tulis tidak berkembang seperti daerah Jawa. Satu-satunya daerah yang memiliki budaya tulis hanyalah Sulawesi Selatan yang dikenal dengan lontara. Di Sulawesi penulisan mulai dilakukan oleh orang Belanda, Alb. C. Kruijt, di akhir abad XIX.

Dalam meminimalisir keterbatasan penulisan diatas, dapat dilakukan penelitian terhadap sumber artefak atau benda. Bentuk artefak dapat membantu menjelaskan suatu peristiwa penting. Meski sumber ini tidak dapat berbicara, melalui analisis terhadap benda dan hasil wawancara akan diperoleh suatu data yang dapat membantu dalam mengungkap rentetan suatu peristiwa.

Mengenai Islam Kota Palu sumber artefak yang tertua adalah Masjid Jami’. Masjid Jami, merupakan simbol Islam terutama yang dibawa oleh Syeikh Abdullah Raqie. Masjid Jami’ didirikan di awal abad XX tepatnya tahun 1812 Masehi. Awalnya masih berbentuk langgar atau surau. Alokasi surau terletak di Kelurahan Baru Kota Paliu diatas tanah seorang dermawan, Haji Borahima atau dikenal Pue Langgai. Pue Langgai menyediakan lahan sebesar 9m X 9m. Tanah tersebut telah diwakafkan untuk perkembangan mesjid.

Semakin lama pemeluk agama islam kota Palu semakin bertambah. Sedangkan sarana ibadah yang ada saat itu hanyalah surau tersebut. Besar surau tidak dapat menampung jumlah jamaah yang ada. Berdasarkan kenyataan tersebut, pengurus masjid memutuskan agar melakukan perluasan. Selain itu diadakan pula rehabilitasi terhadap bangunan. Hingga saat ini masjid Jami, telah mengalami beberapa rehabilitas ringan hingga rehabilitasi total.

Pada tahun 1930, masjid mengalami rehabilitasi total terhadap luas tanah dan bangunan. Luas tanah yang awalnya 9x9 bertambah masing-masing 11m menjadi 20m x 20m. Fungsi surau akhirnya berubah menjadi mesjid dan dapat digunakan untuk sholat Jum’at. Dan pada bulan ramadhan telah dapat digunakan untuk sholat Tarwih. Perubahan terhadap fisik masjid terus dilakukan demi menambah kenyamanan dalam beribahah. Teras-teras samping kiri dan kanan bertambah luas masing-masing dengan lebar 2,5m. Penambahan teras dilakukan di tahun 1953. Di tahun ini hanya teraslah yang mengalami penambahan. 

Pembangunan masjid dilakukan kembali pada tahun 1962. Tahun ini dilakukan pemasangan lantai dengan tegel pada seluruh lantai masjid. Dana pemasangan tegel diberikan oleh seorang pedagang di pasar Palu (pasar Bambaru Palu sekarang), H. Lasulo atau Ambo Sulo. Pemberian seorang dermawan ini setidaknya sedikit membantu meringankan pembangunan masjid yang terhambat selama delapan tahun. Bagian atas masjid atau Kuba dilakukan pergantian dengan menggunakan seng plat di tahun 1968.

Meski telah dilakukan perluasan dan pemugaran terhadap luas serta bangunan mesjid tidak serta membuat pembangunan dihentikan. Bahkan rehabilitasi totalpun dilakukan. Di tahun 1992 pembongkaran dan pembangunan baru dengan memperluas ukuran bangunan bertambah 5m, menjadi 25x25m. Tidak hanya terhadap luas dalam mesjid, perluasan juga terhadap teras dengan masing-masing, samping kanan menjadi 2,75m, samping kiri menjadi 2,50m, dan 2,5m di bagian belakang. Semakin hari jamaah yang berdatangan semakin banyak terutama pada sholat Tarwih di bulan Ramadhan. Maka dilakukan pembuatan lantai dua. Lantai dua dikhususkan untuk jamaah wanita. Kubah masjid yang terbuat dari seng diganti dengan beton. Pada halaman masjid dilakukan pelebaran terutama dibagian selatan. Untuk menambah kenyamanan masjid maka dilakukan pembuatan pagar keliling. Rehabilitasi di tahun ini merupakan rehabilitasi terbesar dari sejarah Masjid Jami.

Di tahun 2004, palfon yang terbuat dari triplex dengan kayu profil. Dan tahun 2005 dibangun sebuah menara disamping masjid. Menara ini berfungsi sebagai tempat pengeras suara. Dihalaman masjid dilakukan pemasangan paving. Di tahu ini pula diadakan rehabilitasi tempat wudhu dan kamar mandi dan WC.

Selama rehabilitasi berlangsung sejak 1930-2005 pembiayaan diperoleh dari beberapa sumber dana. Sumber dana diperoleh baik dari sumbangan pribadi, bantuan swadaya masyarakat, serta bantuan dari pemerintah setempat. Dari sumbangan pribadi diketahui bersumber dari H. Borahima (tanah lokasi masjid) dan H. Lasulo (lantai tegel). Biaya rehabilitasi dan pemeliharaan dilakukan secara gotong royong oleh masyarakat di tahun 1930-1991. Pemerintah daerah melalui Anggaran Pembelanjaan Daerah (APBD) propinsi tahun 1992 ikut mengambil bagian dalam pembangunan masjid. Anggaran sebesar Rp. 200.000.000 (dua ratus juta rupiah) digunakan untuk melakukan rehabilitasi total masjid. Pembangunan menara masjid pula merupakan bantuan pembiayaan dari APBD propinsi sebesar Rp. 100.000.000 (seratus juta rupiah) dalam dua tahun anggaran.

Kepengurusan masjid sejak dibangun terdiri dari pegawai syarah dan panitia-panitia pembantu. Dalam hal-hal bersifat internal masjid dikelola oleh pegawai Syarah yang terdiri dari Imam, Khatib dan Bilal. Pada kegiatan-kegiatan dalam pembangunan masjid dan hal bersifat ubudiyah pegawai Syarah dibantu oleh panitia yang bersifat Ad Hoc. Kepengurusan diatas bersifat tidak tetap dan akan berubah-ubah. Kepengurusan seperti ini berlangsung hingga tahun 1985.

Pada tahun 1985 mulai dibentuk Badan Pengurus Masjid yang permanen. Masa kepengurusan telah menggunakan masa bakti selama 5 (lima) tahun selama 1 periode. Pengurus bertugas dan bertanggungjawab disegala urusan masjid. Apabila sebelumnya dalam urusan pembangunan disertakan panitia khusus, sejak tahun 1985 pembangunan masjid masukkan dalam agenda atau rencana kerja oleh Badan Pengurus Masjid. Kepengurusan masjid Jami telah menggunakan model dalam pemerintah modern.

Sejak menggunakan sistem pengurusan ini, masjid Jami telah diketuai oleh 6 (enam) orang secara bergantian. Ketua-ketua pengurus masjid berasal dari profesi yang berbeda-beda. Masjid Jami diketuai masing-masing oleh: Drs. H. Malaga memimpin di tahun 1985-1990; H. Moh. Lacambo memimpin selama 2 periode yaitu di tahun 1990-1995 dan 1995-2000; H. Rully Lamajido, SH. di tahun 2000-2005; dan Prof. DR. H. Noor Sulaeman Pettalongi memimpin di tahun 2005-2010; serta Ir. H. Safrun Abdullah, BRE. yang menjabat sejak tahun 2010-2015.

Sebagai masjid tertua di kota Palu, Masjid Jami mendapat perhatian khusus dari pemerintah setempat. Bahkan telah ditetapkan sebagai objek wisata terutama objek wisata sejarah. Sejak berstatus sebagai Surau atau Langgar hingga sekarang, Masjid Jami telah memiliki 10 (sepuluh) orang imam secara bergantian. Imam tersebut masing-masing: H. Larasse, H. Latungka (putra pertama dari H. Borahima), H. Hasan Nontji, H. Yunus, H. Hali, H. Abdul Hai Abdullah, H. Buhaerah, H. Moh. Nawawian Abdullah, H. Alwi Ince Ote, dan H. Abd. Rasyid Dg. Matantu (sekarang).

Masjid Jami’ merupakan mesjid tertua yang ada di Kota Palu. Mesjid berada di Kelurahan Baru Kota Palu. Letak mesjid yang berada ditengah keramaian kota membuat mesjid Jami’ banyak dikunjungi oleh para muslim yang ingin beribadah. Kini mesjid Jami, telah dijadikan sebagai salah satu Benda Cagar Budaya (BCB) yang ada di Sulawesi Tengah. Selain itu juga merupakan Objek Wisata Sejarah bersama dengan Makam Dato Karama (penyebar Islam pertama di Kota Palu), Makam I Pue Njidi (Raja Kabonena yang pertama memeluk Islam), Masjid Alkhairaat (Masjid yang di bangun oleh Ustad Tua dan beberapa Tadulako), dan Gedung Juang (Gedung yang dijadikan markas para pejuang).[5]

Dalam perkembangannya, awalnya mesjid bukan hanya dijadikan sebagai sarana tempat ibadah. Fungsi mesjid juga merupakan tempat syiar agama Islam dengan berbagai kegiatan seperti membaca kitab suci Al-Qur’an (mengaji) dan pusat kajian-kajian Islam. Meski telah memiliki banyak fungsi, belum banyak masyarakat yang datang berkunjung. Hal ini dikarenakan masyarakat Kaili dikenal sebagai masyarakat yang malas beribadah. Kejadian tersebut di catat oleh Dr. N. Adriani dan Alb. C. Kruijt saat berkunjung di Lembah Palu tanggal 25 September 1898. Menurut Dr. N. Adriani dan Alb. C. Kruijt mengatakan bahwa: 

“Dari orang-orang Bugis di Palu kami mendengar bahwa orang-orang Kayeli amat lalai melakukan agamanya. Tamajuda, orang yang telah disebut terdahulu disini, turut tidak senang/ marah kepada orang-orang Kayeli yang malas beragama itu, sungguhpun dia sendiri bukanlah seorang muslim yang baik, sebab dia biasa mengisap candu dan minum saguer (tuak)” .[6]

Berdasarkan kenyataa diatas, tidak jarang rumah dijadikan sebagai tempat belajar mengaji. Menurut penyaksian Dr. N. Adriani dan Alb. C. Kruijt bahwa:

“Di waktu pagi-pagi sekali ternyata bagi kami tuan rumah yang memberi penginapan kepada kami bukanlah seorang pedagang tetapi seorang guru dalam mengajar membaca AlKuran. Pagi-pagi sekali dirumah itu kedengaran suara ribut luar biasa. Orang-orang dewasa sedang membaca dengan nyaring suaranya dibarengi dengan suara nyaring anak-anak yang masih belajar mengeja ayat-ayat dalam Alkitab”.[7]

Orang yang mengajarkan mengaji atau dikenal “Guru Mengaji” kebanyakan berasal dari orang-orang Bugis. Hal ini dapat dilihat dari cara mengeja ayat-ayat suci dengan menggunakan bahasa Bugis. Ini dapat menjelaskan pula bahwa penyiar Islam di Lembah Palu juga dilakukan oleh orang-orang dari tanah Bugis. Mereka datang dengan berdagang.

Keberadaan Masjid Jami’ ditengah-tengah masyarakat Kota Palu menambah keberagaman budaya lokal di Sulawesi Tengah terutama dalam perkembangan Islam di tanah Kaili. Proses masuknya Islam di Lembah Palu yang masih menjadi tanda tanya besar dapat menjadikan masjid sebagai dasar utama dalam melakukan penelitian. Apalagi mesjid ini adalah mesjid pertama yang ada di Lembah Palu. Meski telah mengalami beberapa kali renovasi sejak dibangun hingga sekarang, tetapi bentuk bangunan dapat memperlihatkan keberagaman budaya. Bangunan masjid ini merupakan perpaduan antara bentuk bangunan dengan pola arsitektur dari kebudayaan lama dengan bentuk bangunan dari pola arsitektur dari kebudayaan lama di Lembah Palu[8]. Semoga pemerintah dapat berperan penting dalam membudayakan peninggalan-peninggalan sejarah di Kota Palu khususnya dan umumnya di Sulawesi Tengah. sehingga dapat terus dinikmati oleh para generasi-generasi berikutnya terutama dalam pengetahuan sejarah.

Makam Dato Karama: Halte Terakhir Sang Ulama
Tidak diketahui secara pasti mengenai tahun wafatnya Dato Karama. Tidak adanya bukti tertulis yang dapat menjadi acuan merupakan penyebab diskontinuitas sejarah ini. Setelah wafat, Dato Karama kemudian dimakamkan di daerah Kampung Lere, Kota Palu. Makam Dato Karama inilah yang di kemudian hari ditetapkan sebagai salah satu situs cagar budaya di Kota Palu.

Secara keseluruhan, kompleks ini menepati lahan seluas 1.700 m2, sedangkan luas bangunan makam Dato Karama sendiri sekitar 104 m2 dengan bentuk rumah Minangkabau. Di dalam kompleks ini terdapat juga beberapa makam lainnya seperti makam istri, ipar serta puteranya. Selain itu, terdapat juga makam pengikut setianya yang terdiri dari 9 makam laki-laki, 11 makam wanita, serta 2 makam yang tidak ada keterangan yang jelas di batu nisannya.

Pada hari-hari tertentu, kompleks Makam Dato Karama ini ramai dikunjungi peziarah. Para peziarah tidak hanya berasal dari Kota Palu, tetapi juga berasal dari daerah-daerah lainnya seperti Donggala, Kulawi, Parigi, dan sebagainya. Pengunjung yang datang ke makam ini dengan maksud yang berbeda-beda. Sebagian besar datang untuk melakukan ziarah. Sebagian yang lain datang ke makam ini dengan tujuan untuk melakukan penelitian sejarah, misalnya para arkeolog, mahasiswa, maupun para pelajar.

Kompleks Makam Dato Karama terletak di Jalan Rono, Kelurahan Lere, Kecamatan Palu Barat, Kota Palu, Provinsi Sulawesi Tengah. Akses menuju kompleks Makam Karama cukup mudah karena terletak di Kota Palu dan letaknya sekitar kurang lebih 3 km dari pusat kota. Anda dapat memanfaatkan angkutan umum kota berupa mobil angkutan kota (angkot) untuk menuju ke lokasi makam.

Kompleks makam ini dahulu dikenal cukup sakral dan hanya orang tertentu saja yang bisa masuk ke area makam ini. Namun kini, tempat ini telah menjadi salah satu obyek wisata religi yang bebas untuk dikunjungi setelah Pemerintah Kota Palu memberikan izin beberapa tahun silam. Hal ini penting mengingat nilai edukasi dan historis yang bisa didapat oleh pengunjung dari situs cagar budaya ini. 

Kondisi makam tersebut saat ini agak kurang terawat. Semak belukar tumbuh tak beraturan di sekita lokasi makam, tidak adanya fasilitas penerangan di malam hari, serta keadaan bangunan makam yang mulai tidak terurus. Hal ini tentunya menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah daerah untuk segera merehabilitasi salah satu peninggalan sejarah di Kota Palu ini. 

Penutup
Keberadaan tempat-tempat sebagai penjaga memori masyarakat akan peristiwa dan tokoh sejarah sangat penting kehadirannya. Mengapa demikian? Karena lewat tempat-tempat itulah, masyarakat mengenal peristiwa dan tokoh sejarah tersebut. Tempat-tempat tersebut menjadi sarana pewarisan memori kepada generasi berikutnya, terutama tentang kearifan di masa lalu dan nilai-nilai kebaikan yang ada di dalamnya. Tempat-tempat tersebut juga menjadi batu pijak untuk menggali lebih jauh mengenai peristiwa di sekeliling tokoh sejarah tersebut. 

Bentuk penghormatan dengan penyematan nama seorang tokoh sejarah kepada tempat-tempat tertentu seperti jalan, gedung, bahkan taman adalah bentuk apresiasi dari masyarakat dan pemerintah daerah terhadap tokoh tersebut. Namun, penyematan tersebut bisa dimaknai dua hal yaitu, mengingat peristiwa atau tokoh sejarah itu sendiri atau melupakan peristiwa-peristiwa penting di sekitarnya. Sekarang tinggal bagaimana kita belajar dari sejarah, bukan hanya sekedar belajar sejarah.


[1] Syakir Mahid, dkk. 2009. Sejarah Sosial Sulawesi Tengah. Yogyakarta: Pilar Media. hal. 108.
[2] Ibid. Hal. 108.
[3] Pada saat itu Padang Pariaman masih dibawah pengaruh Kesultanan Aceh, terutama pengaruh Islam.
[4] Sejarah Singkat: Lintasan Sejarah Kelahiran dan Perkembangannya, dalam Buku Profil STAIN Dato Karama Palu tahun 2010, Hal. 7
[5] Lihat Wilman Darsono, dkk, 2004. Pengembangan Diorama “Kaili Tour” Dalam Perspektif Sejarah, Laporan Penelitian Program Kreatif Mahasiswa (PKMP). Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Tadulako.
[6] M. Wenas (penerj), 1984. Van Poso Naar Parigi Sigi En Lindoe door Dr. N. Adriani en Alb. C. Kruijt 1898. Palu: Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Propinsi Sulawesi Tengah. hal. 76.
[7] Ibid. Hal. 72.
[8] Opcit. hal. 154.

Post a Comment

2 Comments

  1. TULISAN YANG MENARIK, SAYA INGIN MEWAWANCARA LANGSUNG DENGAN PENULIS BLOG INI, BOLEH SAYA TAHU NOMOR KONTAKNYA ATAU ALAMAT DI KOTA PALU? TERIMA KASIH

    ReplyDelete
    Replies
    1. Terima kasih atas apresiasinya pak. Nomor kontak saya 085255969357. Alamat: Jalan Baiya Raya No 165, Baiya, Tawaeli

      Delete