Memahami Sejarah Lokal Sebagai Awal Pembentukan Karakter

Memahami Sejarah Lokal Sebagai Awal Pembentukan Karakter


Sejarah Lokal kurang mendapat perhatian dalam pembelajaran sejarah di sekolah-sekolah, terutama di Sulawesi Tengah. Kurikulum yang menekankan pada pembelajaran sejarah Indonesia (sejarah nasional) menyebabkan sejarah lokal tidak mendapat tempat dalam kurikulum pembelajaran sejarah. Padahal, sejarah lokal dapat dijadikan salah satu instrument pembelajaran untuk menanamkan pendidikan karakter bagi peserta didik. Nilai-nilai kearifaan lokal yang terdapat dalam sejarah lokal dapat dijadikan landasan nilai dalam upaya pembentukan karakter.

Sejarah lokal khususnya sejarah lokal Sulawesi Tengah banyak menyimpan nilai-nilai kearifan lokal yang dapat dijadikan sebagai dasar untuk pembentukan karakter generasi muda. Kearifan lokal tersebut berupa semangat kepahlawanan, keteladanan, dan persatuan yang terdapat dalam sejarah lokal khususnya sejarah lokal Sulawesi Tengah. Nilai-nilai kearifan lokal seperti itu yang seharusnya diejahwantahkan dalam pendidikan karakter yang diperuntukkan bagi peserta didik.

Namun, ketersingkiran sejarah lokal dalam kurikulum pembelajaran sejarah di Indonesia mengakibatkan lemahnya pemahaman peserta didik akan sejarah lokal di daerahnya. Kondisi tersebut diperparah pula dengan lemahnya pemahaman masyarakat tentang sejarah lokal. Hal ini mengakibatkan baik peserta didik maupun masyarakat umum perlahan-lahan mulai mengalami “amnesia” sejarah lokalnya. Indikasi tersebut mengakibatkan masyarakat khususnya generasi muda perlahan-lahan mengalami degradasi nilai-nilai kearifan lokal.

Degradasi nilai-nilai kearifan lokal tersebut yang sering kali menyebabkan terkikisnya rasa toleransi, saling menghargai, dan menghormati sehingga masyarakat terutama generasi muda sering gampang terprovokasi dan akhirnya berujung pada terjadinya konflik dan kekerasan komunal. Konflik dan kekerasan tersebut menimbulkan dampak yang sangat merugikan bagi kemajuan daerah terutama daerah yang sedang berkembang seperti Sulawesi Tengah. Akibatnya, Sulawesi Tengah dikenal secara luas bukan karena pemberitaan media tentang perkembangan daerahnya tetapi karena pemberitaan media tentang konflik antar masyarakat yang terjadi di berbagai daerah di Sulawesi Tengah.

Untuk mencegah hal tersebut, pemerintah khususnya Dinas Pendidikan yang berada di provinsi maupun kabupaten harus mengusulkan agar sejarah lokal dimasukkan dalam kurikulum pembelajaran sejarah di sekolah. Hal tersebut perlu dilakukan karena peserta didik terutama di Sulawesi Tengah terindikasi tidak mengetahui sejarah lokal dan tidak mengenal tokoh-tokoh lokalnya. Indikasi tersebut disebabkan oleh kurikulum pembelajaran sejarah yang hanya menekankan pada pembelajaran sejarah Indonesia (sejarah nasional) dan tidak menyertakan aspek-aspek sejarah lokal dalam pembelajaran.

Masuknya sejarah lokal dalam kurikulum pembelajaran sejarah di sekolah mutlak diperlukan dan sebaiknya dijadikan pertimbangan dalam penyusunan kurikulum mata pelajaran sejarah maupun IPS pada kurikulum 2013. Mata pelajaran sejarah yang mengalami peningkatan jam pelajaran dari 2 jam pelajaran/minggu menjadi 4-6 jam pelajaran/minggu membuka peluang bagi sejarah lokal untuk masuk dalam kurikulum pembelajaran sejarah. Sekarang tinggal bagaimana para pemangku kebijakan melihat peluang ini sebagai langkah awal penanaman pendidikan karakter bagi generasi muda.       
    
Pembelajaran sejarah lokal adalah salah satu wacana yang bukan hanya harus dilirik tetapi ditindaklanjuti oleh pemangku kepentingan di bidang pendidikan di tengah usaha pemerintah untuk menciptakan pendidikan yang berkarakter. Pendidikan karakter yang paling awal harus diterima adalah bagaimana peserta didik mengetahui dan memahami nilai-nilai kearifan lokal yang terkandung dalam sejarah lokal dan mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini menjadi penting dalam upaya membangun generasi muda Indonesia khususnya Sulawesi Tengah yang berkarakter dan tidak “amnesia” sejarah lokalnya. 

Jefrianto *(Penulis adalah Mahasiswa Pendidikan Sejarah Universitas Tadulako, Penggiat di Kelompok Diskusi “Komunitas Batu Karang”).

Post a Comment

1 Comments