83 Tahun Sumpah Pemuda: Masihkah Menjadi Simbol Kebangsaan Indonesia?

83 Tahun Sumpah Pemuda: Masihkah Menjadi Simbol Kebangsaan Indonesia?



Sumpah Pemuda kini mulai kehilangan perannya sebagai simbol kebangsaan Indonesia. Keabsahan ikrar yang dinyatakan pada kongres pemuda ke dua tersebut sebagai simbol kebangsaan Indonesia kini mulai dipertanyakan. Banyak pihak menganggap bahwa Sumpah Pemuda yang kita kenal sekarang tidak lain adalah upaya ideologisasi dari pemerintah.[1] Ikrar untuk berbangsa, bertanah air, dan berbahasa satu tersebut seakan kehilangan daya magisnya dalam menumbuhkan rasa nasionalisme rakyat Indonesia. Mengapa demikian? Tulisan ini akan memaparkan mengapa makna Sumpah Pemuda yang kita peringati setiap tanggal 28 Oktober ini perlu di telaah kembali.


Sumpah Pemuda merupakan hasil dari Kongres Pemuda ke dua pada akhir Oktober 1928. Sebenarnya, kongres pemuda II pada tanggal 28 Oktober memperoleh tempatnya sebagai salah satu hari nasional di Indonesia bukan karena pengasosiasiannya terhadap sumpah untuk persatuan, tetapi karena kongres pemuda itu adalah saat pertama kali diperdengarkannya lagu Indonesia Raya yang dikarang oleh Wage Rudolf Supratman di depan publik.[2]

Pada masa awal kemerdekaan, peristiwa tersebut sering ditandai dengan acara-acara spesial yang diselenggarakan di istana kepresidenan. Misalnya saja pada 28 Oktober 1949, Presiden Soekarno memimpin sebuah perayaan di istana kepresidenan di Yogyakarta untuk memperingati kelahiran suatu lagu yang telah menjadi hymne nasional negara Indonesia. Kemudian, pada tahun 1952 dan 1953 untuk merayakan triwindu dan terutama 25 tahun perayaan lahirnya Indonesia Raya. Pada tahun 1953, koran PKI, Harian Rakjat, mempersembahkan sebuah refleksi mengenai Indonesia Raya dalam editorialnya. Koran ini juga mengikutsertakan sebuah artikel yang dibuat oleh pemimpin partainya, Njoto, berjudul “Sumber Inspirasi yang Tak Kundjung Kering (Menjambut Seperempat Abad Indonesia Raya)”. Di dalamnya juga terdapat liputan mengenai sebuah perayaan yang dilakukan oleh 13 organisasi pemuda di Jakarta dalam rangka memperingati 25 tahun Indonesia Raya dan Sumpah Pemuda.[3]

Berdasarkan fakta di atas, kita dapat melihat bahwa pada awalnya, tanggal 28 Oktober diperingati bukan sebagai hari Sumpah Pemuda tetapi memperingati hari lahirnya Indonesia Raya yang didapuk sebagai hymne nasional Indonesia. Baru pada tahun 1956, Soekarno menggunakan Sumpah Pemuda sebagai senjata ideologi. Dalam pidatonya di bulan Oktober tahun itu, ia membicarakan mengenai “penjimpangan dari Sumpah 1928” sebagai cara untuk memberi peringatan kepada dalang gerakan separatis yang mulai muncul menentang keutuhan bangsa Indonesia. Harian Rakjat melaporkan bahwa pidato Presiden pada 28 Oktober 1956 merupakan sebuah hal baru dan memberi petunjuk mengenai apa yang akan terjadi.[4]  
Kejatuhan Presiden Soekarno pada tahun 1967 yang membuka jalan bagi Orde Baru untuk berkuasa, membuat Sumpah Pemuda makin menegaskan supremasinya sebagai simbol kebangsaan dan persatuan Indonesia. Apalagi Presiden Soeharto sebagai pemimpin Orde Baru berkali-kali menegaskan dalam setiap peringatan Sumpah Pemuda akan pentingnya ikrar tersebut diejahwantahkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sesuai dengan nilai-nilai luhur Pancasila.

Hal tersebut tentu saja berkaitan dengan upaya pengideologisasian Pancasila sebagai ideologi tunggal negara. Tentu saja Sumpah Pemuda didapuk sebagai simbol kebangsaan Indonesia karena keterkaitannya dengan nilai-nilai luhur dari Pancasila tersebut. Pancasila sebagai ideologi tunggal negara mengedepankan persatuan dan kesatuan dan Sumpah Pemuda dianggap sebagai simbol yang tepat untuk merefleksikan nilai-nilai luhur tersebut.

Berkaca dari kenyataan diatas, dapat kita lihat bahwa Sumpah Pemuda pada masa orde baru lebih menekankan pada upaya pembumian Ideologi Pancasila sebagai ideologi tunggal negara kepada rakyat Indonesia. Berarti peringatan Sumpah Pemuda tidak lebih dari sekedar upaya ideologisasi Pemerintah terhadap masyarakat.

Upaya ideologisasi tersebut melahirkan sejumlah keganjilan yang pada saat Orde Baru berkuasa, tidak terendus ke permukaan. Pada saat orde baru runtuh dan melahirkan orde reformasi, gelombang kritik atas kesahihan sumpah pemuda pun marak bermunculan, baik dari peneliti luar negeri maupun peneliti dalam negeri. Salah satu keganjilan yang muncul terletak pada isi Sumpah Pemuda yang ketiga. Selama ini kita mengetahui bahwa isi Sumpah Pemuda yang ketiga adalah “Kami Putra dan Putri Indonesia Mengaku Berbahasa Satu, Bahasa Indonesia”.

Keith Foulcher dalam kajiannya mengenai Sumpah Pemuda menyangsikan validitas dari kalimat tersebut. Temuannya mengindikasikan adanya perubahan secara sengaja pada kalimat yang merupakan isi ketiga dari Sumpah Pemuda tersebut. Dalam kajiannya, Keith Foulcher menemukan bahwa kalimat asli dari isi Sumpah pemuda yang ketiga adalah “KAMI PUTRA DAN PUTRI INDONESIA  MENJUNJUNG BAHASA PERSATUAN”. Hal tersebut tentu saja menimbulkan pertanyaan besar, manakah versi Sumpah Pemuda yang benar-benar valid? Di dalam kajiannya, Keith Foulcher mengaitkan antara perubahan kalimat tersebut dengan upaya pemerintah mengideologisasikan Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional[5].

Jika Sumpah Pemuda temuan Keith Foulcher adalah Sumpah Pemuda yang benar-benar sahih, maka pemerintah sebagai pihak yang berwenang, wajib “meluruskan” pemahaman masyarakat selama ini tentang Sumpah Pemuda. Hal ini juga menjadi tanggung jawab para peneliti dan sejarawan untuk menguji kesahihan temuan Keith Foulcher tersebut. Jangan sampai terjadi disorientasi pemahaman sejarah di masyarakat tentang Sumpah Pemuda. 
           
Menelusuri peringatan Sumpah Pemuda dari masa ke masa, seakan menghadirkan kembali realitas masa lalu dengan konteks kekinian. Kehadiran Sumpah Pemuda sebagai simbol kebangsaan Indonesia saat ini hampir mencapai titik nadirnya. Kesahihan isi Sumpah Pemuda kini mulai dipertanyakan dan dijadikan bahan perbincangan. Hal ini tentu saja mengundang keprihatinan di tengah kebutuhan generasi muda Indonesia akan patronase dari simbol-simbol kebangsaan tersebut. Apalagi menghadapi era globalisasi saat ini, dibutuhkan simbol penggerak kebangsaan pemuda Indonesia agar rasa kebangsaan tersebut tidak hanya menjadi sebuah “pembayangan terbatas”[6]. Jangan sampai Sumpah Pemuda kehilangan supremasinya sebagai simbol kebangsaan dan pemersatu Indonesia.  
         
. 





[1] Baca Foulcher, Keith. 2008. Sumpah Pemuda: Makna & Proses Penciptaan Simbol Kebangsaan Indonesia. Jakarta. Komunitas Bambu.
[2] Ibid, Hal. 43.
[3] Ibid, Hal, 44
[4] Ibid, Hal, 46
[5] Untuk mengkaji hal tersebut, perlu penelaahan lebih lanjut mengenai keterlibatan Moh. Yamin dalam perumusan dan pengetikan draft Sumpah Pemuda tersebut.
[6] Baca Anderson, Bennedict. 2011. Imagined Communities. Yogyakarta. Insist & Pustaka Pelajar.

Post a Comment

0 Comments