Gerakan Sarekat Islam di Sulawesi Tengah (1916-1923)

Gerakan Sarekat Islam di Sulawesi Tengah (1916-1923)

Sebersih-bersih tauhid (akidah)
Setinggi-tinggi ilmu pengetahuan (ilmu)
Sepandai-pandai siasat (politik)

Ungkapan di atas merupakan garis ideologi SI yang awalnya merupakan sebuah organisasi bernama Rekso Rumekso yang didirikan oleh Haji Samanhudi pada tanggal 3 Maret 1905. Rekso Rumekso adalah perkumpulan kematian yang dikelola oleh pedagang batik Pribumi di bawah pimpinan Haji Samanhudi di Lawean, Surakarta.

Perkumpulan ini hanya bertahan 6 bulan saja karena pada tanggal 16 Oktober 1905, Haji Samanhudi mengadakan rapat dengan beberapa orang temannya sesama kaum pedagang tentang pembentukan sebuah perkumpulan. Orang-orang yang hadir dalam rapat tersebut antara lain; Sumawardjojo, Hardjosumarto, Martaiko, Wirjotirto, Sukir, Suwandhi, Suraprasanto, dan Djarmani. Dalam rapat tersebut, diputuskan untuk mendirikan sebuah perkumpulan dagang islam yang diberi nama Sarekat Dagang Islam (SDI).

Berkat bantuan Tirto Adi Suryo, pada akhir Januari 1912, Sarekat Dagang Islam mendapatkan status badan hukum sebagai organisasi Sarekat Islam (SI), tapi dengan tanggal yang lebih dini pada akte notaris, 9 November 1911. Dalam dokumen itu, SI disebutkan bertujuan untuk mengejar kemajuan bagi seluruh rakyat Hindia-Belanda, tujuan yang dianggap merupakan kewajiban kaum Muslim untuk menyumbang ke arah kemajuan, karena Islam merupakan pengikat rakyat Hindia-Belanda, sebagaimana Konfusianisme bagi Tiongkok, serta Kristen bagi Belanda.

Kongres SI yang pertama diselenggarakan di Surabaya pada tanggal 26 Januari 1913, dipimpin oleh H. O. S. Tjokroaminoto. Dalam kongres itu ia menerangkan bahwa SI bukan partai politik, dan SI tidak beraksi melawan pemerintahan kolonial Belanda. Walaupun demikian, dengan Agama Islam sebagai landasan persatuan dan kesatuan penuh untuk mempertinggi derajat pribumi, SI tersebar ke seluruh Pulau Jawa. Dan beberapa tempat berdiri cabang-cabang SI yang jumlah anggotanya sangat besar, seperti di Jakarta misalnya, jumlah anggotanya kurang lebih 12.000 orang. Pemerintah Belanda tidak senang melihat perkembangan SI yang begitu pesat. SI dengan dasar keagamaannya, mempunyai potensi yang luar biasa untuk menghimpun pengikut diantara rakyat. Meskipun tujuannya mencangkup kegiatan sosial ekonomi, menciptakan kehidupan keagamaan Islam, mempertinggi taraf kehidupan rakyat pada umumnya, menganjurkan kepatuhan kepada pemerintah, namun penguasa kolonial menyadari penuh kekuatan massa dari SI.

Menghadapi situasi yang demikian dinamis dan mengandung unsur-unsur revolusioner, pemerintah menempuh jalan yang sangat hati-hati. Di samping itu Gubenur Jenderal Idenburg meminta nasehat dari penasehat para residennya untuk menetapkan kebijaksanaan politiknya terhadap SI (Noegroho dan Marwati 1977 : 188). Hasilnya adalah permohonan pengurus besar SI untuk dapat pengakuan badan hukum ditolak oleh pemerintah Belanda. Penolakan tersebut dimuat dalam Keputusan Gubernur Jenderal pada tanggal 30 Juni 1913. Keputusan tersebut menjelaskan bahwa yang ditolak untuk menjadi perkumpulan yang berbadan hukum adalah SI seluruhnya sebagai suatu perkumpulan yang sentralistik. Cabang-cabang SI sebagai organisasi tingkat lokal dan daerah masing-masing dapat diberi status badan hukum. Pemerintah kolonial Belanda yang sudah terikat oleh kesanggupan akan memberi dan mengakui badan hukum untuk SI lokal. Akhirnya pada tahun 1914 harus merealisasikan 56 buah cabang SI lokal sebagai organisasi yang berbadan hukum (Tirtoprodjo, 1984 : 28).

Dalam perkembangan selanjutnya, didirikan Central Sarekat Islam (CSI) di Surabaya pada 1915. Pendirian CSI dimaksudkan untuk memajukan dan membantu SI di dalam menjalankan dan memelihara hubungan serta kerjasama di antara mereka. Permintaan CSI untuk diakui sebagai organisasi berbadan hukum dikabulkan oleh pemerintah kolonial Belanda dengan Surat Keputusan tertanggal 18 Maret 1916. Dalam keputusan itu ditegaskan bahwa CSI diwajibkan mengawasi tindakan dari pengurus serta anggota-anggota SI lokal, disusun pula pengurus pertama CSI, H.O.S. Tjokroaminoto sebagai ketua, Abdul Muis sebagai Wakil Ketua bersama Haji Gunawan.

Untuk menghargai jasa Samanhudi sebagai pendiri organisasi SI, maka CSI mengangkat Haji Samanhudi sebagai Ketua Kehormatan (Sitorus 1987 : 19-20). Selanjutnya SI mengadakan Kongres di Bandung pada tanggal 17-24 Juni 1916 yang dipimpin oleh H. O. S. Tjokroaminoto. Pengurus ini dinamakan Kongres Nasional pertama SI. Pada konggres SI tahun 1917 di Jakarta muncul aliran revolusioner sosialistis yang diwakili Semaun yang pada waktu itu menjadi ketua SI lokal Semarang. Namun kongres itu memutuskan bahwa azas perjuangan SI ialah mendapatkan zeif bestuur atau pemerintah sendiri, selain ditetapkan pula azas yang kedua berupa perjuangan melawan penjajah dari kapitalisme yang jahat, sejak itupula Tjokroaminoto dan Abdul Muis mewakili SI dalam Volksraad (Dewan Rakyat).

Jumlah anggota SI terus meningkat dan ini terbukti dalam kongres ketiga tahun 1918 di Surabaya. Anggotanya mencapai 450.000 yang berasal dari 87 SI lokal. Sementara itu pengaruh Semaun semakin menjalar ketubuh SI. Tahun 1919 untuk SI adalah tahun propaganda terhadap kapital asing. Hal ini dibuktikan dengan meningkatnya jumlah anggota hingga mencapai 2.000.000 orang. Pada saat itu muncul keraguan apakah SI masih bersikap damai seperti yang disampaikan oleh Tjokroaminoto dahulu. Keraguan ini disebabkan oleh meletusnya Pemberontakan Petani Salumpaga di Toli-toli dibawah pimpinan Imam Haji Hayun, salah seorang pimpinan SI Toli-toli. Kemudian aksi rahasia di Garut (perkara afdeling B), suatu aksi yang tentunya tidak diketahui oleh beberapa anggota CSI.


Sarekat Islam di Sulawesi Tengah : Sebuah Perspektif
Sarekat Islam termasuk organisasi yang memiliki pengaruh yang cukup luas. Hal ini ditandai dengan berdirinya cabang-cabang SI hampir di seluruh daerah di Indonesia termasuk di Sulawesi Tengah. Sarekat Islam mulai mengembangkan pengaruhnya di Sulawesi Tengah pada tahun 1916 di Donggala dengan Rohana Lamarauna sebagai ketuanya. Sebagai pimpinan, Rohana Lamarauna memainkan peranan penting dalam penyebaran SI di daerah Banawa. Rohana Lamarauna memiliki pengaruh kuat di kalangan para pengikut SI, bukan hanya di wilayah Onderafdeling Donggala namun juga di daerah lainnya seperti Tolitoli. Rohana Lamarauna ikut mendampingi kunjungan Cokroaminoto, Ketua Umum SI ke Tolitoli pada bulan April 1917. Menjelang awal Mei 1917, Rohana Lamarauna merintis pembentukan SI cabang Tolitoli dengan mengadakan rapat di kampung Nalu di rumah Syahbandar Tolitoli. Pejabat Pemerintah Belanda setempat memberikan peringatan keras dengan menjatuhkan denda terhadap Rohana Lamarauna dan kaum bangsawan lainnya yang mengikuti rapat itu, namun mereka tetap melanjutkan rapat. Tindakan itu membuat pengaruh Rohana Lamarauna di Tolitoli meningkat pesat, begitu juga di Donggala .

Selama kepemimpinan Rohana Lamarauna, Sarekat Islam mencapai keanggotaan sekitar 800 orang pada akhir tahun 1917. Pengakuan atas peranan penting Rohana Lamarauna dalam SI diungkapkan pada saat kunjungan Cokroaminoto ke Donggala dalam rangka pertemuan Massa Kader SI bulan Mei 1917. Rohana Lamarauna dan Ismail Marzuki diutus Cokroaminoto untuk berangkat ke Tolitoli untuk mengurusi SI Cabang Tolitoli yang telah terbentuk sejak bulan Mei 1916 yang akan diletakkan di bawah koordinasi Rohana Lamarauna .

Penyebaran dan perkembangan SI yang sangat pesat ini menjadi perhatian serius dari Pemerintah Belanda. Dengan sikapnya yang kritis dan menunjukkan gejala penentangan terhadap kebijakan pemerintah, SI tampil sebagai sebuah organisasi oposisi yang berbasis pada kekuatan arus bawah yang menampilkan corak keagamaan, Pemerintah kolonial menganggap SI sebagai sumber ancaman yang membahayakan. Bukan hanya pemerintah kolonial, namun ada juga kalangan elite penguasa Kerajaan Banawa melihat SI sebagai bahaya bagi pengaruh mereka. Kondisi ini bertolak pada kenyataan bahwa para bangsawan dan elite tradisional Banawa yang tidak puas dan tersingkir dari pusat kekuasaan bergabung dalam SI dan menggunakan program SI untuk menyerang kelompok elite Banawa yang berkuasa .

Mempertimbangkan kondisi tersebut, pemerintah Belanda mendukung keinginan elite penguasa Banawa membentuk suatu organisasi untuk mengimbangi SI. Raja Palu Parampasi dan Raja Banawa Lagaga kemudian bersama-sama setuju untuk membentuk Perserikatan Raja Banawa (PRB) sebagai organisasi tandingan SI. Perserikatan Raja Banawa terdiri dari kaum bangsawan serta masyarakat Palu dan Banawa yang tidak setuju dan tidak bergabung dengan SI. Pemerintah Kolonial Belanda menyetujui langkah ini dan membuat peraturan bahwa semua elite politik yang menduduki jabatan di Kerajaan Palu dan Kerajaan Banawa wajib masuk menjadi anggota PRB. Penerapan kerja sama antara elite penguasa Banawa dan Pemerintah Kolonial Belanda diwujudkan setelah kesempatan muncul pada bulan Mei 1918, yakni ketika Rohana Lamarauna diangkat sebagai madika matowa . Tetapi Rohana Lamarauna baru mengundurkan diri sebagai pimpinan SI cabang Donggala pada tahun 1923 setelah diberlakukannya disiplin partai sesuai hasil Kongres SI tahun 1921 tentang larangan memiliki keanggotaan ganda .

Sejak itu hubungan Rohana dengan SI tidak lagi nampak. Rohana tidak lagi aktif dalam wadah SI sampai akhir kekuasaan Belanda, meskipun organisasi itu masih menghendaki dan menawarkan kedudukan kepadanya. setelah mundurnya Rohana, SI mengalami kemerosotan jumlah anggota meskipun beberapa bangsawan masih aktif di dalam wadah organisasi tersebut hingga pada tahun 1923, ketika SI dirubah menjadi Partai Sarekat Islam (PSI).

Perkembangan selanjutnya, banyak tokoh dan anggota SI yang lain kemudian banyak beralih ke organisasi Muhammadiyah yang mulai banyak dibuka di Donggala pada akhir dekade kedua abad 20. Setelah kemunduran SI, Muhammadiyah menjadi pilihan utama untuk menyalurkan suara (pendapat). Apalagi setelah kedatangan Buya Hamka di Donggala (1932-1934). Beliau sangat berperan dalam pembentukan dan pengembangan Muhammadiyah pada masa awal berdirinya.

Pertentangan antara elite penguasa dan tokoh-tokoh SI juga terjadi di Lembah Palu. Kehadiran SI di Lembah Palu pada tahun 1917 di bawah pimpinan Yoto Dg Pawindu DS mendapat sambutan dan simpati masyarakat. Melihat situasi tersebut, Pemerintah Belanda menganggap kehadiran SI sebagai ancaman yang berbahaya. Atas hasutan Belanda, Raja Palu saat itu yaitu Parampasi membentuk PRP atau Persatuan Raja Palu bersama aparatnya, yang oleh Belanda dijadikan sebagai tandingan SI. Namun bak peribahasa “anjing menggonggong kafilah berlalu”, pengaruh SI justru meluas hingga ke wilayah Kerajaan Dolo yang mendapat dukungan dari Raja Dolo Datu Pamusu .

Karena bergabung dengan SI, Raja Dolo Datu Pamusu, diturunkan dari tahtanya dan dibuang ke Ternate. Kemudian Yoto Dg Pawindu DS dan Abd Rahim Pakamundi ditangkap Belanda dan dibuang ke Bandung dan mendekam di Penjara Sukamiskin selama 3 tahun. Yoto Dg Pawindu ditahan di Sukamiskin bersama Bung Karno sehingga sekembalinya dari Sukamiskin, Yoto Dg Pawindu membentuk dan memimpin Partai Nasional Indonesia (PNI) .

Selain di Donggala dan Lembah Palu, SI juga mempengaruhi daerah Tolitoli. Pengaruh SI di Toli-toli dapat kita lihat dari peran sentral tokoh-tokoh SI Tolitoli dalam terjadinya peristiwa Salumpaga tahun 1919. Peristiwa Salumpaga dipimpin oleh seorang imam yang merupakan salah seorang pimpinan SI di Tolitoli yaitu Imam Haji Hayun. Peristiwa tersebut merupakan klimaks dari pidato Abdul Muis di Donggala tahun 1918 yang kemudian dibacakan kembali di Lapangan Nalu (Tolitoli). Isi dari pidato tersebut membakar semangat masyarakat Tolitoli termasuk Salumpaga untuk melawan kolonialisme dan imperialisme barat yang diaktualisasikan sebagai kaum kafir.

Peristiwa ini walaupun dapat diredam dalam waktu singkat akan tetapi gaungnya mengguncangkan wilayah kekuasaan Belanda yang lainnya. Peristiwa tersebut menjadi pembicaraan banyak pihak baik di Sulawesi Tengah maupun di daerah lainnya. Peristiwa tersebut dipicu oleh sikap keras Kontroleur Belanda Johannes Petrus de Kat Angelino yang memaksa rakyat untuk melaksanakan kerja rodi pada tahun 1919 walaupun pada saat itu masyarakat sedang melaksanakan ibadah puasa. Haji Hayun berupaya melakukan diplomasi agar Belanda bisa membebaskan rakyat Salumpaga dari kerja rodi selama bulan puasa .

Pertemuan tersebut kemudian diadakan di Salumpaga. Kontroleur J. P. de Kat Angelino berangkat beserta rombongannya yakni Raja Tolitoli Haji Mohammad Ali Bantilan, Marsaoleh Haji Mohammad Saleh Bantilan, lima anggota polisi, dan Jaksa Singko. Sementara rakyat Salumpaga dipimpin oleh Haji Hayun.

Diplomasi tersebut pada akhirnya tidak menemui kata sepakat karena Belanda menganggap keinginan Haji Hayun tersebut sebagai sebuah pembangkangan. Karena permohonannya ditolak, maka sesuai hasil kesepakatan Haji Hayun dengan sejumlah tokoh masyarakat setempat diputuskan untuk mengadakan perlawanan.

“Lebih baik mati di jalan Allah daripada hidup di bawah pemerintahan orang kafir dan kapan lagi berjihad kalau bukan sekarang,” ujar Haji Hayun. Beliau pun memekikkan kata Allahu Akbar untuk membakar semangat masyarakat Salumpaga. Kalimat takbir itu memantik seseorang bernama Otto yang kemudian dia mengayunkan parangnya ke arah Kontroleur hingga Kontroleur tersungkur dan tewas seketika. Sementara itu, salah seorang bernama Hasan membunuh Jaksa Singko. Salah seorang penduduk lainnya yang bernama Katelebe melemparkan tombak kepada Raja Mohammad Haji Ali Bantilan namun tidak berhasil. Raja Mohammad Haji Ali Bantilan kemudian melemparkan kembali tongkat ke Katelebe namun tidak berhasil mengenai Katelebe .

Melihat sengitnya perkelahian antara Katelebe dengan Raja Mohammad Haji Ali Bantilan, Kampaeng kemudian memberikan bantuan. Raja Mohammad Haji Ali Bantilan kemudian menyerah dan memohon untuk diampuni, namun permohonan tersebut tidak diindahkan dan beliau kemudian tewas dibunuh oleh Kampaeng. Kelima polisi yang dibawa Kontroleur juga tewas dibunuh rakyat sedangkan Marsaoleh Haji Mohammad Saleh Bantilan berhasil melarikan diri. Beliaulah yang melaporkan kejadian tersebut ke Tolitoli

Peristiwa peberontakan itu membuat Haji Hayun dan 27 rakyat Salumpaga lainnya menjalani proses persidangan hingga ke Landraad, Makassar. Haji Hayun dihukum seumur hidup di Nusakambangan sementara Otto, Hasan dan Kombong, dijatuhi hukuman gantung. Sedangkan 24 rakyat lainnya, dihukum penjara 2 tahun hingga 20 tahun di Nusakambangan .
Di beberapa daerah lainnya, pengaruh SI melahirkan tokoh-tokoh yang secara eksplosif mengadakan perlawanan secara individu. Di Sindue, ada tokoh yang sangat berpengaruh, tepatnya di Desa Enu bergelar Mangge Rante (Lasadindi). Setelah ia masuk SI, beliau diangkat menjadi Komisaris Pertanian. Beliau berhubungan dengan masyarakat suku terasing di Pantai Barat (Sekarang berada di Kabupaten Donggala) dan Pantai Timur (Sekarang berada di Kabupaten Parigi Moutong), terutama Suku Tajio dan Pendau. Karena aktivitasnya dianggap membahayakan eksistensi Pemerintah Belanda di daerah itu, pemerintah berusaha menangkapnya dan usaha tersebut seringkali menemui kegagalan .

Di Tavaili, bangsawan bernama Mangalaulu atau Yululembah diangkat sebagai Kepala Distrik Sirenja tahun 1918. Namun ia memilih dipecat dari jabatannya daripada tunduk kepada Belanda. Ia lalu berangkat ke Jawa untuk mendalami SI mulai dari daerah Sukabumi sampai ke Batavia.

Berdasarkan paparan di atas dapat kita lihat bahwa perkembangan Sarekat Islam di Sulawesi Tengah sangat pesat karena SI merupakan organisasi yang berbasis pada kekuatan arus bawah yang menampilkan corak keagamaan, tidak terbatas untuk satu golongan saja dan secara terang-terangan menentang kolonialisme dan imperialisme barat sehingga SI dengan mudah menarik simpati masyarakat. Kehadiran SI di Sulawesi Tengah juga mempengaruhi perlawanan baik perlawanan bersenjata maupun melalui jalur diplomasi yang dilakukan oleh masyarakat Sulawesi Tengah terhadap kolonialisme dan imperialisme Belanda. Hal ini ditunjukkan dengan banyaknya tokoh-tokoh SI yang terlibat dalam perlawanan-perlawanan menentang kolonialisme dan imperialisme Belanda seperti keterlibatan Haji Hayun dalam peristiwa Salumpaga tahun 1919, gerakan Yoto Dg Pawindu di Palu. Rohana Lamarauna di Donggala, dsb.

Akan tetapi, dalam perkembangannya, SI mendapat hadangan dari dalam terutama dari kalangan elite penguasa kerajaan yang merasa bahwa kehadiran SI akan mengancam eksistensi mereka sebagai penguasa. Kemudian dengan membentuk organisasi tandingan dan bekerja sama dengan pemerintah Belanda, mereka mencoba menekan laju pertumbuhan SI di daerah kekuasaannya. Padahal secara tidak sadar, mereka telah termakan politik devide at impera yang dilancarkan oleh pemerintah Belanda yang secara perlahan melemahkan kekuasaan mereka.

SI adalah organisasi besar dengan ideologi yang sangat jelas. Kekuatan organisasi ini ada pada ideologi Islam yang digunakannya. Penggunaan yang baik menyebabkan masyarakat Islam di tanah air berbondong-bondong masuk ke organisasi SI.


Jefrianto
Lahir di Lombonga, Donggala, Provinsi Sulawesi Tengah pada tanggal 11 Desember 1990. Tinggal di Palu. Terdaftar sebagai Mahasiswa Program Studi Pendidikan Sejarah Universitas Tadulako Palu Angkatan 2008. Anggota Himpunan Mahasiswa Pendidikan Sejarah (HIMSA) Universitas Tadulako.

Post a Comment

1 Comments