MENUJU SULAWESI TENGAH BEBAS KONFLIK

MENUJU SULAWESI TENGAH BEBAS KONFLIK

http://i1.ytimg.com/vi/SfTTaFXBmm0/hqdefault.jpgKonflik antar kampung merupakan aksi kolektif yang bersifat destruktif dari satu desa terhadap desa lain. Tindakan destruktif itu merupakan kerusuhan yang dilakukan dengan cara kekerasan. Konflik antar kampung yang terjadi di beberapa daerah di Sulawesi Tengah melibatkan kelompok masyarakat yang masih bertetangga, seperti Nunu dan Tavanjuka, Kayumalue dan Tawaeli,  Kayumalue dan Taipa, dan masih banyak lagi.
Konflik antar kampung sering kali terjadi di beberapa daerah di Sulawesi Tengah. Konflik merupakan indikator lemahnya pembinaan, pengawasan, dan penanaman nilai-nilai persaudaraan kepada masyarakat terutama generasi muda. Konflik yang terjadi dipicu oleh tindakan-tindakan yang tidak sesuai dengan norma dan nilai sosial seperti mabuk-mabukan, geng motor, dan lain sebagainya.
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mencatat bahwa dari 32 (tiga puluh dua) jumlah konflik sosial yang terjadi di Indonesia selama tahun 2012, 15 (lima belas) diantaranya terjadi di Sulawesi Tengah. Pada awal tahun 2013 (Januari-April), tercatat telah terjadi setidaknya 6 (enam) konflik sosial di berbagai titik di Sulawesi Tengah. Konflik yang terjadi sebagian besar berada di Kota Palu dan Kabupaten Sigi.
Pemicu terjadinya konflik sosial dari data yang didapatkan oleh KontraS antara lain seperti sengketa lahan (tapal batas), ketidakpuasan terhadap penegakan hukum oleh negara, beredarnya pesan-pesan provokatif dan dendam konflik lama. Dari 15 konflik sosial yang terjadi, alat kekerasan yang sering dipakai merupakan senjata tradisional. Alat yang banyak dipakai dalam konflik sosial seperti panah, dum-dum, busur, samurai, tombak dan parang. Ada juga yang menggunakan seperti bom dan senjata api rakitan.
Kebanyakan pemicu dan elemen masyarakat yang terlibat konflik justru berasal dari kalangan generasi muda. Mereka beranggapan, bahwa ada nilai plus dari lingkungan sekitar mereka apabila mereka terlibat dalam konflik tersebut. Nilai plus tersebut adalah rasa percaya diri karena dianggap sebagai anak/orang yang berani dan membela daerahnya. Hal ini menjadi bukti bahwa telah terjadi degradasi nilai-nilai kepemimpinan dan norma sosial yang menyebabkan terjadinya penyimpangan-penyimpangan nilai seperti yang telah dikemukakan di atas.
Penyebab latennya konflik yang terjadi di beberapa wilayah di Sulawesi Tengah adalah politisasi memori kolektif tentang konflik. Memori warga di masing-masing kampung merekam kembali atau mengingat kembali terhadap pengalaman masa lalu mereka dalam peristiwa yang menjadi awal penyebab konflik. Di samping pengingatan (remembering) juga terjadi pelupaan (forgetting), bahwa antara warga kampung tersebut masih terikat dalam satu hubungan kekerabatan, yakni berasal dari nenek moyang yang sama. Memori ini terus diwariskan secara turun temurun dari generasi ke generasi, sehingga setiap terjadi persoalan (walaupun persoalan kecil/sepele) di antara kampung tersebut, peristiwa lama kembali diingat-ingat yang menyebabkan konflik ini semakin berlarut-larut dan mudah disulut kembali.
Penanganan maupun pencegahan terjadinya konflik terutama konflik yang melibatkan generasi muda di dalamnya, butuh partisipasi dari generasi muda pula. Penanaman nilai-nilai kepemimpinan dan nilai-nilai sosial jangan hanya sampai ke tingkat mahasiswa dan pelajar saja, tetapi harus mencakup ke seluruh elemen generasi muda terutama generasi muda yang terlibat konflik. Kedepannya diharapkan, dengan mengenal dan memahami nilai-nilai kepemimpinan dan nilai-nilai sosial tersebut, generasi muda tidak lagi terlibat kedalam konflik dan sebaliknya berusaha maksimal untuk ikut serta dalam pembangunan daerah.

Post a Comment

0 Comments