Nama di Buku Catatan: Sebuah Kisah Tentang Cinta Pertama

Nama di Buku Catatan: Sebuah Kisah Tentang Cinta Pertama

Rian sedari siang tadi terlihat sibuk sendiri di kamarnya. Ia membereskan kamarnya yang acak-acakan ibarat kapal pecah. Hari itu, ia tidak punya agenda kemana-mana. Buku-buku di rak kembali disusun rapi, sarang laba-laba di langit-langit kamar dibersihkan, pakaian bersih dilipat dan dimasukkan ke dalam lemari, lantai yang kotor disapu dan dipel.

“Hmmm, sudah hampir beres, sekarang tinggal membereskan berkas-berkas yang ada di dalam lemari,” ujar Rian.

Ia pun segera membuka lemari tempatnya menyimpan berkas-berkasnya tersebut. Berkas-berkas yang ada di dalam lemari tersebut adalah berkas-berkas yang berkaitan dengan kuliah, organisasi, lomba, berkas saat masih SMU, hingga kertas-kertas bekas yang penuh coretan. Rian memang gemar mengarsipkan segala macam benda dan dokumennya, bahkan sampai pada selembar kertas penuh coretan pun tak luput darinya.


Rian kemudian mengeluarkan berkas-berkasnya tersebut satu persatu untuk kemudian dipisahkan berdasarkan jenis dan waktunya. Berkas-berkas kuliah dimasukkan ke dalam satu kardus, berkas-berkas organisasi pun demikian, dan seterusnya. Berkas-berkas yang terakhir dimasukkan adalah berkas-berkas saat ia masih SMU. Di dalamnya ada buku-buku catatan pelajaran, sebuah buku album untuk akuntansi, lembar jawaban ulangan harian, mid semester, dan ujian akhir, serta beberapa bundel kertas di dalam map.

Rian pun kemudian membuka satu persatu buku catatan pelajaran yang ia gunakan saat masih duduk di bangku SMU tersebut. Buku-buku tersebut penuh dengan coretan dan gambar di halaman belakangnya. Namanya dan nama kawan-kawan karibnya terukir di halaman belakang buku-buku tersebut. Melihat hal tersebut, senyum mulai merekah di bibir Rian. Ia kembali mengingat kebersamaan dengan kawan-kawannya di SMU dahulu.

“Ah, sudah lama sekali,” gumamnya dalam hati.

Muncul kerinduan dalam dirinya untuk kembali ke masa-masa indah tersebut.

Ketika sedang asyik membuka-buka buku catatannya tersebut, tiba-tiba Rian terdiam. Matanya tertuju pada satu tulisan di halaman bukunya. Tulisan tersebut adalah dua nama yang dibingkai dengan gambar hati lengkap dengan sebuah tanggal. Melihat nama tersebut, Rian pun berujar dalam hati

“Hmm, sudah hampir 11 tahun berlalu, ternyata tulisan ini masih ada,” kenangnya.

Nama yang bersanding dengan namanya di dalam bingkai gambar hati bertanggal 01-10-2006 di sebuah halaman buku catatan tersebut sudah hampir dilupakannya. Maklum saja, sudah hampir 11 tahun ia tak bertemu dengan si pemilik nama tersebut. Lewat nama tersebut, Rian mulai kembali menerawang ke masa 11 tahun yang lalu, pada saat ia masih duduk di kelas 2 SMU. Dibiarkannya berkas-berkas tadi berserakan di kasurnya. Sambil memandang langit-langit kamar, ia seakan menaiki mesin waktu untuk kemba ke masa-masa tersebut. Sebuah nama rupanya adalah jalan masuk bagi memori-memori terpendam dalam hidup kita. Memori-memori tersebut terkadang manis, terkadang pahit.  
                 
***
Sore itu langit cerah seperti biasanya. Sinar matahari mulai bersahabat, tak seperti siang tadi. Hembusan angin pun turut membantu menghilangkan kegerahan akibat cuaca tak bersahabat siang tadi. Sejak pulang sekolah, Rian sudah mengurung diri di dalam kamar. Ia merebahkan dirinya di kasur dengan ditemani lantunan indah milik grup band Ungu. Saat itu, lagu-lagu milik band yang digawangi Pasha, Enda, Oncy, Makki dan Rowman tersebut, memang lagi hits-hitsnya di telinga anak muda.

“Tidur dulu sedikit, baru main bola sebentar,” ujar Rian sambil mendengar lagu-lagu dari VCD playernya.

 Saat itu, untuk memutar musik, orang-orang masih harus menggunakan VCD player, MP3 player dan tape. Teknologi pemutar musik belum secanggih saat ini. Handphone yang dilengkapi dengan pemutar musikpun masih sangat jarang dan mahal harganya.

Jarum jam menunjukkan pukul 16.00. Rian dibangunkan oleh ibunya untuk mengantarkannya ke pasar.

“Rian, bangun dulu, antar mama ke pasar,” suruh sang ibu.

“Hoaaam,” sambil menguap, Rian bangun dan berujar “iya ma, saya cuci muka dulu”.

Rian pun segera menuju ke kamar mandi untuk membasuh wajahnya dengan air.

Rian kemudian mengantarkan sang ibu pergi belanja ke pasar. Satu jam kemudian, ibunya telah selesai berbelanja dan mereka segera pulang. Ketika sampai di depan lorong, sang ibu menyuruh Rian untuk berhenti di depan penjual pisang goreng.

“Singgah dulu sebentar, mama mau beli pisang goreng untuk dimakan di rumah,” kata sang ibu.

“Iya ma, tapi jangan lama-lama apa saya mau main bola,” ujar Rian.

“Mama Rais, bungkuskan pisang gorengnya, harga lima ribu,” ujar ibunya Rian.

“Iya mama Opi. Eh ngomong-ngomong siapa yang ba bonceng kita itu?,” tanya si penjual sambil menoleh kepadaku seraya memasukkan pisang goreng ke dalam kantongan plastik.

”Oh, ini saya punya anak yang bungsu, namanya Rian. Eh mama Rais, anaknya kita juga itu?,” sambil memperkenalkan Rian, sang ibu juga bertanya, siapa gadis yang membantu Mama Rais berjualan.

“Oh, ini anak saya yang pertama. Namanya Mhey,” jawab Mama Rais. Si gadis yang disebut namanya tadi menoleh kepada ibunda Rian sambil tersenyum manis.

Dari atas motor, Rian sedari tadi juga memperhatikan gadis tersebut.

“Manis juga,” gumamnya dalam hati. Setelah pisang goreng selesai dibungkus, ibunya Rian menyerahkan selembar uang lima ribu kepada Mhey.

“Terima kasih,” ujar si gadis sambil kembali tersenyum. Kemudian, motor pun segera melaju menuju rumah.

Itulah kali pertama Rian bertemu dengan si pemilik nama dalam buku catatannya tersebut. Ibu gadis tersebut setiap hari berjualan pisang goreng di depan lorong tempat tinggalnya. Setiap sore, jika Rian disuruh untuk membeli pisang goreng, ia pasti selalu melihat gadis itu menemani ibunya. Selain berjualan pisang goreng, ibu gadis tersebut juga sesekali mengojek ibunya Rian ke pasar, jika Rian tidak sempat mengantar.

Rian kemudian mengetahui dari teman-temannya bahwa gadis tersebut adalah kakaknya Rais, salah seorang temannya bermain sepak bola. Walaupun umurnya jauh dibawah Rian, Rais menjadi teman bermainnya. Pada saat itu, pergaulannya lebih banyak dengan anak-anak SD dan SMP. Teman–temannya tinggal di lorong yang sama dengan lorong tempat gadis tersebut tinggal.

Pada saat itu, belum terpikir dalam benak Rian untuk berpacaran. Namun bukan berarti Rian belum pernah merasakan yang namanya jatuh cinta. Ia sempat merasakan yang namanya jatuh cinta pada saat kelas 3 SMP kepada teman sekelasnya yang bernama Puji. Cintanya tersebut pada akhirnya tidak pernah ia utarakan sampai mereka berpisah setelah pelulusan SMP. Setelah itu, ia tidak pernah jatuh cinta lagi.

Bagi Rian, tidak ada perempuan yang sama seperti Puji mungkin sampai saat itu. Semua aspek dimilikinya untuk menjadi seorang “pendamping” yang baik. Ia baik, cantik, pandai, ramah, dan soleha. Sayangnya pada saat itu Rian belum memiliki keberanian yang cukup untuk mengungkapkan perasaannya kepada sang pujaan hati.

Pertemuan pertama Rian dengan si pemilik nama dalam buku catatanya tersebut rupanya berlanjut ke pertemuan-pertemuan berikutnya. Ia sering berpapasan dengan sang gadis, tiap kali si gadis belanja di kios milik sepupu Rian yang bernama Iman. Rumah gadis tersebut ternyata berada di belakang rumah sepupu Rian tersebut.

Pertemuan yang setengah kebetulan tersebut, lama-kelamaan membuat Rian penasaran ingin mencari tahu lebih dalam mengenai gadis tersebut. Pada sebuah kesempatan, gadis tersebut terlihat asyik bercengkrama dengan Wulan,  yang juga salah satu sepupu Rian. Setelah gadis tersebut pergi, Rian kemudian menanyakan kepada Wulan mengenai gadis tersebut. Wulan pun menerangkan latar belakang gadis tersebut dengan sangat jelas layaknya seorang narasumber yang sedang diwawancara.

“Namanya Mhey. Keluarganya pindah ke sini karena mengungsi akibat kerusuhan Poso. Kayaknya dia seumuran denganmu. Dia tinggal bersama ayah tiri, ibu dan adiknya. Eh, ngomong-ngomong kenapa kamu tanya-tanya tentang dia? Kamu suka yah dengan dia?,” tanya Wulan kepada Rian.

“Ah tidak, Cuma mau tahu saja soalnya saya sering lihat dia dengan mamanya di tempat ba jual pisang goring,” jawab Rian sedikit mengelak. Memang ada rasa penasaran yang muncul di benak Rian tentang Mhey. Lebih tepatnya, ia terpesona dengan keteduhan senyumannya.  

Selanjutnya, Rian makin sering bertemu dengan Mhey. Tidak hanya ketika Mhey menjaga jualan ibunya atau ketika ia belanja di kiosnya Iman, Rian juga sering berpapasan jalan dengan Mhey ketika ia hendak ke lapangan bola. Seringnya mereka berpapasan karena lorong menuju rumah Mhey merupakan jalan pintas ke lapangan bola. Tiap kali berpapasan, Mhey selalu tersenyum sambil menunduk malu. Setiap Mhey tersenyum, selalu saja Rian salah tingkah, entah nyanyi-nyanyi tidak jelas atau bersiul-siul tidak jelas. Senyuman Mhey pastinya selalu membuat Rian klepek-klepek.  

Jika diperhatikan, perawakan Mhey biasa saja untuk ukuran gadis seusianya. Walaupun agak kurus, namun Mhey memiliki kulit putih bersih, dan bermata agak sipit seperti gadis keturunan Tionghoa. Dari Wulan, Rian mengetahui bahwa ayah kandung Mhey ternyata memang masih keturunan Tionghoa. Sayang, ayah dan ibunya berpisah saat dia masih kecil. Mhey akhirnya memilih untuk ikut dengan sang ibu hingga saat ini.

Dengan seringnya mereka berpapasan jalan, lama-kelamaan bersemi juga benih-benih cinta Rian kepada Mhey. Ia pun memberanikan diri untuk menanyakan kepada Wulan, apakah Mhey sudah punya pacar? Dan ternyata Rian mendapat jawaban yang menggembirakan; Mhey belum punya pacar.

Rian pun segera mencari cara untuk bisa mendekati gadis pujaan hatinya. Wulan dan Fani menjadi “jembatan” untuk mendekati Mhey. Kedekatan dua orang sepupunya ini dengan Mhey menjadi modal yang cukup untuk memuluskan usaha Rian. Saat itu, tidak lama lagi akan memasuki bulan Ramadhan. Pada saat itu, awal bulan Ramadhan tepat jatuh pada tanggal 1 Oktober.

Cara Rian menarik perhatian Mhey agak sedikit sporadis. Tiap kali Mhey belanja di kiosnya Iman, Rian selalu berada di situ, dan setiap Mhey hendak pulang, Rian pun menyuruh Wulan untuk menggoda Mhey.

“Mhey, ada sepupuku kirim salam sama kamu. Namanya Rian,” ujar Wulan seraya menoleh kepada Rian.

Mendengar hal tersebut, Mhey tersentak kaget. Wajahnya memerah dan dia menatap ke arah Rian sebentar. Kemudian dengan malu-malu dia bergegas pulang ke rumahnya. Cara sporadis tersebut terus diulangi oleh Rian, bahkan sesekali tanpa perantaraan Wulan. Mhey pun kadang dibuat salah tingkah dengan godaan tersebut. Dari gelagatnya, Rian merasa bahwa apa yang ia rasakan pada Mhey, juga dirasakan Mhey kepadanya.

“Kayaknya dia juga suka sama saya”, ujar Rian meyakinkan dirinya. “Tapi, saya tidak berani ba tembak dia. Saya takut nanti ditolak,” pikir Rian di dalam hati. Perasaan yang berkecamuk di dalam dirinya membuat Rian lama kelamaan pusing juga.    

Akhirnya Rian memutuskan untuk “menembak“ sang pujaan hati.

“Daripada penasaran dan hanya disimpan dalam hati, lebih baik diutarakan saja. Ditolak atau diterima itu belakangan, yang penting dia sudah tahu apa yang saya rasakan,” gumam Rian dalam hati. Rian nampaknya tidak ingin kesalahan saat menyukai Puji dan tidak berani mengutarakan perasaannya terulang kembali.

Rencana pun disusun matang oleh Rian untuk mengutarakan perasaan pada sang pujaan hati. Ia berencana mengutarakan perasaanya tersebut tepat pada hari pertama puasa. Melalui Fani, Rian menitipkan pesan kepada Mhey untuk bertemu setelah shalat subuh pada hari pertama puasa.

“Saya tunggu di pinggir kuala,” pesan Rian kepada Fani seraya memberikan dua lembar uang seribu rupiah sebagai upah menjadi kurir. Tak ada yang gratis di dunia ini katanya.

Malam hari menjelang puasa, seperti tahun-tahun sebelumnya, Rian selalu shalat tarawih bersama teman-temannya. Moment shalat tarawih adalah momen berkumpulnya anak-anak muda termasuk Rian. Sholat tarawih pun dilaksanakan dan Rian mengakhirinya hanya dengan 8 rakaat dan segera bergegas menuju kiosnya Iman. Di kios tersebut, Fani telah menunggu dengan kabar dari Mhey yang hendak disampaikan kepada Rian.

“Fani, gimana? Apa dia mau?,” tanya Rian tidak sabar.

“Dia mau. Sebentar subuh tunggu dia di kuala pas selesai sholat subuh. Ingat jangan terlambat. Kalau kau terlambat, so te ada harapanmu lagi,” ujar Fani menyampaikan pesan dari Mhey.

Setelah mendengar pesan dari Mhey yang disampaikan oleh Fani, Rian segera pulang ke rumah. Ia tak lagi tertarik untuk melewatkan malam dengan kawan-kawannya. Sesampainya di rumah, ia segera tidur karena tidak ingin terlambat bangun sahur. Sebelum tidur, Rian berpesan kepada ibunya untuk membangunkannya. Namun malam itu, Rian ternyata tidak dapat tidur karena memikirkan rencana pertemuannya dengan Mhey tersebut.

Sayup-sayup suara lantunan ayat suci yang berkumandang di mesjid terdengar bersahutan dengan kokok ayam dan suara katak. Suara anak muda berkeliling membangunkan orang untuk sahur juga sayup-sayup terdengar. Rian yang tidak bisa tidur karena memikirkan rencana pertemuannya, segera bangkit dari tempat tidurnya. Ia kemudian membasuh muka dan makan sahur bersama keluarga. Sahur pertama di bulan puasa memang menyenangkan apalagi jika berkumpul bersama keluarga.

Rian menyelesaikan santap sahurnya dengan cepat dan segera menuju kamar untuk mengganti pakaian dengan baju koko dan sarung. Berbeda dengan biasanya, ia menyemprotkan sedikit parfum ke pakaiannya. Orang-orang di rumahnya dibuat heran dengan perilaku tidak biasa Rian tersebut. Tidak biasanya Rian serapih ini “hanya” untuk pergi menunaikan sholat subuh.

Rian kemudian pamit untuk pergi menunaikan ibadah sholat subuh. Ia pun pergi ke kiosnya Iman dan di sana telah banyak teman-temannya menunggu untuk pergi menunaikan sholat subuh bersama-sama. Setelah terdengar adzan subuh, mereka pun bergegas untuk berangkat menuju masjid.

Berbeda dengan bulan puasa sebelumnya, sholat subuh yang ditunaikan oleh Rian kali itu sungguh tidak khusyuk. Dalam pikirannya hanya ada pertanyaan tentang apa yang hendak ia katakan sebentar saat bertemu Mhey? Jangan sampai ia nantinya hanya akan terdiam seperti patung.

Setelah selesai menunaikan sholat subuh, teman-teman Rian bersiap-siap untuk JJS (jalan-jalan subuh). Minggu pertama bulan puasa selalu ramai dengan anak muda yang berjalan-jalan di seputaran kota setelah selesai menunaikan ibadah sholat subuh. Mereka biasanya memilih beberapa spot seperti pantai sebagai tempat nongkrong sambil menyongsong fajar. Rian memutuskan untuk tidak ikut JJS dengan teman-temannya dengan alasan ia tidak punya motor. Sebenarnya ia dapat saja menumpang dengan salah satu temannya, namun ia telah punya agenda lain yang lebih penting yaitu bertemu Mhey.

Rian pun segera bergegas pulang, tetapi bukan ke rumah melainkan menuju ke kuala. Dengan setengah berlari, ia bergegas menuju kuala. Ia tidak ingin terlambat sampai di sana karena teringat pesan Fani bahwa jika ia terlambat, tidak ada lagi kesempatan kedua yang datang untuknya.

Dengan napas terengah-engah, Rian pun sampai di pinggirkuala. Saat itu, di kuala sudah banyak orang yang datang. Ada yang datang dengan teman-temannya, pacar, saudara, dan ada juga yang datang seorang diri. Menunggu terbitnya fajar di tempat itu sudah menjadi sebuah ritual yang wajib bagi para muda-mudi di sekitar tempat Rian tinggal. 

Rian pun segera mencari tempat untuk duduk di sekitar kualasambil mengamati keadaan sekitarnya. Ada orang yang datang dengan pacarnya, temannya, dan saudaranya. Mereka bercengkerama, bersenda gurau sambil menanti terbitnya fajar.Kuala adalah sebutan orang-orang Palu untuk sungai. Kuala yang paling sering dikunjungi oleh anak muda pada minggu-minggu awal bulan Ramadhan adalah kuala (baca: sungai) Palu yang membelah kota Palu menjadi dua bagian yaitu timur dan barat. Daerah bantaran kuala yang ramai dengan aktivitas adalah daerah Tavanjuka, Nunu, Maesa, Ujuna, Kampung Baru, dan Besusu. Saat ini sudah ada 4 jembatan besar dan 1 jembatan gantung yang menjadi penghubung wilayah yang terpisah oleh kuala tersebut.

Sekitar hampir setengah jam Rian menunggu, namun Mhey tak kunjung datang. Hari pun sudah semakin terang.

“Ternyata dia tidak datang,” gumam Rian dalam hati.

Dengan sedikit kecewa, Rian beranjak dari tempat duduknya untuk pulang. Perasaanya campur aduk kala itu, antara kecewa, putus asa, dan patah hati. Jika diibaratkan berperang, ia telah kalah sebelum berperang. Untuk kedua kalinya ia gagal mengutarakan perasaanya kepada seorang gadis. 

Pada saat ia berbalik dan hendak berjalan untuk pulang, tiba-tiba gadis yang dinantikannya telah muncul di hadapannya. Sang gadis masih memakai mukena yang tadi digunakannya untuk sholat. Ia datang bersama dengan seorang teman perempuannya.

Sang gadis kemudian mengulurkan tangannya sambil menyebutkan namanya.

“Namaku Mhey, namamu Rian kan?,” ujar sang gadis.  Rian pun segera menyalaminya dan menyebutkan namanya. ”Iya namaku Rian,”.

“Maaf, saya sedikit terlambat. Ada urusan sedikit tadi,” ujar Mhey.

“Owww. Tidak apa-apa, saya juga belum lama menunggu. Terima kasih sudah mau datang,” ujar Rian.

Teman perempuan Mhey tadi pun meninggalkan Mhey dan Rian berdua saja. Dengan mengumpulkan keberanian, Rian mengajak Mhey untuk jalan-jalan sebentar menyusuri tepian kuala. Namun, Mhey menanggapi ajakan tersebut dengan balik bertanya.

“Gimana kalau kita jalan-jalan sambil pulang?,” tanyanya kepada Rian.

“Oh iya nggak apa-apa,” ujar Rian dengan suara yang agak gemetar karena sudah lumayan gugup.

“Oh iya, apa yang ingin kamu bicarakan?,” tanya Mhey.

“Enggak. Cuma mau kenal kamu lebih dekat saja. Boleh?,” jawab Rian.

“Owwwh, tentu saja boleh. Eh ngomong-ngomong bukannya kamu sering ba beli pisang goreng di tempat mama ku toh?,” jawab Mhey sambil balik bertanya.

“Iya. mamaku juga sering diojek sama mamamu kalau mau ke pasar. Biasanya saya tidak sempat ba antar,” jawab Rian.

Tangan Rian semakin gemetar dan bibirnya pun seakan berat untuk mengatakan perasaannya kepada Mhey. Saking gugupnya, ia tidak sadar kalau mereka hampir sampai di rumah Mhey.

“Wah gawat ini, rumahnya sudah dekat tapi saya belum bicara juga. Bisa batal rencanaku ini. saya harus bicara sekarang!!!,” gumam Rian dalam hati.

Setelah sampai ke tempat yang agak sepi yang letaknya tidak terlalu jauh dari rumahnya, Rian pun meminta Mhey untuk berhenti dan mulai bicara.

“Mhey, ada yang mau saya bilang,” ujar Rian sembari mengumpulkan keberanian.

“Apa itu? Bilang saja,” ujar Mhey.         
           
“Mhey, apa kamu mau jadi pacarku? Jujur, saya sering perhatikan kamu dan lama kelamaan muncul rasa suka sama kamu,” tanya Rian tanpa basa basi sambil refleks menggenggam erat tangan Mhey.

Dinginnya tangan Rian karena gugup bertambah dengan dinginnya udara di pagi itu. Mhey pun agak kaget dengan genggaman tangan Rian yang dingin dan ucapan Rian tadi. Mhey melihat dengan jelas raut gugup di wajah Rian yang dengan segenap keberanian yang dikumpulkannya berusaha untuk menyatakan perasaannya.

Mhey kemudian nampak berpikir sejenak.

“Gimana?,” tanya Rian lagi dengan tidak sabar, mengagetkan Mhey yang tengah berpikir.

Dengan sedikit kaget Mhey menjawab pertanyaan Rian.

“Iya saya mau. Jujur saya kaget dengan apa yang barusan kamu bilang. Saya pun diam-diam perhatikan kamu. Tingkahmu yang kadang lucu, bikin saya ingat kamu dan lama-lama suka sama kamu,” jawab Mhey dengan suara pelan.

Entah karena gugup atau karena suara Mhey yang pelan, Rian kembali bertanya untuk memperjelas.

 “Jadi kita pacaran sekarang?,” tanya Rian.

“Iya, tapi saya mohon cuma kita berdua saja yang tahu karena saya belum dikasi pacaran sama mamaku,” jawabnya.

“Iya saya janji tidak akan bercerita kepada siapapun kalau kita sekarang berpacaran,” ujar Rian seraya meyakinkan Mhey.

Hari itu, Minggu, 1 Oktober 2006, merupakan hari yang bersejarah untuk Rian. Untuk pertama kalinya ia mengutarakan perasaan kepada seorang gadis dan hasilnya, ia diterima. 100 meter sebelum rumahnya, Mhey dan Rian berpisah jalan. Mhey melewati jalan biasanya yaitu melewati lapangan bola sedangkan Rian mengambil jalan memutar. Rian bergegas menuju rumahnya dan setelah sampai di rumah ia segera menuju kamarnya. Rian segera mengambil buku catatannya dan menuliskan namanya, nama sang pujaan hati, dan tanggal hari itu. Tiga tulisan tersebut ia hiasi dengan gambar hati.

***
Tiiit...tiitt...tiiit. suara dering handphone tanda SMS masuk membuyarkan lamunan Rian. SMS tersebut dari sahabatnya di kampus yang menanyakan keberadaan dirinya. Tangannya masih memegang erat buku catatan tersebut. Tak terasa hari sudah beranjak sore dan pekerjaannya membersihkan kamar belum selesai ia kerjakan. Ia pun segera menyimpan buku catatan tersebut di tempat terpisah sembari lekas membereskan berkas-berkas lainnya.

Setelah selesai membersihkan kamarnya, Rian pun pamit kepada ayah dan ibunya untuk pergi ke kampus mengurusi sebuah persiapan kegiatan kemahasiswaan. Di atas motornya, sambil tersenyum ia bergumam dalam hati.


“Tidak salah jika sebagian orang percaya bahwa cinta pertama adalah kisah yang paling diingat oleh setiap orang yang pernah jatuh cinta. Momen ketika pertema kali merasakan hal berbeda ketika berhadapan dengan lawan jenis. Banyak cinta pertama yang kemudian menjadi cinta terakhir, tetapi lebih banyak lagi cinta pertama yang menjadi awal bagi pencarian cinta sejati. Mhey, kini 8 tahun telah berlalu, namun kenangan tentangmu akan selalu mendapat tempat di dalam hati. Walau kini kamu entah dimana, saya yakin jika saya ingat kamu, kamu di sana pun pasti demikian,”. Mesin motorpun dinyalakan dan Rian pun berlalu.  

Post a Comment

0 Comments