Mereka yang Menyintas Zaman: Perjuangan Hidup Wanita-Wanita Perkasa Setelah Prahara 65

Mereka yang Menyintas Zaman: Perjuangan Hidup Wanita-Wanita Perkasa Setelah Prahara 65



Membaca novel sejarah Istana Jiwa : Langkah Perempuan di Celah Aniaya karya Putu Oka Sukanta seakan mengajak kita untuk terjun langsung dalam suasana sebelum dan sesudah prahara 1965. Pergulatan politik yang mengerucut pada dua kutub besar yakni Angkatan Darat (AD) dan Partai Komunis Indonesia (PKI) berujung pada prahara yang seketika mengubah jalan hidup jutaan masyarakat Indonesia terutama yang bersentuhan dan dianggap bersentuhan dengan PKI sebagai tumbal dari prahara tersebut.

Jutaan masyarakat yang terlibat atau dilibatkan dalam prahara tersebut selanjutnya menjalani hari-hari penuh horor. Tidak jarang, mereka yang tertangkap ingin langsung dieksekusi karena tidak tahan dengan cara penyiksaan yang tidak beradab oleh orang-orang yang mengaku bertuhan.


Periode bersimbah darah antara tahun 1965-1966 tersebut merupakan peretas jalan bagi rezim Orde Baru pimpinan Soeharto untuk berkuasa selama lebih dari 30 tahun. Jumlah korban pembunuhan massal selama periode tersebut sampai saat ini masih belum dapat diketahui secara pasti. Namun dampak sosial dan politik selama periode tersebut masih dapat dirasakan hingga kini. Mereka yang terlibat atau dianggap terlibat mengalami diskriminasi dan dicabut hak-hak politiknya. Kebebasan hidup mereka dikungkung karena kesalahan yang tidak mereka lakukan.

Setelah Orde Baru runtuh pada tahun 1998, tidak sedikit dari mereka yang masih bertahan, mengisahkan bagaimana kehidupan mereka selama Orde Baru berkuasa dimana mereka mengalami hari-hari penuh teror dan bagaimana mereka bisa bertahan sampai saat ini. Hal penting inilah yang coba diangkat oleh Putu Oka Sukanta ke dalam novel Istana Jiwa. Menurut Putu Oka Sukanta, novel ini adalah sebuah novel sejarah. Novel ini mudah dipahami dan memfokuskan diri pada perjuangan para wanita bertahan hidup setelah prahara 1965.

Bagian pertama dari novel ini mengisahkan tentang beberapa anak muda menaruh harapan akan masa depan rakyat yang lebih baik dengan bergabung di organisasi (PKI & underbouwnya). Program kerja organisasi yang dinilai berpihak pada rakyat dan perubahan tatanan hidup menuju ke arah yang lebih baik serta jumlah simpatisan yang mencapai tiga juta orang menjadi alasan harapan tersebut.

Maria merupakan salah satu anak muda yang memiliki harapan tersebut. Maria yang merupakan eksponen CGMI dan anak dari Rampi, seorang pengurus PKI adalah seorang gadis intelektual yang menaruh harapan tinggi pada PKI yang dinilainya mampu mensejahterahkan rakyat dan memperbaiki tatanan hidup masyarakat. Atas dasar itulah Maria kemudian bergabung di partai tanpa sepengetahuan ayahnya.

Sayang, partai yang begitu dibanggakannya hancur berantakan dalam sekejap setelah prahara 1965. Prahara tersebut seketika merubah jalan hidup Maria dan jutaan orang lainnya. Ayahnya dibawa dari rumahnya oleh tentara dan ia beserta ibunya harus berpindah-pindah tempat tinggal untuk mengamankan diri dari intaian tentara. Maria pun dijauhi oleh teman-temannya di kampus karena dia adalah aktivis CGMI.

Semua cobaan yang dihadapinya tersebut tidak serta-merta membuat Maria kehilangan ideologinya. Baginya, cita-cita partainya adalah cita-cita luhur untuk kesejahteraan rakyat dan prahara tersebut menurutnya adalah “jebakan” untuk partainya yang saat itu merupakan salah satu kutub kekuatan politik terbesar di Indonesia. Maria bahkan tetap memperingati hari ulang tahun partai yang jatuh setiap tanggal 23 Mei. Maria yakin bahwa meskipun partainya hancur berantakan, semangat ideologi partai akan selalu ada dalam setiap kader yang masih percaya bahwa partai akan bangkit kembali sama seperti pernyataan Sudisman dalam pledoinya bahwa walaupun saat ini partai “disuruh tiarap serendah-rendahnya” tetapi suatu saat ia akan berdiri tegak kembali di negeri ini.

Apa yang diyakini oleh Maria ini mungkin adalah keyakinan yang sama oleh jutaan eks simpatisan partai yang masih bertahan sampai saat ini. Siksaan fisik dan mental yang diderita oleh mereka bukanlah alasan bagi mereka untuk meninggalkan ideologinya. Rusaknya ranah perpolitikan bangsa ini karena partai-partai yang ada saat ini tidak lagi memiliki ideologi yang jelas seperti partai-partai di masa Orde Lama. Ketiadaan ideologi yang jelas tersebut menyebabkan rusaknya moral kader partai yang berakibat pada rusaknya tatanan perpolitikan di negeri ini.

Beranjak dari kisah Maria, Putu Oka Sukanta juga mengisahkan perjuangan beberapa istri yang suaminya ditangkap, untuk bertahan hidup setelah meletusnya prahara 1965. Mereka harus mengambil alih peran suami mereka sebagai kepala keluarga untuk menghidupi keluarganya. Selain itu, mereka juga harus menghidupi suami mereka yang berada di tahanan. Mereka mengirimkan makanan, pakaian, dan berbagai keperluan suami mereka selama berada di tahanan. Tidak jarang, mereka hanya dapat menitipkan barang-barang tersebut kepada petugas di tahanan karena mereka tidak dapat bertemu dengan suami-suaminya.  
     
Demi bertahan hidup, mereka harus berpindah-pindah tempat tinggal, memulai usaha kecil-kecilan, bahkan sampai bertaruh di meja judi seperti yang dilakukan oleh Kirtani. Selama suami mereka berada di tahanan, mereka menyiapkan segala sesuatu sembari menanti kekebasan suami-suaminya. Salah satu contohnya adalah Ibu Suri, ibu dari Maria yang menerima jahitan pakaian dan harus berjualan kue-kue dan penganan dari satu tempat ke tempat lain demi membeli sebuah rumah yang layak bagi suaminya setelah bebas kelak.

Kerasnya kehidupan selama di dalam tahanan membuat beberapa tahanan kesulitan untuk menerima lingkungan barunya setelah bebas. Rampi, ayah Maria adalah satu diantaranya. Setelah pulang dari Pulau Buru, Rampi tinggal di rumah barunya beserta Ibu Suri, Maria dan Anton, suami Maria. Tetapi tekanan hidup yang dialami Rampi selama di penjara membuat Rampi merasa seperti orang asing di rumahnya sendiri. Ia merasa risih dengan dirinya yang dibiayai oleh anak dan istrinya. Rampi pun memutuskan untuk pergi dari rumah dan menikah dengan orang lain.

Putu Oka Sukanta yang selain seorang novelis juga seorang pembuat film dokumenter, pengamat sosal dan politik, aktivis HIV AIDS, dan praktisi akupuntur ini tidak menulis novel ini dengan pendekatan seorang sejarawan walaupun novel ini adalah novel sejarah. Tetapi hal tersebut tidak lantas membuat novel ini kehilangan jiwa zamannya (zeitgeist). Novel ini patut dibaca oleh mereka yang ingin mengetahui bagaimana perjuangan dan pergulatan para perempuan dan istri tapol bertahan hidup di tengah berbagai cobaan hidup setelah prahara 1965. Novel ini akan membawa kita serasa hadir dan menyaksikan langsung apa yang disajikan di dalamnya. Selamat Membaca!              

Judul Buku    : Istana Jiwa: Langkah Perempuan di Celah Aniaya 
Penulis         : Putu Oka Sukanta
Penerbit        : Lembaga Kreatifitas Kemanusiaan & JAKER 
Tahun Terbit    : 2012
Tebal           : 323 Halaman


·         (Penulis adalah Mahasiswa Pendidikan Sejarah Universitas Tadulako)

Post a Comment

0 Comments