Kota
Palu memiliki banyak peninggalan sejarah yang menggambarkan proses masuk dan
berkembangnya agama Islam di sana. Peninggalan sejarah tersebut merupakan
representasi dari tiga fase penyebaran islam di lembah Palu yaitu fase
mitologi, fase ideologi, dan fase ilmu pengetahuan.
Fase
mitologi ditandai dengan kedatangan Dato Karama sekitar abad ke XVII untuk
menyebarkan agama Islam di lembah Palu. Fase ideologi ditandai dengan munculnya
pengaruh Islam yang datang dari arah selatan (Bugis, Makassar, dan Mandar).
Fase ilmu pengetahuan ditandai dengan didirikannya Perguruan Islam Al Khairaat
oleh Syech Idrus bin Salim Al Djufri pada tahun 1930.
Salah
satu peninggalan sejarah dari fase mitologi dalam penyebaran agama Islam di
Sulawesi Tengah adalah Masjid Jami. Tidak banyak yang tahu bahwa ternyata
Masjid Jami yang terletak di Jalan Wahid Hasyim Kelurahan Baru Kecamatan Palu Barat,
merupakan masjid yang pertama dibangun di Kota Palu. Masjid ini dibangun setelah
masuknya Islam yang dibawa oleh Dato Karama.
Masjid
Jami pertama kali dibangun pada tahun 1812 atas prakasra tokoh masyarakat di Kampung
Baru (sekarang Kelurahan Baru) yang bernama Haji Borahima. Haji Borahima
merupakan salah satu bangsawan Kaili yang cukup terpandang di Kampung Baru
padaa saat itu. Haji Borahima sendiri diislamkan oleh Dato Karama, penyiar
Islam pertama di lembah Palu.
Bangunan
awal Masjid Jami Kelurahan Baru tersebut disebut syura. Bangunannya masih
berdinding papan dengan atap rumbia, yang ukurannya masih terbilang sempit
yaitu 9 x 9.
Selanjutnya setelah berdiri, syura’ itu dijadikan sebagai pusat dakwah untuk mengajak warga sekitar masuk Islam.
Selanjutnya setelah berdiri, syura’ itu dijadikan sebagai pusat dakwah untuk mengajak warga sekitar masuk Islam.
Sebenarnya,
sebelum dibangunnya syura’ di Kampung Baru itu, Dato Karama ketika masuk ke
lembah Palu, sempat membangun sebuah langgar di wilayah Kabonena. Langgar
tersebut merupakan langgar yang pertama, namun belum disebut sebagai masjid. Syura
yang didirikan oleh Haji Borahima di Kampung Baru akhirnya direnovasi menjadi
masjid pada tahun 1930.
Pada
tahun 1930 itulah dilaksanakan pemugaran pertama Masjid Jami. Masjid direnovasi
menjadi berdinding beton dengan ukuran 20 x 20. Pemugaran terhadap Mesjid Jami
kembali dilakukan pada tahun 1953, 1968 dan terakhir pada tahun 1992. Pada
tahun 1992, masjid diperluas hingga berukuran 25 x 25 meter.
Pada
tahun 1953 dibangun dua menara. Namun dua menara itu akhirnya dibongkar. Pada
tahun 2004, dibangunlah menara yang sekarang ini berdiri, berukuran 30 meter,
beberapa meter lebih tinggi dari tinggi kubah masjid.
Sejak
tahun 1930, ada enam orang yang secara bergantian menjadi imam di masjid yang
juga sering dikunjungi oleh guru tua, Habib Sayyid Idrus bin Salim Al-Jufri,
pendiri Yayasan Al-Khairaat, yang tinggal tidak jauh dari masjid itu. Imam yang
pertama, bernama Yunus, selanjutnya Abdul Hai, kemudian H. Bumirah, yang ke
empat H. Hasamoki dan imam yang kelima bernama Alwi Intje Ote. Setelah itu H.
Abdul Rasyid menjadi imam sampai sekarang.
Masjid
dengan cat putih dan kubah berwarna hijau ini dikelilingi makam di bagian barat
dan utaranya. Makam-makam tersebut merupakan makam keluarga Haji Borahima.
Masjid ini masih tampak kokoh walau telah berusia ratusan tahun. Sampai saat
ini, masjid tersebut tetap digunakan oleh masyarakat di sekitarnya untuk
beribadah.
Akses
menuju masjid ini relatif mudah. Anda dapat mengaksesnya dari berbagai arah.
Masjid ini berjarak sekitar 3 km dari pusat kota. Anda dapat melewati jalur via
Jembatan III atau via Pasar Bambaru (Pasar Tua). Letaknya yang persis di
sebelah simpang empat menjadikan masjid ini mudah ditemukan.
(disarikan dari berbagai sumber, dengan penambahan dan pengeditan seperlunya).
0 Comments